Share

Part 3

Mencoba bertahan di atas puing, cinta yang telah rapuh. Apa yang kugenggam, tak mudah untuk aku lepaskan.

Sepasang mata teduh itu memandangi rerumputan hijau yang ada didepannya. Suara cicitan burung sesekali terdengar kala ia mencoba untuk kembali tersadar dari lamunannya. Angin yang berhembus sedikit tenang mampu membawa alam tidurnya menjemput ditengah siang hari yang tak begitu terik. Justru siang ini ia merasa bahwa matahari sengaja menutupi sinarnya agar tak menyengat siapapun yang ada dibawahnya. Di taman belakang pekarangan rumahnya, sosok itu memilih terduduk dibawah langit-langit yang seolah tengah menatapnya. Meratapi bagaimana wujud wanita itu yang masih terdiam tak bergerak.

Sosok itu, Odelia hanya bergeming dalam kesendiriannya. Tatapan palsunya tak benar-benar memandang objek yang ada dihadapannya. Pikirannya melayang, berada jauh ditempat yang sama sekali ta bisa ia jamah. Ia ingin mengatakan bahwa ia merindukan sosok yang saat ini sedang dipikirkannya. Menerka apa yang sedang orang itu kerjakan diluar sana. Ia sungguh berharap bahwa Tuhan selalu memberkati orang itu dimana pun ia berada. Meski ribuan pisau telah tertancap disudut hatinya, namun Odelia sulit untuk mengharapkan hal buruk terjadi padanya.

Cinta.

Dalam akal yang sehat, tentu semua orang pasti akan menganggapnya adalah wanita bodoh. Setahun sudah ia mempertahankan dirinya agar terus berada disamping laki-laki itu. memastikan bahwa laki-laki itu sungguh berada dalam keadaan yang baik-baik saja. Odelia ingin memastikan bahwa laki-laki itu bisa bertahan hidup meski ia tahu bahwa dia tak pernah bahagia bersamanya.

Odelia menengadahkan wajahnya ke langit. Disana, awan-awan yang berkumpul menjadi satu seperti tengah menemani kesendiriannya. Ia sudah terbiasa seperti ini. Sejak setahun lalu, Odelia tak pernah bertemu dengan orang lain selain laki-laki itu dan juga pembantu rumah tangga yang hanya datang disaat siang hari. Setidaknya laki-laki itu masih membiarkannya istirahat sejenak dengan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga.

Kejadian tadi pagi dimana ia mendengar sendiri sumpah yang laki-laki itu ucapan, benar-benar menohok hatinya. Jean, laki-laki itu tanpa dusta mengatakan hal yang benar-benar menguar dari hatinya. Tak ada kebohongan dibalik sudut sepasang mata elang miliknya. Jean tak pernah mencintainya, malah cenderung membencinya.

Dendam yang membara dari laki-laki itu mendorong Jean. Sikap kasarnya yang Odelia tahu berasal dari amarah yang sampai saat ini tidak pernah ia mengerti. Odelia bisa saja mencaritahu, namun ia tak mau. Wanita itu takut, jika saat dimana ia mengetahui semua kenyataan dibalik amarah suaminya itu, ia hancur. Cukup menerima amarah tak beralasan dari Jean sudah membuatnya sedikit retak. Ada satu titik dalam hatinya yang telah memiliki celah retakan akibat pengakuan kebencian yang ditujukan untuknya.

Suami yang selalu ia harapkan akan memberkahkan dirinya dengan cinta dan kasih, kenyataannya hanyalah laki-laki yang paling menginginkan kesakitannya. Laki-laki yang paling menginginkan kematiannya. Ia tahu, ia sakit, tapi Odelia tak bisa mendendam padanya.

Baginya, Jean adalah segalanya. Sejak disaat laki-laki itu merengkuhnya erat penuh perasaan dulu, Odelia telah menyerahkan seluruh hidupnya pada lelaki itu. Odelia sudah berjanji bahwa apapun yang terjadi dan bagaimana pun sikap Jean setelah pernikahan ini, ia akan tetap bertahan disisinya. Katakan ia bodoh, namun Odelia tak pernah peduli.

Odelia telah merasakan seluruh kesakitan yang amat mendalam saat ibu tercintanya berpulang ke rumah Tuhan. Ia merasakan kehancuran yang amat mendalam kala itu. Tak pernah terbayangkan olehnya jika hidup tanpa sosok yang selama ini selalu menopang hidupnya. Sosok lembut yang selalu berdiri dibelakangnya, mendorongnya untuk hidup berbahagia.

Ia begitu menyayangi sang ibu, namun Odelia menyesal tak pernah bisa mengabulkan keinginan sang ibu. Suara lembut yang mengalun sebelum kematiannya hanya menginginkan permintaan yang sangat sederhana. Permintaan yang sebenarnya mudah untuk diraihnya, tapi tak pernah ingin ia pijaki. Odelia ingin hidup menjadi seperti yang diminta oleh ibunya. Hanya saja, keadaan yang membuatnya menjadi tak pernah bisa melakukannya. Dirinya yang terlalu lemah, terlalu takut untuk melangkah, karena ia tahu jika setelahnya ia melangkah maka Odelia akan kehilangan Jean untuk selama-lamanya.

"Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa menjadi seorang istri yang bahagia seperti yang kau minta."

Kalimat itu tercelos begitu saja bersamaan dengan laju perasaan yang tertuang dala tetes air matanya. Odelia sungguh menyesal tak bisa mewujudkannya. Permintaan sederhana dari seorang ibu yang menginginkan anaknya bahagia.

Jean, pria itu dengan tenang memandangi jendela ruangan kerjanya yang menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang terbangun disekitar kantornya. Bangunan yang memiliki tinggi puluhan bahkan ratusan meter itu nampak sangat kecil dimatanya kini. Awan yang berkabut sedikit menutupi bayangan jelas dari siluet gedung-gedung itu. Meski terlihat ahampir sama tingginya dengan gedung yang saat ini ia pijak, namun tak ada yang bisa menandinginya. Jean sungguh berterima kasih kepada ibunya yang ikut membantu usaha yang didirikan oleh kakenya.

Masih segar dalam ingatan Jean bagaimana hangatnya dan penuh cinta sang ibu saat mengurus mereka, meskipun ibunya adalah seorang wanita karir. Baginya dan Clara tak ada wanita yang bisa menggantikan sosok ibunya yang masih melekat dihati mereka, terutama Jean.

Saat itu, tepat pada usianya yang baru saja menginjak sepuluh tahun, Jean ingat ibunya memghadiahinya sebuah helikopter mini dengan remot kontrol yang bisa memutar arah terbangnya. Ketika itu semuanya nampak normal. Ayahnya dan juga adiknya yang masih bayi berkumpul bersamanya. Mereka menikmati makan malam dengan penuh kehangatan layaknya keluarga.

Namun semuanya lenyap saat waktu menunjukkan hari yang sudah malam. Ketidaknampakkan sinar matahari membuat Jean sedikit takut dengan situasi dirumahnya sendiri. Kala itu ia melihat ibunya berteriak kepada ayahnya dan mengejar laki-laki itu menuruni tangga. Untuk pertama kalinya sang ibu menyumpah kepada ayahnya. Setelah sepuluh tahun menikah, baru kali itu Jean melihat kemarahan sang ibu.

Riska. Wanita yang bagi Jean begitu hangat seketika berubah menjadi sosok yang tak dikenalnya. Sosok hangat yang melekat pada sosok Riska tiba-tiba saja menguap saat itu. ibunya dengan pancaran mata yang tajam menyadari kehadirannya. Dirinya yang dulu hanyalah Jean kecil tak berdaya, ketakutan dengan ibunya sendiri. Lelehan maskara yang menyerupai air mata hitam membuat wajah ibunya begitu mengenaskan.

Jean, laki-laki itu menghela napasnya. Saat itu adalah saat terburuk dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya pelukan sang ibu yang selalu ia inginkan ditepisnya kasar. Jean memilih berlari, namun sang ibu tetap mengejarnya seperti kehilangan akal. Ia terus berlari, berlari hingga akhirnya tangan itu menangkapnya dan memasukkannya ke mobil.

Ia berusaha untuk keluar, tapi ibunya saat itu seolah menulikan telinganya. Tangisannya kala itu tak digubrisnya. Ia melihat sendiri ibunya berubah menjadi sosok monster. Monster yang menyerupai ibunya sendiri dan merupakan saat terakhir dimana Jean melihat sosok itu secara nyata, sebelum akhirnya mobil yang mereka tumpangi membawa jasad ibunya dan meledak dibawah jurang sana.

Namun sebuah kata yang masih diingatnya jelas. Kata-kata yang menjadi mantra hingga kini, merupakan penyebab semua penderitaannya dengan Clara disaat mereka harusnya mendapatkan kasih sayang sosok ibu. Ditambah dengan perubahan sikap ayahnya yang semakin tak dikenalinya. Ayahnya yang dulu seorang laki-laki penyayang, berubah menjadi orang asing yang entah siapa.

"Sayang.."

Sebuah lengan kurus melingkar disekeliling pinggangnya. Tanpa perlu bertanya, Jean tahu siapa sosok yang kini tengah memeluknya. Wangi feminim yang menguar dari tubuh wanita itu sungguh membuat hatinya sedikit tenang. Merenungi kejadian masa lalu membuatnya tak cukup mampu untuk menghalau kegelisahan yang menjaring dihatinya. Kegelisahan akan perasaan dan janjinya didepan mobil terbakar yang didalamnya ada sang ibu yang ikut disana.

Jean membalikkan tubuhnya. Pria itu dengan lembut menyingkirkan anak rambut pada wanita yang menggunakan dress pendek berwarna merah didepannya. Senyuman tak biasa yang terukir cantik pada wajah wanitanya.

Martha. Wanita yang selama ini menemani hari-harinya itu dengan setia selalu berada disisinya. Jean begitu memahami perasaan wanita yang telah kembali ke dalam pelukannya itu. Tak apa jika Martha pernah meninggalkannya dulu, toh saat ini sosok itu bisa berdiri kembali dihadapannya. Martha, hanya wanita itu yang bisa dijadikannya pengobat rasa sakit.

"Aku senang kita kembali bersama." Ucap Jean. Pria itu mendekatkan wajahnya ke arah bibir Martha dan mengecupnya pelan. Bibir merah yang merona itu cukup menggodanya untuk membawa wanita itu kedalam pelukannya. Persetan dengan omongan orang yang mencemooh Martha. Baginya, wanita itu adalah segala-galanya bagi Jean.

Martha mengalunkan tangan-tangan lentiknya disekitar leher Jean. Jari-jari lentiknya nampak meremas pelan rambut-rambut pendek milik Jean dengan gerakan menggoda. Bibirnya yang terbalut oleh lipstik merah nampak mengerucut.

"Kau senang, tapi aku tidak." Tukasnya. Martha memberenggut. Ia sudah tahu bahwa Jean yang telah ia campakkan dulu, kini sudah memiliki istri. Namun pria itu menjanjikan sebuah pernikahan ketika dendamnya pada sang istri terbalaskan. Martha tak mau ambil pusing memikirkan dendam apa yang menyelimuti pria pujaannya. Yang terpenting, Martha sudah memegang kartu as untuk menjerat Jean kembali.

Jean kembali mencium bibir Martha. Kali ini dengan intensitas yang sedikit lama, bahkan pria itu mendudukkan dirinya pada kursi tanpa melepas tautan bibir mereka. Martha yang berada dipangkuan pria itu dengan senang hati membalas setiap gerakan bibir yang dipancing oleh Martha.

Jean yang akhirnya melepaskan tautan mereka. Ia menjauhan wajahnya dari sang kekasih yang kini memanyunkan bibirnya. "Jeanattan, ada apa denganmu? Selama setahun ini bahkan kau tak pernah menyentuhku. Aku bisa mengira bahwa tadi adalah ciuman yang paling lama yang kita lakukan."

Jean tersenyum hangat. Ia merapikan anakkan rambut yang kembali mengusik kecanikkan waja Martha. Ia sungguh bersyukur bisa membawa Martha kembali ke dalam hidupnya. Dengan menggunakan alibi menjadikan Martha sebagai model Brand perusahaannya, tentu takkan ada yang mencurigai hubungan mereka.

"Kau tahu, kan aku sangat sibuk sayang. Namun, sudah kukatakan, kita akan bersama sebentar lagi." Ucap Jean yang kembali memfokuskan dirinya pada berkas-berkas kantor. Masih dengan Martha yang duduk dipangkuannya. Pakaian wanita itu sedikit tersingkap ke atas hingga memperlihatkan paha mulusnya. Namun Jean sama sekali tak tergoda. Pria itu hanya melihatnya sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada kertas-kertas yang ada dimeja kerjanya.

"Kau sudah tidak mencintaiku lagi ya?"

Mata Jean menatap kekasihnya itu sendu. "Tak mungkin. Tak ada satupun yang aku cintai kecuali kau, sayang."

"Kalau begitu kenapa kau mengacuhkanku belakangan ini?" tanya-nya masih dalam posisi berada diatas pangkuan Jean. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke dada bidang Jean. Sambil memainkan kancing-kancing kemeja Jean, Martha kembali menyerukkan tubuhnya ke leher lelakinya itu. Posisinya yang duduk dipangkuan sang kekasih mempermudahnya melakukan hal itu.

"Apa kau sudah mulai tergoda dengan wanita jalang itu?" Tanya Martha disela kegiatannya memainkan kancing baju Jean. Bukan rahasia lagi jika Martha begitu tak menyukai wanita itu. Karenanya, Langkah Martha untuk mendekati Jean sedikit terhalang. Meskipun pada akhirnya Jean tetap memilihnya.

"Kau gila? Aku tidak mungkin tergoda oleh si jalang itu. Dia hanya kujadikan sebagai pelampiasan nafsuku saja. Dia adalah budakku." Jawab Jean santai tanpa mengalihkan pandangannya dari sang kekasih.

"Kapan kau membuangnya? Aku sudah muak melihatnya berada di rumahmu. Aku takut kau akan tergoda, sayang." Ujar Martha manja.

"Tidak. Tidak akan. Aku tidak mungkin berpaling darimu." Balas Jean lalu mengecup puncak kepala kekasihnya itu dengan lembut.

Martha, Wanita yang seharusnya menjadi istrinya. Wanita itu sudah menjadi kekasihnya sejak mereka masih di SMA. Namun karena ayah Jean tak menyukai Martha, Jean mengundurkan niatnya untuk menikahi Martha. Terlebih saat kepergian Martha ke Amerika dua tahun yang lalu untuk memperluas karir modelingnya, semakin membuat seorang Yonash menganggap Martha sebagai wanita matrealistis dan hanya menginginkan kekayaan saja.

Namun bukan Jeanattan jika ia tak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Dua bulan setelah pernikahannya, ia mengontrak Martha untuk menjadi artis di iklan produk terbaru perusahaannya. Ia sengaja agar lebih dekat dengan mantan kekasihnya itu agar dapat kembali merajut kasih dengannya. Persetan dengan statusnya yang sudah memiliki istri. Toh, ia tak mencintai istrinya, Odelia. Malah ia sangat membencinya.

"Kupastikan kau akan menderita hingga kau akan memohon padaku kematianmu sendiri, Odelia." Batin Jean dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status