Share

Part 4

"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."

Langit gelap menyelimuti kota Jakarta. Tepat pukul sebelas malam, lalu lintas di jalan raya perlahan mulai mumudar. Lampu-lampu jalanan serta iklan yang terpasang disetiap sudut jalan menjadi penerang bagi setiap pengemudi yang melintasi jalanan tersebut. Malam yang sunyi dan kelam, menyembunyikan setiap asa yang menguap pada terang hari. menyelimuti kalbu yang gelisah.

Sebuah mobil sedan pendek memutar kemudinya ke arah rumah tak berpagar bergaya minimalis moderen, yang berderet dengan rumah-rumah yang memiliki jenis yang sama. Mobil mewah berwarna hitam itu berhenti disalah satu rumah yang nampak sepi dan lengang. Sosok lelaki yang berada dibalik kemudi itu memperhatikan dengan seksama bangunan yang telah ia kenali selama setahun belakangan ini. Mata elang yang bersembunyi dari balik lensa hitam kacamata miliknya mengintip kesunyian didalam sana. Banyak rahasia yang telah tercipta dan terukir dengan penuh drama. Rahasia yang tak pernah diketahui oleh siapapun kecuali dirinya dan wanita itu.

Sejenak, keraguan melandanya. Kala ia menatap bangunan itu, rasa ragu menyeruak didalam dadanya. Hatinya berdenyut, merasakan kebimbangan atas segala sikap yang selama ini telah ia keluarkan. Didalam sana, tentu saja menjadi salah satu faktor penyebab ketidakpastian sikap atas dirinya. Lelaki itu tahu, satu langkah ia menginjakkan kakinya diatas lantai bangunan itu, maka dirinya yang lain akan muncul. Dirinya yang jauh dari jati dirinya yang sesungguhnya.

Wanita itu, Odelia. Sosok yang asing baginya, yang paling tak boleh ia cintai dan kasihi, menjadi salah satu penyebab sosok menyeramkan dalam dirinya keluar. Sejujurnya lelaki itu tak menginginkan hal tersebut terjadi. Ia tak ingin menyakiti siapapun, tak terkecuali Odelia. Hanya saja, Jean harus melakukannya.

Ditatapnya tangan yang tak lagi memegang stiran mobil miliknya. Tangan besar dengan permukaan yang kasar, dengan tangan itu Jean harus menyakiti wanita itu. Tidak, bukan hanya sekedar menyakiti, namun ia harus menghancurkan wanita itu hingga Odelia tak sanggup lagi untuk bertahan hidup.

Tak lama, Jean memilih keluar dari mobil setelah pemikirannya yang tak lagi sama dengan akal sehatnya. Jean keluar dengan keadaan komplek yang sepi. Tentu saja, siapa yang akan berkeliaran di hari yang hampir menunjukkan tengah malam. Udara dingin pun membuat siapa saja memilih untuk menyembunyikan diri di balik selimut.

Langkah kaki Jean tergerak memasuki sisi balkon rumah. Tak ada debu sedikit pun yang menempel disana. Dirinya yakin Odelia telah melakukan hal itu untuknya. Entah mengapa wanita itu masih saja munafik, pikir Jean. Odelia bisa saja kabur kapan saja. Dengan bentuk rumah mereka yang tak berpagar dan tak diawasi oleh kamera atau apapun, Odelia harusnya memanfaatkan kesempatan ini sebaiknya.

Satu hal yang masih Jean tak mengerti, terbuat dari apa hati wanita itu.

Odelia tak pernah merintih, menolak semua kekerasan yang telah diberikannya. Bahkan setelah Jean membawa Martha masuk kedalam hidupnya, Odelia tetap bertahan disisinya. Wanita itu memilih untuk membutakan mata dan menulikan telinganya.

Perlahan Jean membuka pintu rumahnya. Langsung saja, Kegelapan yang menanti seolah menjadi ucapan selamat datang baginya. Siratan kesunyian yang tergambar dari dalam rumahnya tersebut, membuat Jean bertanya apakah wanita itu telah tertidur. Keadaan ini tentu saja membuat Jean sedikit khawatir. Ada kalanya ia merasa takut menemukan jikalau wanita itu telah pergi tanpa sepengetahuannya. Baginya, Odelia hanya bisa pergi jika ia menginginkannya. Untuk saat ini Jean sedikit mensyukuri kemunafikkan Odelia yang memilih bertahan disisinya.

Laki-laki bertubuh tinggi itu berjalan, menembus kegelapan rumahnya sendiri. kesunyian mendatangkan pikiran yang jernih baginya. Selama ini, rasa sesak selalu dirasakannya kala ia kembali ke rumah ini. Matanya selalu memanas ketika melihat wanita itu meringkuk ketakutan. Sementara, hidungnya terdengar napas kasar yang sebenarnya tak pernah ingin ia dengar. Emosi memuncak, dan berakhir pada dua jiwa yang terluka.

Jean harus melakukannya, meski ia tak menginginkannya.

Ia tak pernah dikendalikan oleh siapapun. Jean tak pernah menerima perintah dari arah manapun untuk menyakiti Odelia. Hanya saja, mengingat peristiwa dua puluh tahun yang lalu, membuatnya selalu terhenyak dalam pemikiran impulsifnya. Odelia tak bersalah, wanita itu hanya terlahir pada tempat yang salah. Seharusnya wanita itu tak lahir dari rahim sosok yang telah menghancurkan ketenangan batin mendiang ibunya. Seharusnya ayahnya bisa menjaga sikapnya dengan tidak menodai cinta mendiang ibunya.

Laki-laki itu sadar, sejak awal kedatangan Odelia dalam hidupnya, ada sebuah skenario yang telah dimainkan oleh ayahnya. Pernikahan dan semua yang telah terjadi dalam hidupnya sekarang, pasti tak lepas dari campur tangan sosok ayahnya yang selalu menyebutkan dirinya sebagai kepala keluarga yang baik. Kenyataan itu lah yang hingga kini sulit diterimanya. Jean tak bisa menerima keterpaksaan dirinya yang begitu saja menerima Odelia dalam hidupnya. Meski sedikit lamban Jean mengakui kehadiran Odelia telah membuka sedikit matanya, namun membuat jiwa pendendamnya bangkit.

Sungguh, Jean tak ingin melakukan semua ini, terkecuali, hal yang pernah ia katakan saat melihat sebuah ledakan besar yang berasal dari sebuah benda beroda yang didalamnya masih ada sosok ibunya. Wanita yang paling ia hormati mati, dalam dendam dan kesedihannya. Ibunya bahkan rela melemparkan tubuhnya sebelum akhirnya mobil yang mereka tumpangi jatuh ke dasar jurang.

Hatinya terbelah dua saat itu. Ada rasa pedih yang mengalir deras dalam tubuhnya. Matanya yang kala itu memandang kobaran api hanya bisa termenung, berharap ibunya memiliki kekuatan magis yang dapat menembus kobaran itu. Namun sayang, hingga saat dimana terdengar suara sirene yang berdengung tepat dibelakangnya, tak ada apapun yang terjadi disana. kobaran api serta ledakan-ledakan yang menyusul tak mengubah apapun. Ibunya tak pernah kembali. Bahkan hingga detik dimana Jean merasa bahwa ia mulai kelelahan dengan rasa dendam ini.

Laki-laki itu kembali melangkah, menaiki undakan anak tangga. Namun belum sampai pada pertengahan persimpangan, matanya terumbuh pada sebuah pintu yang terpampang disudut tangga. Jean tahu disana ada sosok yang sama sekali tak ingin ia temui, tapi jauh dari dalam dirinya ia ingin melihat wajah itu meski hanya sedetik saja.

Entah selanjutnya apa yang akan ia lakukan kepada wanita itu. Jean tahu bahwa takkan ada tawa setelah pertemuan mereka. Yang tersisa dari semua reruntuhan bencana ini hanyalah tangisan dan isakan yang keluar dari bibirnya. Namun wanita itu tetap memilih bertahan, meski berulang kali Jean mengulang tindakan yang sama.

Tanpa sadar, Jean pun melangkahkan pelan kakinya menuju pintu tersebut. Ia berdiri cukup lama didepan sana, memikirkan apapun yang sama sekali tak berhubungan dengan situasinya kini. Namun laki-laki itu tetap berdiri disana, tak tahu apakah ia akan menanti sosok itu membukakan pintu untuknya atau kah hanya sekedar angin yang berlalu didepan wajahnya.

Tak lama, daun pintu itu tergerak dan menampilkan celah yang sebelumnya tak pernah tercipta. Sebuah wajah yang tentu saja tak pernah ia duga muncul disana. Dengan sepasang mata besarnya yang bening, sosok itu melihatnya seperti melihat hantu yang mengejutkannya. Kedua pupil yang bersembunyi dari balik matanya pun membesar, memantulkan bayangan Jean yang juga terpekur ditempatnya.

"Ada apa, Tuan?" wanita itu segera menurunkan pandangannya. Ia sungguh takut, tak berani mengangkat dagunya sejajar dengan lelaki itu. Wanita itu cukup tahu diri untuk tidak bersikap kurang ajar pada laki-laki yang kini memandangnya seolah ingin memakannya hidup-hidup.

Menyadari ekspresi yang dikeluarkannya, Jean segera berdeham. Laki-laki itu mundur selangkah, memberikan jarak diantara mereka. Masih dengan tatapan yang sama, lelaki itu mengeksplor tubuh mungil yang sudah menjadi pelampiasannya selama setahun belakangan ini. Tak pernah disangkanya, Wanita itu benar-benar memiliki penampilan yang naas, jauh dari kata baik-baik saja. Dengan luka yang hampir tak lagi tertutupi, terutama pada pergelangan tangannya, Jean yakin siapapun bsia menduga bahwa wanita itu baru saja mengalami tindak kekerasan. Dan orang yang nantinya akan paling disalahkan adalah dirinya.

Jean ingin berteriak, bertanya siapa yang bertanggung jawab atas semua kesakitan wanita itu. Ia ingin membunuh siapa saja yang bearni menyentuh kepunyaanya hingga meninggalkan bekas luka yang mengerikan seperti itu. Sebagian hatinya berkata demikian bahwa Odelia harus dalam keadaan utuh saat berhadapan dengannya. Namun ia tak bisa melakukan semua itu. Sosok laki-laki yang paling pantas disalahkan atas semua luka itu adalah dirinya, dan itu membuat Jean semakin tak mengerti dengan hatinya yang sekarang sering berubah-ubah.

"Tuan.."

Suara bisikkan lirih itu bagaikan sebuah lonceng kesadaran baginya. Tatapan Jean tak lagi menyendu, tanpa disadarinya. Laki-laki itu menajamkan matanya menatap wajah yang kini terlihat mengkhawatirkannya itu. Ia takkan tersentuh. Niatnya menikahi wanita itu hanya untuk menunjukkan betapa sakitnya disakiti oleh orang yang kau sayangi. Dan Jean, takkan membiarkan wanita itu bernapas lega karena mendapatkan kelonggaran darinya.

"Jalang.." Desisnya.

Meski tatapan terkejut tak bisa disembunyikannya, Odelia tak membiarkan sedikitpun suara terloloskan dari bibirnya. Wanita itu tetap bungkam dan hanya menunduk takut mendengar makian pelan dari suaminya. Lalu, segenggam tangan besar milik Jean merayap dikepalanya, menarik untaian rambut yang kini tak lagi sama.

Odelia merintih. Kesakitan yang menjalar ke akar rambutnya akibat jambakkan dari Jean sangat perih, terlebih ketika kesakitan itu sudah menembus jantungnya.

"Malam ini takkan kubiarkan kau tidur tenang. Layani aku, Jalang! Puaskan aku!"

Jean menyeret wanita itu, menaiki tangga tanpa melepaskan genggamannya pada rambut sang istri. Tak peduli seberapa bayak rintihan dan kesakitan yang didengarnya, Jean menyeret wanita itu masuk ke dalam kamarnya tanpa perasaan. Lelaki itu ingin membuktikan bahwa dirinya tak pernah goyah. Ia akan tetap menyakiti Odelia sebesar rasa sakit yang telah diterimanya selama ini.

Tidak akan sampai dirinya puas melakukannya.

"Aku takkan berhenti. Malam ini aku akan membuatmu menyesal telah memilihku!" Jean terus berteriak seperti orang tak waras, tetap memegang gumpalan rambut milik Odelia. Tak memperdulikan bagaimana usaha wanita itu untuk lepas dari cengkramannya.

Sesampainya di depan Kamar, Jean dengan kasar membuka pintu dan membanting tubuh mungil itu hingga terjerembab ke atas lantai. Odelia yang sudah bersimbah air mata tak lagi diperdulikannya. Laki-laki itu tetap melayangkan tatapan kebencian dan membiarkan wanita itu melihat sisi tergelap miliknya.

"J-Jean.."

"Kau harus merasakannya, Lia. Takkan kubiarkan kau menyela kedalam tekadku. Akan kubuat kau menyesal telah memilihku." Gertaknya.

Dengan kasar pria itu melempar tubuh Odelia hingga tersungkur diatas lantai. Tanpa belas kasihan, laki-laki itu tak memperdulikan sedikit pun rintihan kesakitan yang berasal dari mulut istrinya itu. napasnya terengah, marah memandangi Odelia yang masih meringkuk kesakitan diatas lantai. Wanita itu memeluk tubuhnya sendiri yang mulai terasa nyeri, tak menyadari air wajah Jean yang semakin mengeras.

Kedua mata elang itu menatap tajam wanita yang kini menunduk dibawahnya. Odelia yang kini nampak, terlihat begitu polos, tanpa maksud tersembunyi didalamnya. Kesucian seolah menjadi perisai yang membungkus tubuh ringkih wanita itu.

"Brengsek!" Umpatnya. Jean berjalan ke arah pintu dan menutupnya dengan suara yang keras. Niatan awalnya hilang begitu saja melihat wajah menyedihkan itu. Wajah istrinya sudah bersimbah air mata dan tak berani menatapnya langsung dimata.

"Jean.. Maafkan aku.." ucap Odelia lirih. Wanita itu sungguh tak memiliki apapun untuk melawan Jean. Baginya, laki-laki itu adalah oksigennya. Tanpa Jean, Odelia mati. Biarpun Jean menyakitinya seribu kalipun, hatinya tetap takkan berdusta. Ia begitu mencintai laki-laki itu.

Jean measih terdiam, berdiri membelakangi istrinya itu. Gerakan pundaknya yang bergetar menandai bahwa laki-laki itu sedang berada dalam emosi yang tak stabil. Jean enggan menatap wanita itu. Ia lebih memilih mengarahkan pandangannya pada pintu kayu tebal kamarnya.

Odelia memperhatikan dengan baik punggung lebar yang membelakanginya itu. Ia sedih, bukan karena kemarahan pria itu. Ia sudah terlalu terbiasa dengan semua itu. Hanya saja sikap Jean yang seperti sekarang ini seakan mengatakan bahwa laki-laki itu menderita bersamanya. Jean menyiratkan sesuatu yang besar telah menekan dirinya. Tak seperti kemarahan dikemarin hari, saat ini Jean menahan segalanya. Ia tak mau.

Biarlah Jean memukulinya hingga dirinya tak sadarkan diri, asalkan pria itu tak menunjukkan penderitaannya seperti sekarang. Odelia sanggup menahan segala kemaraha suaminya itu.

"Lakukan.. apapun itu aku akan menahannya." Ujar Odelia tiba-tiba. Ucapan wanita itu seketika menjadi penanda dan langsung membuat Jean membalikkan tubuhnya dengan mata terbelalak.

"Lakukan. Kau boleh melampiaskan amarahmu padaku. Jangan menahannnya. Aku tak ingin kau menderita."

Jean yang mendengar bukannya tersentuh, malah pria itu tersenyum sinis menatap istri kecilnya itu. Dengan gerakan lamban, Jean mendekati dan berjongkok didepan Odelia. Satu cengkraman kasar menangkap dagu Odelia. Jean menekan bagian itu dengan kekuatan sampai membuat Odelia mengeluarkan ringisannya.

"Atas dasar apa kau memberikan perintah? Kau pikir kau siapa, Jalang? Harusnya aku yang mengatakannya!" Jean berteriak didepan wajah Odelia. Namun kali ini wanita itu tak menunduk. Sepasang intan hitam terang miliknya memandang Jean dengan tekad bulat.

"Aku mencintaimu. Tidakkah cukup itu dijadikan sebuah alasan?"

Satu tarikan mengakhiri semuanya. Jean mendekap tubuh mungil itu masuk ke dalam dadanya dan mencium bibir penuh milik Odelia dengan keras. Laki-laki itu membimbing tubuh kecil istrinya berjalan mundur ke arah ranjang yang biasa ia tempati. Suara intim yang berasal dari keduanya mengisi ruangan luas ini. Tak ada yang mau berhenti, keduanya terlalu terhanyut dalam pusara gairah yang selama ini tertahan.

Ketika Jean memutuskan untuk menghentikannya, kedua mata elang miliknya menatap ke wajah merah milik istrinya. Tubuh keduanya sudah polos, telanjang tanpa rasa malu satu sama lainnya. Mata elang milik laki-laki itu memandang Odelia yang terengah dibawahnya dengan penu gairah.

"Kupastikan kau akan memohon untuk berhenti. Kau tidak pantas mencintaiku. Kau tidak akan pernah pantas, Jalang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status