Share

Part 2

Perasaan yang paling menyakitkan adalah ketika kau tak bisa memiliki sesuatu yang paling kau inginkan. Tapi, hal yang paling sulit diterima adalah menghadapi kenyataan bahwa orang yang kau cintai adalah orang yang bertanggung jawab atas kesakitan itu.

"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."

Sepasang mata hitam memandangnya tajam. Menusuk, seolah ingin benar-benar melukai hatinya. Tak ada dusta disana. semuanya terdengar nyata saat ini. Ingin rasanya ia membelai wajah itu, namun apa jadinya jika itu sampai ia lakukan. Jean takkan pernah membiarkannya menyentuh sejengkal tubuh miliknya. Laki-laki itu akan menepis kuat rasa kasih yang berusaha ia sampaikan meski hanya dengan kata-kata.

Kini ia tahu mengapa dahulu ibunya begitu mencintai ayahnya. Ia mengerti posisi itu. Sampai disaat ayahnya telah bersatu dengan tanah, ibunya tak pernah berhenti mencintainya. Ia ingin seperti itu. ia ingin mencintai laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Akan tetapi, sampai kapan semuanya bisa ia lewati. Pada titik ini, ia sudah merasa sebagian dari dirinya mulai merasa lelah. Kesakitan yang sudah mendarah daging, sedikit demi sedikit telah membangunkan egonya sebagai seorang istri.

Odelia hanya ingin Jean memperlakukannya selayaknya seorang istri. Sikap pria itu yang lembut entah kemana telah menguap, itulah yang ia inginkan. Meskipun ia tahu Jean tak mungkin lagi bersikap sama, namun itulah hal yang paling ia inginkan. Ia ingin tua bersama Jean.

"Katakan.. mengapa kau melakukan ini?" Odelia berbisik. Pertanyaan itu seperti tak pernah berhenti berputar. Selalu dalam pertanyaan yang sama, Odelia bertanya kepada suami. Kebencian yang membara dalam diri Jean membuatnya ingin mengetahui apa sebabnya. Jika saja Jean mau mengatakannya, mungkin ia akan merubah keburukan itu demi suaminya. Ia takkan membiarkan Jean menderita selama hidup dengannya.

Jean terdengar mendengus. Pria itu menjauh dari Odelia yang masih terbaring tak berdaya diatas lantai. Tubuh wanita itu tak lagi tegak dan kokoh. Tubuh wanita itu meluruh seiring dengan kesakitan yang ditorehkan Jean padanya. Laki-laki itu bertolak pinggang, tatapannya liar memandang Odelia seolah wanita itu adalah seorang yang telah menghilangkan nyawa seseorang.

"Harusnya kau bertanya kepada dirimu sendiri mengapa aku melakukan semuanya. Aku bukanlah orang gila yang menyiksa seseorang tanpa alasan yang jelas."

Odelia memejamkan matanya sejenak. Tentu saja, Jean memiliki alasan yang kuat untuk menyakitinya. Tapi, alasan seperti apa? Ia sungguh ingin tahu. Odelia tak mungkin membiarkan Jean begitu saja menyebarkan kebencian dalam hidupnya. Ia harus tahu bagaimana pria itu bisa membencinya. Ia ingin melakukan semuanya untuk Jean.

Dengan semua yang ada dalam diri pria itu, Jean mampu mengusik ketenangan jiwanya. Bahkan sampai meremukkan tubuhnya pun pria itu bisa. Namun Jean melakukannya secara perlahan, membiarkannya menikmati rasa sakit ini. Rasa yang pasti takkan mudah Odelia lupakan seumur hidupnya.

"Kau akan tahu, tapi aku tak sudi memberitahukan Jalang sepertimu." Jean berkata, menggambarkan betapa jijiknya lelaki itu pada Odelia. Matanya yang memicing seolah menyiratkan betapa kotornya Odelia dimata Jean. Laki-laki itu melakukannya untuk menunjukkan bahwa Odelia sudah tak berharga lagi baginya.

"Ah ya,.." Jean merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. Ditangannya kini terdapat botol kecil yang berisikan pil berwarna putih. Ada tiga bagian disana, dan tanpa perlu bertanya, Odelia tahu pil apa itu.

"Kau minum ini." Perintahnya. Jean melemparkan botol yang terbuat dari plastik itu didepan wajah Odelia. "Aku tak sudi memiliki keturunan wanita jalang sepertimu. Jangan harap aku mau menitipkan anakku disana."

Odelia, dengan pilu memandang butiran pil tersebut. Ia tahu alasan sebenarnya. Ia tahu bahwa sejak awal Jean menolak untuk membiarkannya mengandung. Selama setahun, ia harus bertahan dengan meminum pil itu agar tak bisa hamil. Jean selalu memaksanya. Laki-laki itu enggan memakai pengaman dan memilih menyuruhnya untuk meminum pil tersebut.

Dalam hati, Odelia sungguh berharap setidaknya ada satu nyawa yang dapat tumhuh dirahimnya. Ia ingin mengandung, menjadi wanita seutuhnya. Namun Jean tentu takkan menyukai gagasan tersebut. Laki-laki itu pasti akan melakukan apa saja agar mencegah hal itu terjadi.

"Jika kau sampai hamil, maka akulah orang pertama yang akan membunuhnya."

"Kau tega?" pertanyaan itu seolah meragukan kembali rasa iba yang masih tertinggal pada hati suaminya. Odelia tak habis pikir bagaimana bisa Jean berpikir sejauh itu. Laki-laki yang berdiri didepannya seolah tak lagi memiliki hati.

Jean menyeringai. Sedikit mendengus, pria itu kembali membalikkan tubuhnya yang sudah berjalan hingga ke ambang batas pintu. Mata elangnya memandang rendah pada sosok yang kini sudah tak lagi berdaya itu. Dimatanya kini, Odelia tak lebih dari sampah tak berguna yang sebentar lagi mungkin akan ia buang.

Baginya Odelia adalah sampah.

"Aku bisa melakukan apapun. Bahkan hal yang sebelumnya tak pernah kau bayangkan, Odelia. Jangan pernah membayangkannya, karena aku akan mewujudkan hal itu dengan segera."

Bunyi dentuman pintu tertutup mengakhiri segalanya. Odelia meringis antara kesedihan dan kesakitan yang memerangkap hatinya. Tangisan wanita itu yang semula tak bersuara, kini semakin terdengar meraung. Tangisan pilu yang bisa membuat siapa saja ikut bersedih.

Odelia, dengan kesedihannya. Tak pernah ada yang tahu bahwa sosok itu perlahan akan hancur dan remuk.

"Aw!"

Odelia meringis saat kapas dengan cairan alkohol itu menyentuh luka robekan pada kulitnya. Rasa nyeri bercampur sakit menjalar disekujur tubuhnya dan membuat dirinya hampir menitihkan air mata. Bahkan saat ini pandangannya mengabur kala air mata yang nakal itu sudah mulai berkumpul dan siap untuk terjatuh ke arah wajahnya.

Wanita berambut panjang itu terduduk sendiri didapur. Tangannya bergerak pelan, mengobati luka baru yang didapatkannya pagi ini. Sedikit ringisan pun terdengar mengisi ruangan luas yang biasanya digunakannya untuk menyiapkan segala keperluan memasak untuk sang suami.

"Nyonya, apakah tak apa seperti ini?"

Seorang wanita paruh baya yang duduk didepannya memandang penuh iba pada wanita yang kini terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Sejak kedatangannya pagi ini ke tempat dimana ia mencari nafkah, pagi yang sama selalu ia temuka. Kondisi wanita yang entah bagaimana bisa seperti ini. Tak pernah dibayangkannya betapa berat hari-hari yang harus dilalui oleh wanita yang kini tengah sibuk mengobati luka-lukanya sendiri. setahun sudah berjalan, namun tak pernah ada penyelesaian.

"Tak apa, Bi. Lagi pula ini adalah luka biasa."

Wanita paruh baya yang dipanggilnya dengan sebutan "Bi" itu mengernyit heran. Bagaimana bisa dikatakan luka biasa jika memar hampir menjadi tatanan pada setiap tubuhnya. Sudah bukan rahasia pribadi lagi jika hanya ada satu orang yang bisa melakukannya. Namun wanita itu tetap keukeuh untuk diam dan memintanya juga untuk menjaga rahasia. Ingin rasanya wanita paruh baya itu membawa keluar Nyonya-nya itu dari rumah besar ini. Tak ada artinya bila hidup dalam sangkar emas, namun menderita lahir –batin didalamnya.

"Nyonya, saya mengerti bagaimana perasaan Nyonya. Tapi, tindakan Tuan sudah kelewatan. Tak sepantasnya Tuan – "

"Dia pantas melakukannya."

Odelia, wanita itu memotong ucapan pembantu rumah tangga harian yang hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk melakukan bersih-bersih. Ia tahu wanita itu sungguh memiliki perhatian yang lebih untuknya. Bahkan wanita paruh baya itu tak segan untuk membantunya berdiri disaat tubuhnya sudah hancur remuk.

Namun Odelia tak bisa menuruti anggapan wanita itu tentang Jean. Baginya Jean mungkin hanya butuh waktu. Pria itu mungkin belum sepenuhnya bisa menerimanya sebagai seorang istri. Apalagi dengan pertemuan singkat mereka, tentu Jean harus berusaha menerima kenyataan bahwa kini wanita yang menjadi istrinya adalah orang asing.

Ia akan memaklumi itu. Selalu.

"Nyonya, sebagai wanita kita boleh saja menurut apa kata suami. Namun jika suami sudah bertindak jauh, apalagi sampai bermain tangan, tak sepatutnya dibiarkan begitu saja."

Odelia hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Tak bisa terpikir oleh akal sehatnya sendiri bahwa ia bisa bertahan sampai sejauh ini. Setahun bukanlah waktu yang singkat. Sudah selama itu ia lewati dengan cara yang sama. Pagi yang selalu sama disetiap harinya dan malam yang selalu datang tak pernah berubah. Penuh kesakitan dan kepedihan.

Akan tetapi, dirinya bisa apa?

Berjauhan dari Jean membuatnya semakin hancur. Hanya dengan membayangkannya saja membuatnya merasa menggigil. Ia memang wanita bodoh. Memilih bertahan dengan kekejaman Jean dari pada kehidupan bebas diluar sana. Tapi, semua itu tak cukup membuatnya bahagia. Mungkin ia bisa bebas, namun bayangan Jean akan terus menghantuinya dan membuatnya semakin tersiksa.

Disini, setidaknya ia bisa terus memandang suaminya itu dari dekat. Tak peduli bagaimana sikap Jean terhadapnya. Ia hanya ingin berada disamping lelaki itu. Lebih lama, sepanjang hidupnya. Memastikan dirinya ada untuk laki-laki itu sampai Jean benar-benar tak menginginkannya lagi. Hingga saat itu datang, Odelia akan tetap bertahan disini.

"Aku hanya akan pergi jika dia yang meminta. Sampai pada saat itu, aku akan menyerah. Sungguh, aku hanya ingin hidup bersamanya semampu yang aku bisa."

Wanita paruh baya itu semakin tak tahan dengan sikap Odelia. Semula ia pun mengira apakah wanita yang ada didepannya ini memiliki penyakit mental yang kronis. Pasalnya, kehidupan Odelia dan jalan pikirannya sungguh tak bisa ditangkap nalar. Bagaimana bisa wanita itu bertahan hanya berlandaskan keyakinan bahwa suaminya akan membalas perasaannya. Ia tak habis pikir, terbuat dari apa hati Odelia. Bagaimana bisa wanita itu diam tanpa meneriakkan rasa sakitnya.

Jika itu wanita lain, mungkin mereka akan memilih untuk mengkhiri hidupnya dengan cara lebih cepat atau melarikan diri dari rumah ini. Tapi Odelia, wanita itu memilih tetap bertahan disini. Diam dan menanti. Entah mengapa hanya memperhatikannya dari jarak sedekat ini, membuat wanita paruh baya itu tak bisa melakukan apapun selain meneteskan air matanya.

"Aku sungguh mencintainya. Tulus. Aku tak berharap lagi dia akan membalas perasaanku, Bi. Hanya saja, aku ingin melihatnya bahagia. Itu saja."

Seorang laki-laki dengan setelan jas berdiri dihadapan pria paruh baya yang kini tengah memegang selembar kertas ditangannya. Pandangan tua laki-laki itu nampak menyendu saat membaca deretan baris kata yang tertera disana. Sungguh, ia tak pernah menyangka jika hal ini bisa sampai terjadi. Setelah sekian tahun terlewati, kabar ini sungguh mengejutkannya. Tak pernah terbayangkan olehnya jika akhirnya kabar ini bisa sampai ke telinganya.

"Apa kau sudah memeriksa seluruh sudut kota? Kau bisa bertanya pada suster yang dulu merawatnya."

"Sudah, Pak. Hanya saja.." ucapannya menggantung. Raut keraguan terbaca jelas di wajahnya yang lebih muda atasannya itu. Pias wajahnya menjelaskan bahwa pria itu kini bimbang memikirkan apakah ia akan menyampaikan informasi ini secepatnya atau tidak. Namun ia tak mungkin menyimpan tugas yang seharusnya ia selesaikan. Yonash menunggu.

"Ada apa?"

"I-Itu... saya mendapatkan info dari orang-orang itu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kasus kematian istri anda." Jelasnya dengan satu tarikan napas.

Dahi Yonash berkerut. "Apa maksudmu?"

"Sebenarnya yang ditemukan oleh kepolisian bukanlah mobil istri anda. Mobil itu hanya diganti dengan plat yang sama."

Lelaki paruh baya itu pun tersentak kaget. Ia tak pernah menyangka setelah bertahun-tahun fakta ini baru terungkap. Kemana saja selama ini orang suruhannya yang ia utus untuk mencari istrinya.

"Baiklah, kau boleh keluar. Laporkan informasi selanjutnya padaku."

Lelaki paruh baya itu memijat keningnya. Hingga detik ini, kasus itu tak pernah terpecahkan. Istrinya benar-benar menghilang tanpa jejak. Bukan meninggal, seperti ang disangka semua orang.

Dua puluh tahun sudah sejak peristiwa dimana istrinya terbunuh. Saat itu Riska bersama Jean tengah berada dalam sebuah perjalanan yang ia yakini adalah rute menuju tempat dimana sosok itu berada. Riska pasti telah mengetahui semuanya dan berniat untuk mengacau. Namun ia tak bisa menyusul istrinya itu lebih cepat. Hingga, pada saat berada ditengah berjalanan ia melihat kerumunan orang yang tengah mengelilingi sesuatu, dan saat ia mendekat, disana Jean memandang sebuah jurang dimana telah terjadi kebakaran mobil.

Yonash ingat betul jika Jean melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana peristiwa itu terjadi. Bahkan sampai saat ini ia selalu mendapat laporan jika putra sulungnya itu sering meracau dalam tidurnya dan menggumamkan tentang peristiwa itu.

Kepergian istrinya akibat kecelakan mobil itu sungguh memukul kebahagiaannya. Semula ia kira dengan kepergian istrinya, akan mudah untuknya kembali hidup normal. ia bisa hidup sebagaimana mestinya. Namun, tentu saja sosok itu menghantuinya. Apalagi dengan ditambah kehadiran Clara yang memang merupakan darah dagingnya. Sungguh andai bisa diulangkan kembali, Yonash akan memilih untuk tetap setia pada Riska.

"Dimana kau sebenarnya, Riska?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status