Share

Chapter 5 - Istana dan Gadis Manja

Chapter 5

-Istana dan Gadis Manja-

Setelah menghabiskan makan siangnya, Ana memakan makanan penutupnya dengan mata yang sesekali melirik ke arah Dimitri. Sedangkan Dimitri sendiri tampak sibuk dengan kopinya. Lelaki itu tak tampak ingin memulai pembicaraan hingga Ana akhirnya mebuka suara.

"Apa yang ingin kau bahas?" tanyanya secara langsung.

"Kau, sudah selesai dengan makan siangmu?" Dimitri bertanya balik.

"Seperti yang kau lihat." jawab Ana. "Jadi, apa yang terjadi dengan Rosaline?"

Dimitri menghela napas panjang."Mungkin kau pikir ini sedikit menggelikan, tapi aku ingin tahu, apa dia memiliki teman kencan?"

Ana mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa kau menanyakan tentang hal itu?"

"Aku melihat dia cukup dekat dengan pria lain di dalam tokonya."

"Mungkin itu hanya pelanggannya."

Dimitri sedikit tersenyum masam. "Dia tidak mengakuiku di depan pria itu."

Ana tertawa lebar."Jadi kau kesal karena hal itu? Ayolah, kau sudah membiarkannya pergi selama Empat tahun tanpa mengejarnya, kau seharusnya bersyukur karena dia tidak berkencan dengan pria manapun selama itu."

"Kau yakin?"

"Kak, Aku selalu berada di sisinya, kau tahu."

Dimitri tersenyum sebal."Ana, jangan lagi memanggilku dengan panggilan menggelikan itu."

Lagi-lagi, Ana tersenyum lebar."Baiklah, tapi kau harus tahu, Rose tidak dekat dengan siapapun." Ana meminum jusnya, lalu melanjutkan kalimatnya."Bahkan tadi malam saja, dia berkata jika dia ingin bercinta denganmu."

"Apa?"

"Ya, kau tahu, hormon ibu hamil."

"Kau bercanda?"

"Dia meneleponku sepanjang malam, berharap jika aku bisa mengalihkan dia dari gairahnya.Yang benar saja."Ana tertawa lebar."Kau harus menempel dengannya agar dia tidak lagi mengganggu malam-malamku bersama Sean."

Dimitri sedikit tersenyum, ia mengaduk kopinya dan bertanya. "Kau masih dengan pria inggris itu?" tanya Dimitri tanpa melihat ke arah Ana.

"Sean? Ya, tentu saja. Dia sudah melamarku. Lihat ini."Ana menunjukkan jari manisnya yang sudah dilingkari cincin pemberian Sean, kekasihnya.

Dimitri melirik sekilas lalu berkomentar."Kau, tampak bahagia dengannya."

"Ya, dan akupun berharap kau bahagia dengan Rosaline."Dimitri tersenyum dan kembali menatap ke arah kopinya. Lalu jemari Ana meraih jemari Dimitri. "Aku membantumu untuk kembali mendapatkan Rose, Aku ingin kau memiliki kebahagiaan yang sebenarnya seperti yang kurasakan. Aku tidak ingin kau seperti Katavia."

Wajah Dimitri mengeras seketika saat mendengar nama itu di sebut. Katavia Armanzandrov, adiknya, dan, adik Ana juga tentunya. Perempuan yang setengah gila karena jatuh cinta pada Dimitri yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Tapi Dimitri tak dapat menghakimi Katavia, mengingat itu adalah sebuah kelainan. Tentu saja berbeda dengan apa yang ia rasakan dulu kepada Ana.

"Kau, bisa bahagia, bukan?" tanya Ana sekali lagi.

Dimitri menatap Ana dengan mata tajamnya."Ya, tentu saja."

"Rose mencintaimu, aku harap kalian mendapatkan kebahagiaan kalian. Dan sepertinya, kau harus bekerja ekstra."

"Maksudmu?"

"Sepertinya di tahu hubunganmu yang tak biasa dengan Katavia."

"Benarkah?"

"Ya, baru tadi malam dia bercerita padaku, bahwa dia pergi karena merasa jika kau memanfaatkannya."

Dimitri menghela napas panjang."Apa yang harus kulakukan selanjutnya?"

"Buat dia kembali mencintaimu, aku tahu Rose belum bisa melupakanmu, dia hanya terlalu kecewa padamu."

"Kau tahu bukan, jika aku bukan tipe pria yang suka menggoda atau merayu wanita? Sungguh, ini sama sekali bukan diriku."

Ya, tentu saja Ana tahu, lelaki macam apa Dimitri. Lelaki ini memang memiliki segalanya. Tampan, kaya, berkuasa, tapi dia bukan sosok romantis, atau sosok berengsek yang memanfaatkan kekuasaannya untuk bermain-main dengan perempuan.

Ana bahkan tidak yakin, jika dulu Dimitri mampu menakhlukkan hati Rosaline. Ya, walau pertemuan keduanya sudah ia dan Dimitri rencanakan, tapi tetap saja, sikap Dimitri yang kaku membuat Ana sedikit ragu.

"Hei, kau bisa memanfaatkan hormonnya yang sedang kacau."

"Maksudmu?"

Ana tersenyum penuh arti."Kau tentu tahu apa maksudku."

Ya, Dimitri tahu. Tapi ia tidak yakin dapat melakukannya. Membawa Rosaline ke atas ranjangnya dan menjalin keintiman kembali seperti dulu. Dapatkah ia melakukannya?

***

Malamnya...

Dengan sedikit malas Rosaline membuka pintu flatnya. Dia tahu jika yang datang adalah Dimitri karena lelaki itu sudah bilang padanya tadi siang.Tapi tetap saja, rasa kesalnya tak berkurang sedikitpun saat tahu jika Dimitri memang benar-benar datang untuk mengajaknya makan malam bersama.

"Kau tidak perlu repot-repot. Aku sudah makan malam."Jawab Rosaline dengan sedikit ketus.

"Kau tidak pandai berbohong."

"Ayolah, aku hanya tidak ingin menghabiskan malamku denganmu."Akhirnya Rosaline mengaku."Kau membuatku terganggu!" lanjutnya lagi.

"Biarkan aku masuk."

"Tidak!"Rosaline berseru keras. Ya, ia tidak akan membiarkan Dimitri masuk, karena jika lelaki itu masuk ke dalam flatnya malam ini, maka ia tidak dapat berjanji jika bisa menjaga diri dan perasaannya agar tidak tergoda dengan lelaki itu.

"Rose, ini tidak adil untukku.Bayi itu adalah milikku juga."

"Jika aku tahu bahwa kau sang pendonor sperma, maka aku akan menolak mengandungnya."

"Ucapanmu sudah keterlaluan, Rose."

"Maksudku, kau tidak memiliki hak, di sini akulah yang memutuskan untuk mengandung bayi ini. Meski itu bukan dirimu, meski sang pendonor itu adalah pria lain, aku tetap tidak bisa menerimanya. Karena aku memutuskan hal ini sendiri."

"Dan karena ini milikku, maka aku memiliki hak sebesar dirimu."Dimitri mengucapkan kalimat tersebut sambil menerobos masuk, mendorong pintu flat Rosaline dan masuk begitu saja meski Rosaline sebenarnya tidak mengizinkannya masuk.

Snowky menggonggong, melompat-lompat kearah Dimitri, seakan tidak suka dengan kedatangan lelaki itu.

"Anjing yang pintar."Dimitri berkomentar. Ia senang jika Rosaline ada yang menjaga, meski itu hanya seekor anjing.

"Aku tidak mempersilahkan kau masuk. Kenapa kau tetap masuk?"Rosaline bertanya tanpa bisa menyembunyikan kekesalannya. Sungguh, ia tidak ingin Dimitri berada di sini malam ini, apalagi dengan sikap arogan dan begitu mengintimidasinya.

Jemari Dimitri terulur, mencoba meraih pipi Rosaline, tapi secepat kilat Rose menampiknya.

"Jangan coba-coba."Rosaline mengingatkan.

"Kau masih milikku, Rose."

Rosaline tertawa seakan menertawakan perkataan Dimitri."Katakan itu pada adikmu."

"Apa yang dikatakan Katya kepadamu?" Katya adalah panggilan masa kecil Katavia.

"Tidak ada."

"Ceritakan padaku, maka aku bisa mengerti apa yang kau rasakan. Aku bisa menerima kebencianmu jika kau mau mengungkapkan semuanya. Bukan malah kabur dengan surat sialan itu."

Mengatakannya? Tidak bisa, bahkan untuk mengingatnya saja, Rosaline merasa sakit hati....

Empat tahun yang lalu...

Rosaline masih tidak menyangka jika saat ini, statusnya sudah berubah menjadi seorang istri, setelah kemarin sore, Dimitri memperistrinya di sebuah gereja sederhana yang hanya disaksikan oleh pendeta.

Kini, lelaki itu mengajaknya pulang.Ya, pulang ke rumah lelaki tersebut. Astaga, bahkan hingga saat ini, Rosaline tidak banyak mengenal Dimitri. Ia benar-benar bodoh, padahal belum genap sebulan ia berkenalan dengan Dimitri, dan ia menerima begitu saja ajakan lelaki itu untuk menikah.

Terkadang, Rosaline takut, jika Dimitri bukanlah orang yang baik.Ia takut karena ia sudah terlanjur jatuh hati dengan lelaki itu bahkan sejak pertama kali bertemu dan menatap mata Hazelnya. Maka dari itu, kini, Rosaline tak dapat menyembunyikan perasaan gugupnya. Perutnya terasa melilit, seperti ia akan menghadapi sebuah peristiwa besar.

Hal tersebut tak lepas dari pandangan Dimitri, hingga Dimitri bertanya lembut padanya. "Kau, baik-baik saja?" tanya Dimitri yang masih berkonsentrasi mengemudikan mobilnya.

"Jika boleh jujur, aku sedang tidak baik-baik saja."

Dimitri sedikit tersenyum."Ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Ya, Astaga, aku merasa bodoh. Aku masih tidak percaya jika kita sudah menikah. Aku menikah dengan orang asing?"

"Aku bukan orang asing, Rose.Aku suamimu."

"Well, sebelumnya kau adalah orang asing. Aku bahkan tidak mengenal keluargamu, tidak tahu dimana rumahmu."

"Kau akan tahu setelah ini." Dimitri menjawab dengan tenang.

"Maksudku, seharusnya aku tahu sebelum kita menikah, bukan setelahnya."

"Kupikir itu bukan masalah, karena aku yakin, kau tidak akan berubah pikiran setelah tahu semuanya."

Well, benarkah? Ya, jika Dimitri bukan seorang gembel dengan banyak hutang, maka Rosaline tidak akan berubah pikiran. Rosaline memang sudah jatuh hati dengan Dimitri, tapi memikirkan jika mungkin saja lelaki itu adalah seorang yang tak memiliki pekerjaan atau bahkan mungkin memiliki banyak hutang membuat Rosaline berpikir dua kali untuk melanjutkan pernikahan mereka. Bukannya Rosaline mata duitan, tapi ia mencoba berpikir realistis. Hidupnya sendiri saja masih pas-pasan, tidak mungkin ia menerima beban Dimitri jika benar lelaki itu kekurangan seperti yang ia pikirkan.

Tapi kemudian, Rosaline menegakkan punggungnya seketika, ketika Dimitri berhenti di depan sebuah pagar besar yang lebih cocok disebut dengan benteng sebuah istana.

Apa mereka akan mengunjungi tempat bersejarah dahulu sebelum pulang ke rumah Dimitri?

Benteng atau gerbang besar itu akhirnya terbuka secara otomatis setelah Dimitri mengeluarkan sesuatu seperti alat mengenal dari dashboard mobilnya dan ditempelkan pada alat yang tersedia disisi gerbang.

"Kau bekerja di sini?" tanya Rosaline dengan wajah polosnya.

Dimitri tertawa, ia menggelengkan kepalanya dan masih mengemudikan mobilnya masuk ke dalam gerbang tersebut.

Rosaline sempat ternganga menatap pemandangan di hadapannya. Itu seperti sebuah mansion, tidak, mungkin lebih cocok di sebut dengan istana. Sangat besar, sangat indah. Tempat apa ini? Tanyanya dalam hati.

"Kau tidak perlu ternganga seperti itu." Dimitri berkomentar dengan sedikit menyunggingkan senyumannya.

"Kau bekerja di sini?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Ini rumahku, Rose. Kita akan tinggal di sini sementara dan pindah setelah aku menemukan rumah baru untuk kita berdua."

"Kau bercanda?" Rosaline masih tidak percaya jika apa yang ia lihat adalah rumah Dimitri. Ia memang tidak suka berpikir jika Dimitri adalah lelaki miskin, tapi Astaga, ini terlalu berlebihan untuknya.

Dimitri menggelengkan kepalanya masih dengan senyuman lembutnya ia menjawab "Ini rumah keluarga Armanzandrov."

Sial! Mengetahui hal ini tidak membuat Rosaline senang atau membaik, tidak, mungkin lebih ke gugup.Ia merasa Dimitri semakin mengintimidasinya berkali-kali lipat dari pada sebelum ia tahu siapa sosok lelaki yang sudah menjadi suaminya itu sebenarnya.

Jika benar Dimitri adalah pemilik istana ini, maka bisa dibilang jika lelaki ini adalah salah satu milyader dari Rusia.Tapi kenapa Dimitri memilihnya? Menikahinya begitu saja padahal mereka belum lama saling kenal. Apa Dimitri tidak takut tertipu dengan orang asing?

"Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Dimitri saat ia sudah memarkirkan mobil yang mereka kendarai di tempat parkir yang sudah disediakan.

"Kau, tidak bercanda tentang hal ini, bukan?"

"Apa yang membuatmu berpikir aku sedang bercanda?"

"Kau, jika kau pemilik istana ini, maka siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa memilihku?"

Dimitri sedikit tersenyum. Ya, lagi-lagi senyum itu. "Keluarga Armanzandrov adalah salah satu klan keluarga terkaya dan terpandang di Rusia, kami juga salah satu klan Bangsawan di sini. Aku hanya bisa bercerita tentang itu. Karena jika aku menceritakan usaha kami, maka itu tidak akan ada akhirnya. Kau juga tak akan mengerti."

"Lalu kenapa aku? Kenapa kau berada di Kremlin saat itu? Kenapa kau menolongku, turis yang sedang sial. Bahkan saat ini aku merasa seperti seorang pengemis saat di hadapanmu."

"Rose. Jangan seperti ini. Mungkin itu sudah takdir, aku berada di sana karena kupikir aku sudah cukup lama tidak ke sana. Lalu aku melihatmu jatuh tak berdaya, melihat tangismu yang seketika itu juga menyentuh hatiku. Aku tidak pernah merasa kekurangan, tapi denganmu, aku merasakan hal itu. Aku menyukaimu, Rose, aku mencintaimu, karena itulah aku memilihmu."

"Dan orang tuamu? Apa mereka akan menerima pilihanmu?"

"Ya, tentu saja. Mereka akan menerima apapun pilihanku, apalagi jika wanita itu mampu memberi mereka seorang penerus."

"Maksudmu, kau ingin, aku mengandung bayimu?" Rosaline bertanya dengan sedikit tak percaya.Ya, karena selama menjalin hubungan dengan Dimitri, mereka tak pernah sekalipun membahas tentang bayi. Bukannya tidak suka, tapi itu malah membuat Rosaline terharu karena Dimitri rela penerusnya dikandung oleh wanita biasa-biasa saja sepertinya.

Jemari Dimitri terulur mengusap lembut pipi Rosaline."Ya, tentu saja. Kau istriku, hanya kau yang boleh mengandung dan melahirkan bayi-bayiku nantinya."

Terharu, tersentuh, dan entah perasaan apalagi yang dirasakan oleh Rosaline saat itu. Ya, setidaknya pengakuan Dimitri saat itu mampu menyuntikkan sebuah kepercayaan diri, bahwa ia memang spesial untuk lelaki ini, dan ia pantas bersanding dengan lelaki ini.

***

Nyonya Armanzandrov menyambutnya dengan bahagia. Rupaya, ibu Dimitri bukanlah seseorang yang memandang orang lain dari status sosialnya. Dengan senang hati, Rosaline di ajak berkeliling rumah yang lebih cocok di sebut sebagai istana tersebut.

Entah sudah berapa banyak pelayan berseragam yang ia temui di sana. Sayangnya, tak seorangpun di sana yang dapat berbahasa inggris karena mereka menggunakan bahasa rusia.

"Kau akan senang tinggal di sini." ucap ibu Dimitri. "Kami akan memanjakanmu seperti seorang puteri." Lanjutnya lagi dengan aksen khas orang Rusia.

"Terimakasih." Hanya itu yang dapat Rose ucapkan.Ia tidak tahu harus berkata apa lagi, meskipun wanita itu tak lagi muda, nyatanya ia mampu mengintimidasi Rosaline hanya dengan setiap pergerakannya.

"Dimitri." Sebuah panggilan memaksa semua orang yang berada di sana menoleh ke arah suara tersebut, termasuk Rosaline.

Rosaline melihat seorang gadis cantik dengan rambut berwarna madu datang menghampiri mereka. Dengan mesra gadis itu merangkul lengan Dimitri tanpa canggung sedikitpun. Bahkan gadis itu melemparkan tatapan tidak sukanya ke arah Rosaline.

"Katya, kenalkan, ini Rose, istri kakakmu. Dan Rose, ini adalah Katavia, adik Dimitri, kau bisa memanggilnya dengan Katya."

Rosaline tersenyum saat tahu siapa gadis yang tampak manja di hadapannya itu. Rupanya itu adik Dimitri. Dengan senang hati Rosaline mengulurkan telapak tangannya, berharap dapat berkenalan dan menjadi teman baik gadis yang dipanggil dengan panggilan Katya tersebut.

"Rose." Rosaline memperkenalkan diri sambil mengulurkan telapak tangannya.

Bukannya menerima uluran tangan Rosaline, gadis itu malah menatap Rosaline dengan tatapan penuh kebencian. Lalu ia menatap Dimitri dengan mata marahnya.

"Kau menikah dengannya?" tanya gadis manja itu pada Dimitri dengan nada tidak suka.

Rosaline merasa ada sesuatu yang janggal. Apa mungkin Katavia belum rela ditinggal kakaknya menikah? Apa gadis itu takut perhatian Dimitri kurang terhadapnya? Ya, mungkin saja begitu. Rosaline mencoba berpikir positif.

"Ya, Katya. Rose adalah istriku." Dimitri menjawab dengan tenang, tapi terselip sebuah ketegasan dalam setiap perkataannya .

"Kau mengkhianatiku! Kau menyakitiku! Aku membencimu!" seruan-seruan itu terucap dalam bahasa Rusia hingga membuat Rosaline bingung karena tak mengerti. Tapi terlihat jelas pada ekspresi wajah gadis itu, bahwa gadis itu sedang marah dan sangat tidak suka dengan kehadirannya.

Gadis itu berlari pergi, dan Dimitri segera berlari menyusulnya, meninggalkannya seperti orang bodoh yang tidak mengerti apapun.

Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

-TBC-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status