Share

Masih Kesal

Karin tidak tahu ada di mana. Dia hanya berjalan mengelilingi kota Jakarta, dengan menaiki satu busway ke busway lainnya. Hanya untuk meredakan hatinya yang seolah remuk redam. Ponselnya sengaja ia matikan sejak keluar dari kantor Pasha tadi. Entah sudah berapa orang melihatnya, mungkin mereka berpikir bahwa Karin terlihat seperti orang yang menyedihkan dan mengenaskan. Tepat hampir jam 11 malam, dan merasa sangat kelelahan, Karin akhirnya kembali pulang ke rukonya. Terduduk lemas di lantai dua. Dan baru tersadar kalo seharian ia belum sempat makan apa-apa, hanya sepotong kue dan secangkir teh tadi pagi. Karin melepaskan jaket Pasha yang masih melekat di tubuhnya. 

Tubuhnya kembali menggigil kedinginan karena sepertinya hujan di luar kembali mengguyur. Ia menatap ke sekeliling rumahnya dengan muram. Cat tembok yang sudah mulai kusam dan mengelupas, tetesan air hujan membuatnya mendongak, atapnya pun sudah mulai bocor. Karin segera beranjak dari duduknya dan mengambil sebuah ember untuk di letakkan di bawah bagian yang bocor. Kemudian ia kembali duduk di sofa tua warna coklat yang sudah mulai robek sana sini. Bunyi tikus berdencit dari balik lemari pakaiannya yang kacanya sudah retak. Lima tahun lalu setidaknya kehidupannya masih baik-baik saja. Ia masih memiliki orang tua dan hidupnya tidak seberat sekarang ini. Namu. takdir seolah menjungkir balikan keadaanya tanpa persiapan. Orang tuanya mengalami kecelakaan maut lima tahun lagi yang menyebabkan kedua orang tuanya meninggal dunia. Dan hanya Karin sendiri yang selamat pada kecelakaan saat itu. 

Tanpa terasa air mata Karin jatuh luruh, selama ini ia sudah berusaha tegar dan menerima semua apa yang terjadi. Namun pertahanannya kembali runtuh hari ini. Kata-kata Pasha  mengambil alih seluruh isi kepalanya, membuat file-file luka lama yang tersimpan rapih di sana kini kembali terbuka.  Biasanya Karin sangat kuat, dengan topeng kepura-puraanya yang selalu ia tunjukkan selama ini. Tapi kali ini semuanya luntur, ia seolah menjadi jujur di hadapan tembok, lemari dan sofa-nya sendiri. Benar kata Pasha, dunia ini memang kejam. Semua orang hanya memikirkan dirinya sendiri. Hanya dua yang bisa di percaya dari lahir hingga kita tiada. Yaitu Tuhan dan diri sendiri. 

Katanya, uang bukanlah segalanya. Itu bagi orang-orang yang benar-benar kaya raya. Akan terasa mudah untuk mengucapkannya. Tapi bagi Karin, dulu saat orang tua nya masih ada, meskipun mereka tidak terlalu kaya. Semuanya terasa mudah bagi Karin. Karin tidak perlu merasakan lelahnya bekerja dan memutar otaknya sendiri demi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Bahkan cicilan ruko yang sebenarnya belum lunas. Karin bukannya tidak mau meminta bantuan pada orang lain. Tapi harga dirinya terlalu tinggi jika harus di kasihani oleh orang lain. Dia hanya punya impian sebagai harga dirinya.  Dia masih berharap bisa mewujudkan cita-citanya sendiri dengan kemampuan yang ia punya. Tapi seseorang dengan mudahnya menggampangkan semuanya dan membuatnya kian merasa terhina. 

Karin menatap kembali seisi rumahnya dengan tatapan muram. Lagi-lagi ia membenarkan perkataan Pasha dalam kepalanya. Pasha benar, selama ini dia terlalu naif, ia memiliki mimpi tapi tidak percaya diri dalam mewujudkannya. Tidak heran ia masih terperangkap di tempat ini, hidupnya seolah berjalan di tempat, tidak memiliki perubahan.

Karin menghidupkan ponselnya kembali. Terdapat begitu banyak panggilan dari Pasha.    Juga ada pesan what sapp dari pria itu. Karin segera membukanya.

"Aku tuh ngerasa nyaman sama kamu, aku harap kita enggak berantem kayak gini." 

Dada Karin seolah bergemuruh saat membaca pesan tersebut. Air matanya kembali mengalir deras. Di raihnya jaket Pasha yang tergeletak di dekatnya, kemudian ia peluk dan mengendus aromanya dalam-dalam. Berharap bisa merasakan kehadiran Pasha di dekatnya. 

***

Suara bel yang berkali-kali akhirnya membuat Karin menggeliat dan terbangun dari tidurnya. Ia bangkit duduk sambil mengumpulkan seluruh nyawanya. Bel masih terdengar berbunyi. Ia melirik jam Beker di nakas dekat tempat tidurnya. 

08.00

Mata Karin seketika membelalak. Bagaimana bisa ia bangun sesiang ini. Ia pun segera menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya   dan bergegas turun ke lantai bawah. 

Tante Ria sudah berdiri di balik pintu begitu membuka pintu rolling dornya. 

"Pagi neng, tumben baru bangun. Ini Tante bawain kamu gulai kambing, semalem Tante tungguin kamu enggak pulang-pulang." Ujar Tante Ria sembari menyerahkan semangkuk gulai dan sepiring nasi yang masih tampak mengepul. Aroma nya benar-benar menggugah selera. "Kamu enggak jualan hari ini?" 

"Enggak dulu kayaknya, Tan. Aku lagi capek." Karin memaksa tersenyum.

"Kamu capek nyari duit?" Karin Tahu Tante Ria hanya bermaksud bercanda. 

"Istirahat sekali-kali boleh kan, Tan?"  

"Iya boleh-boleh aja, sih. Kenapa kamu enggak nikah aja, kan enak tuh ada yang nafkahin." 

Karin menggeleng. "Aku enggak kepikiran nikah dulu, Tan. Aku enggak mau hidup  bergantung sama cowok, aku pingin bebas, aku pingin punya kebebasan finansial. Biar cowok enggak semena-mena sama aku."  Karin terkekeh kecil.

"Ya ... kamu itu aneh-aneh aja, kalo suami kamu sayang sama kamu dia juga enggak bakalan sia-sia in kamu, lah, kamu yang terlalu berpikir berlebihan. Eh ... tapi bener juga sih, buktinya Tante cerai sama papa nya Sisil. Iya kan?" Tante Ria seolah menyadari satu hal. Karin hanya tersenyum dan tak ingin menanggapi lebih lanjut. 

Tante Ria menyingsingkan rambut Karin ke telinga. "Mata kamu sembab, kamu abis nangis, ya?" 

"Permisi ...,"  mereka berdua pun langsung menoleh ke asal suara. Seorang cowok dengan balutan kemeja hitam dengan lengan di gulung hingga ke siku berdiri di belakang mereka. Karin mengeriyit melihat kemunculan Pasha.

"Ngapain kesini?" 

"Oiya... Tante baru ingat, kalo di rumah lagi goreng pisang. Tante pulang dulu, ya, Neng."  

Tante Ria buru-buru berlalu meninggalkan Karin dan Pasha yang masih setia berdiri di halaman. 

Karin membawa masuk sepiring nasi dan semangkuk gulai pemberian Tante Ria. Kali ini rasa laparnya bertubi-tubi. Ia langsung melahap makanan pemberian Tante Ria itu. Pasha melangkah masuk. Menarik sebuah kursi dan meletakkan satu kotak coklat dan sekotak susu segar di meja. "Ada yang bilang, kalo kita makan coklat bisa menambah zat seretonin ke otak. Dengan begitu perasaan kita akan lebih bahagia."

Karin seolah tak peduli. "Aku udah bilang kan enggak suka coklat apalagi susu. Kamu ngapain kesini?" 

"Aku mau minta maaf." 

"Tumben minta maaf, biasanya juga enggak pernah. Udah deh. Enggak usah merasa bersalah gitu. Lagian bukan salah kamu, yang kamu omongin kemarin itu bener semuanya. Aku ini emang payah. Lagian kita itu cuma temen. Jadi santai aja." Karin bicara tanpa menatap mata Pasha. Ia tidak ingin pertahanannya runtuh.

"Ponsel kamu enggak aktif semaleman, aku takut kamu kenapa-napa."

"Udah deh, enggak usah lebay. Kalo pun aku mati, bukan urusan kamu, kok. Kalo pun aku jadi arwah, aku juga enggak bakal gentayangin kamu, kok. Jadi tenang aja."

"Karin..." Pasha melembutkan suaranya, "yang kemarin itu jangan di anggap serius, kita cuma sedang kebawa emosi. Aku sadar kata-kata aku mungkin nyakitin buat kamu. Dan udah sewajarnya kamu marah." 

Karin menyuap nasi gulainya dengan nikmat.  Pura-pura tidak peduli, padahal kedatangan Pasha cukup mengusiknya. Dia harus menahan diri mati-matian untuk menghambur ke pelukan cowok itu, atau mendaratkan kecupan di pipinya sebagai tanda kangen. "Aduh, Tante Ria pinter banget deh masaknya. Kamu mau cobain enggak? Eh .. tapi jangan deh, ini kan makanan kalangan orang bawah. Kamu kan kalangan atas, makannya steak. Nanti sakit perut, enggak cocok sama lidah dan perut kamu."

Mendengar Karin bicara begitu. Pasha malah mengambil sendok dan menyendok gulai kambing. Kemudian menelannya bulat-bulat. Karin menatapnya heran.

"Itu gulai kambing, loh." 

"Ya, terus kenapa?" 

"Aduhh... Nanti kalo sakit perut gimana? Nanti orang tua kamu nyalah-nyalahin aku lagi. Anak kesayangan aku makan apa sih? Pasti gara-gara temenan sama cewek kampungan itu."

"Karin, kamu itu kenapa sih?" 

"Kenapa apanya? Aku cuma berusaha sadar dengan siapa diri aku sebenernya!"

"Aku kemarin ngomong gitu, bukan bermaksud meremehkan kamu atau ngerendahin kamu, aku cuma pingin kamu sadar sama mimpi kamu."

"Ya, ya, ya, Terima kasih atas kata-katanya tuan Pasha yang terhormat. Kamu enggak usah repot-repot nyadarin aku. Karena sekarang aku udah seratus persen sadar. Sekarang kamu boleh pergi dari sini. Karena aku enggak mau punya hubungan sama kamu lagi. Ngerti." Karin mengatakan semua itu dengan penuh emosi. Meskipun di lubuk hatinya dia sedang membohongi dirinya sendiri. Pasha adalah penyemangat beberapa bulan terakhir ini. Hidupnya seolah kembali bewarna karena kehadiran pria itu. Putus hubungan dengannya bearti Karin harus kembali menjalani hari-harinya yang kelabu. Namun begitulah hidup. Selalu penuh dengan kejutan. Kitalah sebagai manusia yang di tuntut untuk beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi. Karena Dunia tidak akan senantiasa melembut hanya karena seseorang bersedih atau sedang mengasihani diri sendiri.

"Enggak, aku udah terlanjur janji sama kamu."

"Janji apa?" 

BERSAMBUNG.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status