Malam dengan titik-titik air gerimis yang mulai menempel di kaca jendela mobil membuat udara jadi terasa semakin dingin. Karin mengusap pundaknya demi mengurangi rasa dingin yang kian menyergap.
Pasha melirik sekilas ke arah gadis itu. Tak lama ia beringsut menepikan mobilnya. "Pakai ini!" Pria itu melepas jaket yang di kenakannya dan meyerahkannya pada Karin.
Gadis di sisinya itu tak langsung menerima dan malah menatapnya tanpa tanya. "Udah pake aja, apa nunggu aku pakaian?" Godanya yang membuat Karin akhirnya terhenyak dan tersadar.
"Eh... enggak usah, aku enggak apa-apa kok." Tolak Karin sedikit gugup. Wajahnya buru-buru ia palingan menghindari mata Pasha yang terus menatap ke arahnya.
"Haacuuh... hacuuhh...." Karin bersin dua kali. Pasha tersenyum dan segera menyelimuti Karin dengan jaketnya.
"Bersin kayak gitu masih bilang enggak apa-apa. Aku tau kamu enggak tahan udara dingin. Jangan sok kuat." Tangan Pasha masih terlihat sibuk membenarkan jaketnya di tubuh Karin. Menariknya ke atas hingga menutupi leher gadis itu.
Jarak wajah mereka sesaat sangat dekat. Membuat Karin tiba-tiba merasa kikuk. Karin tahu, ini bukan pertama kalinya wajah mereka berdekatan. Bahkan mereka sudah beberapa kali berciuman. Namun ia tetap tak bisa mengendalikan debaran jantungnya sendiri. Dan ia tak ingin pria itu mendengarnya.
Pasha menatap Karin intens, seolah hanyut dengan suasana hujan yang makin deras di luar. Wajahnya perlahan mendekat ke wajah gadis itu. Mata Karin pun terpejam tanpa aba-aba. Karin bisa merasakan bibir dingin Pasha yang mulai menyentuh permukaan bibirnya. Lembut dan hangat.
Karin tersentak, matanya yang tadinya terpejam kini mebelalak ketika tangan Pasha tiba-tiba bergerak mengelus pahanya yang berlapis celana jins panjang. Segera mungkin Karin menarik diri dari pria itu dan memasang sikap waspada.
"Maaf, aku enggak bisa ngendaliin diri aku tadi." Pasha tampak salah tingkah, takut kalo Karin marah padanya.
Karin mengangguk tanpa suara. Ia masih enggan untuk menatap Pasha.
Suasana mendadak canggung dan hening, dengan perasan campur aduk, Pasha kembali melajukan mobilnya. Beberapa menit berlalu, namun keduanya masih tampak saling diam. Pasha sudah menduga. Karin itu Es. Kalo ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa tidak aman ataupun tidak nyaman. Karin lebih memilih diam seribu bahasa. Sedangkan Pasha, hanya bisa menahan kesal sendirian karena tak bisa menebak apa maunya gadis itu. Karin seolah sedang membentengi dirinya dengan prisai dan tak ingin siapapun mengetahui isi hatinya.
Hujan mulai mereda ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di pelataran sebuah gedung tiga lantai bergaya minimalis. Itu adalah kantor First Tama Group. Karin membaca plang besar yang tertera di atap gedung tersebut dari balik kaca mobil.
Pasha dan Karin membuka seatbealt kemudian keluar dari dalam mobil. Ini pertama kalinya Karin di ajak ke kantor milik Pasha itu.
Gedung yang berdiri kokoh itu seolah mengintimidasi, menampar Karin dengan sebuah realita bahwa mereka berdua hidup di dunia yang berbeda. Pasha yang sudah sukses dengan semua pencapaian dan mimpinya. Sedangkan Karin yang masih terus mengayuh untuk menemukan. Tiba-tiba perasaan rendah diri menggelayuti Karin dan membuatnya benar-bebar merasa tidak aman sekaligus tidak nyaman.
"Ayo masuk, kok malah bengong?"
Suara Pasha mebuyarkan lamunan Karin. Gadis itupun menarik sudut bibirnya ragu. "Kenapa kamu ngajak aku kesini? Kamu mau pamer?" Nada bicaranya terdengar bercanda namun juga sarkas. Entahlah, Karin hanya sedang merasa tidak aman dengan perasaannya saat ini.
"Kamu itu ngomong apa sih?" Pasha berusaha menanggapinya dengan santai. Pasha tahu kebiasaan buruk Karin adalah seorang yang moody. Jadi memang harus sabar jika ingin menghadapi gadis itu. "Aku kesini tuh mau ngajak kamu dinner, katanya kamu pingin dinner kayak di novel-novel romatis gitu."
Sebisa mungkin Karin berusaha menahan semburat merah yang pasti sekarang sudah muncul di pipinya. "Oh... gitu." Namun seperti biasa, Karin malah bersikap sok cool.
Pasha terkekeh dan segera meraih tangan Karin sebelum mood nya juga ikut berantakan karena tingkah gadis itu.
Pasha tak mau mengulur waktu, dengan menggandeng tangan Karin, pria itu segera naik ke lift menuju atap gedung tempat mereka akan melakukan candel light dinner.
Udara dingin kembali menyergap ketika keduanya sampai di atap dengan lantainya yang basah bekas air hujan. Karin merapatkan jaket milik Pasha yang di kenakannya hingga ke leher. Udara dingin membuatnya kembali bersin.
"Hem... mejanya kehujanan, dan lilinnya mati, karyawan aku padahal tadi udah siapin semuanya buat kita. Aagghh... Sial!" Ucap Pasha penuh sesal.
"Yaudah, enggak jadi juga enggak apa-apa kok."
"Tapi aku tetap pingin makan malam sama kamu, aku pingin punya banyak waktu berdua sama kamu. Paling enggak malam ini... aja." Pasha terdengar emosional. Terkadang dia memang kekanak-kanakjan jika sudah berkeinginan.
"Ya... terus gimana? Makan di tempat lain kan bisa?" Sedangkan Karin selalu menampilkan sikap tenang.
Pasha tampak berpikir sejenak. "Gimana kalo di ruangan kerjaku aja, kita pesan makanannya lewat daring, lagian kalo disini dingin, kamu pasti kedinginan. Kalo balik lagi keluar, aku capek nyetir, jalanan juga macet."
Tanpa pikir panjang Karin mengangguk seraya tersenyum. Pasha pun menghela nafas lega. Setidaknya itulah salah satu sifat yang di sukainya dari Karin. Gadis itu tidak rewel dan ribet seperti gadis kebanyakan.
Mereka berdua pun kembali berjalan beriringan masuk ke dalam gedung. Tak lama mereka sampai di ruangan Pasha yang cukup luas. Lagi-lagi perasaan rendah diri itu menyergap Karin saat kakinya menjejak ke dalam ruangan yang berdesain minimalis dan maskulin itu.
"Kamu duduk dulu, deh. Aku akan coba pesan makan dulu." Pasha mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan berusaha menelpon untuk memesan makanan. "Sepertinya ujan gini sering enggak ada signal kalo di ruangan tertutup. Aku keluar bentar, ya?" Pamitnya kemudian segera berlalu.
Mata Karin menyapu ke sekeliling, ruangan kerja itu benar-benar memukaunya. Bahkan ukurannya 4 atau 5 kali lipat lebih besar dari ukuran kamarnya. Dia tidak menyangka kalo Pasha benar-benar akan membawanya ke tempat kerjanya. Penasaran ia beranjak berdiri dari sofa tempat duduknya. Berjalan mendekat ke sisi meja kerja Pasha. Di atas meja berukuran cukup besar itu. Ada beberapa foto Pasha yang di pajang di sana. Juga secangkir kopi yang sepertinya sudah mendingin. Pria itu adalah pecinta kopi. Dan dia tidak merokok. Setidaknya itu adalah nilai plus Pasha di mata Karin. Pasha sangat peduli dengan kesehatan dirinya sendiri.
Tanpa sengaja mata Karin juga menatap beberapa lembar kertas yang tergeletak di meja. Ada tulisan Skript yang akhirnya membuat Karin tergelitik untuk melihatnya. Mata Karin sontak terbelalak, ia menutup mulutnya yang menganga dengan satu tangan, betapa terkejutnya dia saat mengetahui itu adalah beberapa penggal skript yang sedang di buatnya dan telah di print. Untuk apa dan mengapa? Semua masih tanda tanya.
BERSAMBUNG.
"Ini maksudnya apa?" Sergah Karin kalap saat Pasha baru saja kembali dari luar.Langkah Pasha seketika terhenti di ambang pintu. Matanya terlihat panik saat menatapi lembaran kertas yang di acungkan Karin di udara. "Jangan marah dulu, aku bisa jelasin.""Ini pasti ada hubungannya sama kemarin aku tiba-tiba dapet notif dari penyelenggara event kalo skript aku masuk nominasi 20 besar kan?" Karin berkata dengan menahan setengah amarahnya. "Oh... aku tahu, ternyata ini semua kerjaan kamu kan?" Bahkan matanya sudah mulai berkaca-kaca sekarang.Pasha berjalan mendekat. "Kamu salah paham, aku bisa jelasin." Mencoba menyentuh pipi Karin tapi gadis itu segera menepis dan mundur satu langkah."Kamu mau jelasin apa lagi? Udah jelas ini semua pasti ada hubungannya sama kamu!" Karin berteriak. Pasha segera berbalik menatap ke arah luar ruangan kerjanya. Takut perbincangannya di dengar oleh beberapa karyawan yang sedang lembur malam ini. Ia pun segera mengambil remot
Karin tidak tahu ada di mana. Dia hanya berjalan mengelilingi kota Jakarta, dengan menaiki satu busway ke busway lainnya. Hanya untuk meredakan hatinya yang seolah remuk redam. Ponselnya sengaja ia matikan sejak keluar dari kantor Pasha tadi. Entah sudah berapa orang melihatnya, mungkin mereka berpikir bahwa Karin terlihat seperti orang yang menyedihkan dan mengenaskan. Tepat hampir jam 11 malam, dan merasa sangat kelelahan, Karin akhirnya kembali pulang ke rukonya. Terduduk lemas di lantai dua. Dan baru tersadar kalo seharian ia belum sempat makan apa-apa, hanya sepotong kue dan secangkir teh tadi pagi. Karin melepaskan jaket Pasha yang masih melekat di tubuhnya.Tubuhnya kembali menggigil kedinginan karena sepertinya hujan di luar kembali mengguyur. Ia menatap ke sekeliling rumahnya dengan muram. Cat tembok yang sudah mulai kusam dan mengelupas, tetesan air hujan membuatnya mendongak, atapnya pun sudah mulai bocor. Karin segera beranjak dari duduknya dan mengambil seb
"Aku udah janji buat nganter kamu ke pemakaman orang tua kamu minggu ini." Karin tidak menyangka Pasha masih ingat tentang janjinya itu, dan dirinya sendiri bisa-bisanya malah lupa."Enggak usah, aku masih bisa sendiri." Sahut Karin yang masih belum ingin menurunkan ego-nya."Enggak bisa gitu dong. Kamu sendiri yang bilang minta di temenin. Aku udah terlanjur kosongin semua jadwal ku hari ini." Karin terdiam, dia tahu dia tak mungkin menang berdebat dengan Pasha jika harus menyangkut soal prinsip. Sadar bahwa akan terasa percuma beradu argument dengan pria itu. Akhirnya Karin terpaksa menurut.***Sudah hampir setengah jam Pasha menunggu Karin di ruang tengah. Dia kikuk tidak tahu harus melakukan apa. Biasanya jika Karin terlalu lama di kamar, dia akan menghampiri gadis itu dan mencoba untuk memperingatkan agar melakukan segala hal dengan cepat. Karena waktu setiap detiknya adalah hal yang berharga. Namun kali ini tidak, ada suatu hal yang menghalan
Bukannya melajukan mobilnya ke jalan pulang. Pasha malah mengarahkan kendaraanya ke daerah setu babakan. Karin yang sejak tadi diam, sontak bertanya. "Ngapain kesini? Katanya kamu tadi buru-buru karena ada meeting dadakan.""Aku mau ngajak kamu makan disini. Biarin lah, kan aku bos-nya." Karin seketika memutar bola mata malas ketika Pasha bicara demikian sambil cengengesan."Aku pingin makan di rumah aja.""Udah terlanjur kesini, ya harus temenin aku makan lah.""Idih ... pasti maksa.""Biarin, kamu sebenernya suka, kan?"Pasha tersenyum karena merasa menang dan membuat Karin mau menuruti keinginannya lagi.Pasha memarkirkan kendaraan dan segera turun. Dengan sangat terpaksa Karin turut mengekor di belakangnya. Sebenarnya Karin benci tempat ini. Karena itu akan mengingatkannya pada seseorang. Cowok dari masa lalu yang membuat tikaman te
Karin membuka pesan di ponselnya sesampainya di rumah. Seperti ada yang kurang. Tak ada satupun notif pesan dari Pasha. Bahkan bekas chat dirinya dan Pasha sudah bersih semua. Dan lebih parahnya lagi. Pria itu memblokir semua akun sosial medianya. Dan hanya ada satu pesan tersisa di What sapp. Sepertinya itu pesan terakhir sebelum akun-nya benar-benar di block."Aku seorang yang kejam soal perasaan. Aku pikir selama lima bulan ini cukup untuk aku bersabar. Menghadapi sikap egois kamu, moody-an kamu. Tapi kali ini tidak lagi. Terserah kalo kamu enggak bisa percaya sama aku lagi. Terserah kalo mau anggep aku cowok playboy atau apalah. Aku udah enggak peduli. Aku cuma mau bilang sama kamu. Kalo cara kamu kayak gitu terus. Selamanya kamu akan tetap sendirian. Udah, itu aja. Nanti kalo pun kita enggak sengaja ketemu di jalan. Aku juga akan pura-pura enggak kenal sama kamu. Dan jangan salahin aku kalo aku beneran lupain kamu, mungkin saat itu aku udah sama yang lain. Sel
Raut wajah muram Pasha, cukup membuat ketegangan di kantor First Tama Group sejak tiga hari berturut-turut. Para karyawan terlihat saling berbisik satu sama lain, saling bertanya, apa yang membuat wajah bos-nya itu kusut seperti baju belum di setrika. "Mungkin aja, dia baru putus dari pacarnya," tebak salah satu karyawannya, Indah. "Tahu kan cewek yang pernah di ajak ke kantor malem-malem waktu itu?" Ucapnya lagi berusaha mengumpulkan teka-teki."Yang mana? Mbak Andrea?"Sahut Yeni makin kepo. Andrea adalah wanita yang bisa di bilang paling dekat dengan Pasha beberapa tahun terakhir ini. Tapi tidak ada yang tahu kejelasan status mereka itu sebenarnya apa.Bobi tiba-tiba muncul dari arah belakang Yeni dan memukul puncak kepala wanita itu menggunakan gulungan kertas. "Awh!""Gosip mulu pagi-pagi. Udah sono lanjut kerja.""Ih, apaan sih, dasar tukang nguping," dengus Yeni."Gue enggak nguping, tapi suara Lo udah kayak toak sampe kedengeran
Pasha baru saja tiba di apartement-nya setelah lelah seharian bekerja. Sembari membuka kancing teratas kemejanya ia membanting tubuhnya sendiri di atas sofa biru bergaya scandinovian. Nafasnya sedikit tersengal, kemudian ia mengambil posisi rebahan sambil menyalakan ponselnya. Di layar awal langsung terpampang foto Karin yang sedang tersenyum. Sudah sejak sebulan yang lalu foto wanita itu menjadi wallpaper HP-nya. Karin adalah wanita pertama yang membuat Pasha mau melakukan itu tanpa di dominasi dari siapapun. Tidak juga Andrea."Pasha sayang, lagi apa?""Kamu udah makan belum?""Eh, iya deh yang bos... Sok sibuk, Huh....""Wait, ya, sayang, biasalah aku lagi kerja, lagi ngecoding. Kamu kangen ya?"Sudut-sudut bibir Pasha tertarik ke atas saat membaca ulang chat dari Karin dan dirinya yang sudah sempat ia screen shot sebelum sempat menghapus semuanya.Sudah h
Waktu adalah hal terkejam, kadang bisa menyerupai iblis yang tak memiliki belas kasihan. Berlalu begitu saja tanpa peduli pada orang-orang yang memintanya untuk berhenti bergerak. Dia bisa mengambil semua orang tersayang tanpa memberi peringatan, tanpa firasat, hingga satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan. Namun, waktu juga bisa menjadi perawat luka yang bisa menyembuhkan. Membantu berpijak, sedikit demi sedikit, hingga mampu kembali berdiri tegak. Seperti hal nya Karin, ia sedang berusaha menata hidupnya kembali.Ternyata, kehilangan Pasha bukan hal sepele dalam hidupnya. Bayangan pria itu seolah masih saja mengikutinya kemanapun ia pergi. Menghilangkan kebiasaan lama bukanlah perkara mudah. Kadang Karin masih sering terbangun di tengah malam, hanya untuk mengecek ponsel, berharap ada telepon masuk, atau hanya sekedar pesan chat untuk berbagi cerita. Dia juga kadang masih ingin mengirim pesan, hanya untuk mengingatkan makan siang. Karena Pasha adalah tipe wo