Share

Untuk apa?

Malam dengan titik-titik air gerimis yang mulai menempel di kaca jendela mobil membuat udara jadi terasa semakin dingin. Karin mengusap pundaknya demi mengurangi rasa dingin yang kian menyergap.

Pasha melirik sekilas ke arah gadis itu. Tak lama ia beringsut menepikan mobilnya.  "Pakai ini!" Pria itu melepas jaket yang di kenakannya dan meyerahkannya pada Karin.

Gadis di sisinya itu tak langsung menerima dan malah menatapnya tanpa tanya. "Udah pake aja, apa nunggu aku pakaian?" Godanya yang membuat Karin akhirnya terhenyak dan tersadar.

"Eh... enggak usah, aku enggak apa-apa kok." Tolak Karin sedikit gugup. Wajahnya buru-buru ia palingan menghindari mata Pasha yang terus menatap ke arahnya.

"Haacuuh... hacuuhh...." Karin bersin dua kali. Pasha tersenyum dan segera menyelimuti Karin dengan jaketnya.

"Bersin kayak gitu masih bilang enggak apa-apa. Aku tau kamu enggak tahan udara dingin. Jangan sok kuat." Tangan Pasha masih terlihat sibuk membenarkan jaketnya di tubuh Karin. Menariknya ke atas hingga menutupi leher gadis itu.

Jarak wajah mereka sesaat sangat dekat. Membuat Karin tiba-tiba merasa kikuk. Karin tahu, ini bukan pertama kalinya wajah mereka  berdekatan. Bahkan mereka sudah beberapa kali berciuman. Namun ia tetap tak bisa mengendalikan debaran jantungnya sendiri. Dan ia tak ingin pria itu mendengarnya.

Pasha menatap Karin intens, seolah hanyut dengan suasana hujan yang makin deras di luar. Wajahnya perlahan mendekat ke wajah gadis itu. Mata Karin pun terpejam tanpa aba-aba. Karin bisa merasakan bibir dingin Pasha yang mulai menyentuh permukaan bibirnya.  Lembut dan hangat.

Karin tersentak,  matanya yang tadinya terpejam kini mebelalak ketika tangan Pasha tiba-tiba bergerak mengelus pahanya yang berlapis celana jins panjang. Segera mungkin Karin menarik diri dari pria itu dan memasang sikap waspada.

"Maaf, aku enggak bisa ngendaliin diri aku tadi." Pasha tampak salah tingkah, takut kalo Karin marah padanya.

Karin mengangguk tanpa suara. Ia masih enggan untuk menatap Pasha.

Suasana mendadak canggung dan hening, dengan perasan campur aduk, Pasha kembali melajukan mobilnya. Beberapa menit berlalu, namun keduanya masih tampak saling diam. Pasha sudah menduga. Karin itu Es. Kalo ada sesuatu yang membuat gadis itu merasa tidak aman ataupun tidak nyaman. Karin lebih memilih diam seribu bahasa. Sedangkan Pasha, hanya bisa menahan kesal sendirian karena tak bisa menebak apa maunya gadis itu. Karin seolah sedang membentengi dirinya dengan prisai dan tak ingin siapapun mengetahui isi hatinya.

Hujan mulai mereda ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di pelataran sebuah gedung tiga lantai bergaya minimalis.   Itu adalah kantor First Tama Group. Karin membaca plang besar yang tertera di atap gedung tersebut dari balik kaca mobil.

Pasha dan Karin membuka seatbealt kemudian keluar dari dalam mobil. Ini pertama kalinya Karin di ajak ke kantor milik Pasha itu.

Gedung yang berdiri kokoh itu seolah mengintimidasi, menampar Karin dengan sebuah realita bahwa mereka berdua hidup di dunia yang berbeda. Pasha yang sudah sukses dengan semua pencapaian dan mimpinya. Sedangkan Karin yang masih terus mengayuh untuk menemukan. Tiba-tiba perasaan rendah diri menggelayuti Karin dan membuatnya benar-bebar merasa tidak aman  sekaligus tidak nyaman.

"Ayo masuk, kok malah bengong?"

Suara Pasha mebuyarkan lamunan Karin. Gadis itupun menarik sudut bibirnya ragu. "Kenapa kamu ngajak aku kesini? Kamu mau pamer?" Nada bicaranya terdengar bercanda namun juga sarkas. Entahlah, Karin hanya sedang merasa tidak aman dengan perasaannya saat ini.

"Kamu itu ngomong apa sih?" Pasha berusaha menanggapinya dengan santai. Pasha tahu kebiasaan buruk Karin adalah seorang yang moody. Jadi memang harus sabar jika ingin menghadapi gadis itu. "Aku kesini tuh mau ngajak kamu dinner, katanya kamu pingin dinner kayak di novel-novel romatis gitu."

Sebisa mungkin Karin berusaha menahan semburat merah yang pasti sekarang sudah muncul di pipinya. "Oh... gitu." Namun seperti biasa, Karin malah bersikap sok cool.

Pasha terkekeh dan segera meraih tangan Karin sebelum mood nya juga ikut berantakan karena tingkah gadis itu.

Pasha tak mau mengulur waktu, dengan menggandeng tangan Karin, pria itu segera naik ke lift menuju atap gedung tempat mereka akan melakukan candel light dinner.

Udara dingin kembali menyergap ketika keduanya sampai di atap dengan lantainya yang basah bekas air hujan. Karin merapatkan jaket milik Pasha yang di kenakannya hingga ke leher. Udara dingin membuatnya kembali bersin.

"Hem... mejanya kehujanan, dan lilinnya mati, karyawan aku padahal tadi udah siapin semuanya buat kita. Aagghh... Sial!" Ucap Pasha penuh sesal.

"Yaudah, enggak jadi juga enggak apa-apa kok."

"Tapi aku tetap pingin makan malam sama kamu, aku pingin punya banyak waktu berdua sama kamu. Paling enggak malam ini... aja." Pasha terdengar emosional. Terkadang dia memang kekanak-kanakjan jika sudah berkeinginan.

"Ya... terus gimana? Makan di tempat lain kan bisa?" Sedangkan Karin selalu menampilkan sikap tenang.

Pasha tampak berpikir sejenak. "Gimana kalo di ruangan kerjaku aja, kita pesan makanannya lewat daring, lagian kalo disini dingin, kamu pasti kedinginan. Kalo balik lagi keluar, aku capek nyetir, jalanan juga macet."

Tanpa pikir panjang Karin mengangguk seraya tersenyum. Pasha pun menghela nafas lega. Setidaknya itulah salah satu sifat yang di sukainya dari Karin. Gadis itu tidak rewel dan ribet seperti gadis kebanyakan.

Mereka berdua pun kembali berjalan beriringan masuk ke dalam gedung. Tak lama  mereka sampai di ruangan Pasha yang cukup luas. Lagi-lagi perasaan rendah diri itu menyergap Karin saat kakinya menjejak ke dalam ruangan yang berdesain minimalis dan maskulin itu.

"Kamu duduk dulu, deh. Aku akan coba pesan makan dulu." Pasha mengeluarkan ponsel  dari dalam sakunya dan berusaha menelpon untuk memesan makanan. "Sepertinya ujan gini sering enggak ada signal kalo di ruangan tertutup. Aku keluar bentar, ya?" Pamitnya kemudian segera berlalu.

Mata Karin menyapu ke sekeliling, ruangan kerja itu benar-benar memukaunya. Bahkan ukurannya  4 atau 5 kali lipat lebih besar dari ukuran kamarnya. Dia tidak menyangka kalo Pasha benar-benar akan membawanya ke tempat kerjanya. Penasaran ia beranjak berdiri dari sofa tempat duduknya. Berjalan mendekat ke sisi meja kerja Pasha. Di atas meja berukuran cukup besar itu. Ada beberapa foto Pasha yang di pajang di sana. Juga secangkir kopi yang sepertinya sudah mendingin. Pria itu adalah pecinta kopi. Dan dia tidak merokok. Setidaknya itu adalah nilai plus Pasha di mata Karin. Pasha sangat peduli dengan kesehatan dirinya sendiri.

Tanpa sengaja mata Karin juga menatap beberapa lembar kertas yang tergeletak di meja. Ada tulisan Skript yang akhirnya membuat Karin tergelitik untuk melihatnya. Mata Karin sontak terbelalak, ia menutup mulutnya yang menganga dengan satu tangan, betapa terkejutnya dia saat mengetahui itu adalah beberapa penggal skript yang sedang di buatnya dan telah di print. Untuk apa dan mengapa? Semua masih tanda tanya.

BERSAMBUNG.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status