Share

Salah paham

"Ini maksudnya apa?" Sergah Karin kalap saat  Pasha baru saja kembali dari luar.

Langkah Pasha seketika terhenti di ambang pintu. Matanya terlihat panik saat menatapi lembaran kertas yang di acungkan Karin di udara. "Jangan marah dulu, aku bisa jelasin."

"Ini pasti ada hubungannya sama kemarin aku tiba-tiba dapet notif dari penyelenggara event kalo skript aku masuk nominasi 20 besar kan?" Karin berkata dengan menahan setengah amarahnya. "Oh... aku tahu, ternyata ini semua kerjaan kamu kan?" Bahkan matanya sudah mulai berkaca-kaca sekarang.

Pasha berjalan mendekat. "Kamu salah paham, aku bisa jelasin." Mencoba menyentuh pipi Karin tapi gadis itu segera menepis dan mundur satu langkah.

"Kamu mau jelasin apa lagi? Udah jelas ini semua pasti ada hubungannya sama kamu!" Karin berteriak. Pasha segera berbalik menatap ke arah luar ruangan kerjanya. Takut perbincangannya di dengar oleh beberapa karyawan yang sedang lembur malam ini. Ia pun segera mengambil remot di atas meja dan memencet tombolnya. Seketika semua kaca terlihat putih dan tak terlihat dari luar.

"Tapi kamu harus dengerin maksud aku dulu. Jadi kamu yang tenang, ya?"

"Gimana aku bisa tenang, aku kira berita gembira yang aku dengar kemarin itu adalah hasil dari kemampuan aku sendiri, naskahku masuk nominasi karena ku pikir karena aku emang layak. Tapi nyatanya apa? Itu semua karena kamu yang minta! Kenapa kamu ngelakuin ini ke aku? Kamu mau sengaja mempermalukan aku? Kamu sama aja kayak orang-orang tahu enggak? ngeremehin aku. Kamu pikir cuma kamu yang boleh bermimpi? Karena aku cuma hidup sebatang kara aku enggak pantes punya mimpi. Iya... gitu?! Hah...!" Kalimat itu mengalir keluar, tanpa jeda, tanpa aba-aba. Karin tak bisa menahan dengan gejolak hatinya lagi.

Pasha terdiam.

"Aku enggak pernah berharap untuk bisa bergantung sama kamu, aku masih ingin mewujudkan mimpiku sendiri. Karena aku enggak pernah bermimpi untuk jadi Cinderela yang hanya akan numpang hidup sama pangeran kaya raya kayak kamu. Atau jangan-jangan kamu mikir kalo aku emang cewek yang kayak gitu? Hah...!"

"Bukan gitu maksud aku!"

"Terus apa?"

"Aku tahu gimana impian kamu untuk bisa menjadi seorang sutradara film, berkali-kali kamu bilang itu impian besar kamu. Makanya aku berusaha wujudin itu--"

"Dengan cara curang kayak gini? Kamu sogok penyelenggara event supaya naskah aku masuk nominasi? Aku tahu naskah ku mungkin enggak bagus, tapi setidaknya biarin aku berusaha sendiri, jangan kayak gini. Kamu udah melukai harga diri aku tahu enggak?"

Pasha hanya mendesah lelah, tidak membalas kata-kata Karin.

"Kenapa enggak jawab? Jadi semua yang aku omongin ini bener?"

"Aku cuma mau bikin kamu seneng!"

"Tapi kenyataanya aku malah enggak seneng, Pasha." Karin menggeleng miris. "Aku pikir kamu satu-satu nya orang yang percaya sama kemampuan aku, saat semua orang enggak percaya sama mimpi aku, bahkan aku sendiri enggak percaya sama mimpi aku. Kamu bilang ke aku. Kalo aku harus berani bermimpi setinggi-tingginya. Kamu inget itu? Karena kata-kata kamu itu aku jadi semangat buat ngejar impian aku. Tapi sekarang apa? Kamu kayak malah baru aja nusuk aku dari belakang. Aku sakit, Pasha."

Pasha lagi-lagi menghela nafas panjang. Saat ini kepalanya seakan mau meledak. Niatnya mengajak Karin kemari untuk menghilangkan kepenatannya sejenak karena pekerjaannya yang menumpuk. Tapi yang terjadi malah seperti ini. Pasha menatap iris mata Karin.

"Harusnya kamu kalo punya impian, berusaha untuk wujudin itu ... bukan cuma berandai-andai. Orang lain di luar sana, berjuang mati-matian buat mengasah kemampuannya, mereka kurang tidur, mereka haus pengetahuan, mereka berkorban banyak hal. Sedangkan kamu. Kamu cuma ngandelin skill yang enggak seberapa tapi udah merasa bakalan bisa menguasai bidang itu. Kalo pola pikir kamu kayak gitu, jangan salah kalo kamu jadi bahan tertawaan orang!" Pasha balas menghardik Karin, "Dunia ini emang kejam, kalo kamu menganggap dunia ini baik ... kamu bakal kalah!"

"Kamu bilang kamu sedang berusaha meraih mimpi? Aku enggak liat kamu berusaha dapetin itu, kamu bilang kamu pingin hebat di bidang perfilm-an, tapi kamu malah diam di toko kue yang seharinya aja sebenernya enggak cukup buat memenuhi kebutuhan kamu. Tapi kamu tetap kekeuh buat mempertahankan itu. Hanya karena toko itu peninggalan orang tua kamu, bukannya fokus mengejar mimpi! Siapa yang lucu di sini?"

Kaget dengan kata-kata itu, Pasha tidak menyadari wajah Karin sudah mulai pucat pasi.

"Kamu tahu enggak, aku buat bisa mencapai semua yang aku punya sekarang itu enggak mudah, aku selalu fokus sama yang pingin aku raih. Dan aku sekarang punya segalanya, terus kesuksesan ku ini buat apa kalo aku enggak bisa bantu cewek yang aku suka keluar dari kesengsaraan nya. Aku itu cuma mau berbuat baik sama kamu, kamu selalu nolak tiap kali aku berusaha ngasih bantuan ke kamu secara terang-terangan. Bahkan kamu pikir siapa yang diam-diam bayar kekurangan cicilan ruko kamu? Itu aku. Karena aku yakin kamu enggak akan sanggup bayarnya. Buat makan aja kamu susah. Mau sok-sok an jadi cewek yang kuat. Kalo sekiranya enggak mampu itu ... Ya jangan gengsi buat minta bantuan, atau terima bantuan dari orang lain."

Rasanya seperti di siram air keras. Karin tidak menyangka jika Pasha akan mengatakan semua hal itu dengan telak. Keheningan seketika melingkupi seluruh ruangan seperti di kungkung di ruangan yang kedap suara. Karin menatap Pasha lama, pria itu buru-buru memalingkan muka dan mengusap wajahnya  penuh sesal karena tak bisa mengontrol perkataanya juga uneg-uneg yang di pendam nya selama ini.

"Jadi selama ini kamu mikir kayak gitu? Kenapa enggak bilang?"

Pasha berbalik. "Aku enggak mak--" Kalimatnya terputus. Semua sudah terlanjur.

"Kalo kamu bilang, aku bisa sadar lebih awal." Karin tersenyum getir. "Aku sadar kalo aku ini sebenernya, enggak pantes buat punya hubungan sama kamu, kita enggak cocok dalam segala hal."

"Karin, kamu ngomong apa, sih?"

Karin menarik nafas menahan tangisnya yang hampir tumpah. "Lebih baik kita selesai sampai disini. Kita itu enggak cocok dalam segala hal. Ups...!" Karin pura-pura menutup mulutnya dengan satu tangan. "Bahkan aku lupa kalo kita enggak pernah punya hubungan apa-apa sejak awal. Kamu bisa bebas kok milih cewek mana aja yang kamu mau. Kamu cowok yang sempurna, enggak pantes temenan sama cewek kayak aku. Hahaha ... selama ini aku terlalu percaya diri ya! Bodoh!" Karin menyeka air matanya hingga ealiner-nya luntur, dan itu pasti terlihat menyedihkan di depan Pasha.

"Karin, aku enggak maksud gitu."

Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam kepala Karin hingga membuatnya kian tersadar, bahwa ada tembok penghalang antara dirinya dan Pasha. "Maka nya sejak awal aku pingin kita temenan aja, tapi kamu seolah mengikat aku. Kamu selalu ingin aku ngikutin kemauan kamu. Sampai kamu ngeremehin aku kayak gini. Aku tahu kamu sebenernya malu kan jalan sama cewek menyedihkan kayak aku? Tapi aku juga enggak pernah berharap tuh kamu bakalan tertarik sama aku?" Karin tertawa lagi. Merasa ironi dan getir akan kehidupannya sendiri. Padahal dia memang tak pernah bermaksud untuk bermimpi menjadi Cinderela. Dia hanya ingin jadi wanita yang tangguh dan mandiri. Kenapa tiba-tiba datang sosok pangeran yang malah merusak mimpinya itu. Menjatuhkannya dengan kata-kata semenyakit kan itu.

"Aku enggak suka kamu ngomong gitu. Aku cuma pingin kamu berubah dan enggak keras kepala lagi kayak gini."

Karin mengangguk tak peduli. "Makasih untuk semuanya, dan makasih untuk kata-katanya." Karin melangkah pergi dengan tubuh lelah luar biasa.

Pasha berniat mengejarnya, namun seorang karyawan masuk ke ruangannya dan menahan langkahnya. "Maaf, pak. Anda harus ke bagian server engine, sepertinya ada masalah. Tolong bapak bantu cek."

Pria itu menghela nafas berat, memandangi Sosok Karin yang sudah menghilang dari pandangannya. Baru pertama kali ini Pasha merasa sangat bersalah pada seorang wanita. Hubungan emosionalnya dengan Karin begitu dekat.

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status