Share

Part 5

"Setiap darah yang mengalir dalam tubuhku adalah hal yang patut kusyukuri dan ketika aku meragu, kusebut namamu dalam hatiku dengan detak jantungku."

Sepasang mata bulat yang tertutup itu terlelap, mengikuti dengkuran halus yang tak berbunyi milik sang wanita. Napasnya bergerak teratur dengan sendirinya kala udara yang berhembus disekitarnya masuk ke dalam paru-parunya, mengisi rongga terpenting dalam dirinya. Posisinya yang tidur menyamping membuat sosok yang kini juga berada disampingnya memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama dan bulat.

Seorang laki-laki nampak serius memperhatikan bagaimana rupa wanita itu saat tertidur. Ekor matanya tak pernah lepas dari wajah tentram milik wanita yang masih terlelap dalam keadaan telanjang disampingnya. Sesekali, laki-laki itu menjalankan jarinya disekitar wajah wanita itu, lalu menariknya kembali dengan terkejut.

Terkejut?

Tentu saja ia terkejut. Jean, laki-laki itu tak pernah menyangka niatannya untuk mendengar teriakan wanita itu malah berubah menjadi sebuah aktivitas yang tanpa disadarinya telah ia nikmati, bersamaan dengan wanita itu. tak pernah terbesit dalam otaknya bahwa semalam terasa seperti malam pertama pernikahan mereka. Sesi bercinta yang tentu saja paling nikmat yang pernah ia rasakan.

Mungkin semuanya berawal pada tekadnya untuk membuktikan bahwa hatinya tak pernah berubah. Ia masih menginginkan perasaan sakit yang berasal dari hati Odelia. Ia ingin membuktikan jika dirinya masih mampu untuk menggoreskan luka didalam hati Odelia. Namun niatannya berubah saat mendengar suara Odelia yang seolah mengijinkannya melakukan semua kekerasan yang ia mau. Wanita itu nampak pasrah dengan segala yang ia punya, seolah Odelia tengah melakukan sebuah persembahan sakral kepadanya.

*"Lakukan.. apapun itu aku akan menahannya."*

Kalimat itu menghentikan tekadnya untuk menyakiti Odelia. Wanita itu tak meneriakan kata berhenti atau pun merintih kesakitan. Semua hal yang dilakukan Jean diterimanya dengan secara sukarela, hingga Jean dibuatnya tak mengerti dengan semua ini.

Semula dikiranya, Odelia akan menyerah. Pada bulan pertama pernikahan mereka, masih segar dalam ingatan Jean saat Odelia menangis seharian karena malam pertama yang mereka lewati tak seindah bayangan wanita itu. Jean memukulinya, menyiksanya, atau bisa disebutkan sebagai tindak pemerkosaan. Malam itu Jean tak menggunakan kelembutan atau pun perasaan yang sebelumnya pernah ditunjukkannya pada Odelia.

*"Aku mencintaimu. Tidakkah cukup itu dijadikan sebuah alasan?"*

Mungkin pernah terlintas sebuah rasa kelembutan pada hati Jean. Tentu saja, sebelum laki-laki itu menyadari fakta bahwa Odelia adalah wanita yang terlahir dari orang yang telah merusak hidupnya dan juga adiknya, Clara. Jean mungkin pernah mempercayai kehadiran Odelia dalam hidupnya. Laki-laki itu pernah "hampir" mengucapkan janji yang sesungguhnya dihadapan Tuhan saat itu. Namun semuanya berubah, tidak lagi sama seperti sebelumnya. Bahkan cenderung berbalik hingga Jean bisa menangkap keterkejutan Odelia saat Jean menampar pipinya untuk pertama kalinya.

Setelah semuanya, berbulan-bulan, sikapnya terhadap Odelia masihlah sama. Tak ada kelembutan. Odelia hidup bagaikan budak bagi Jean. Wanita itu siang malam bekerja untuknya, melayaninya dimana pun ia berada. Jean tak pernah mengijinkan Odelia bebas. Laki-laki itu mengurung wanita itu didalam rumahnya, dan hanya sesekali diijinkan keluar ketika Odelia membeli bahan makanan di supermarket, dan semua itu berada dalam pengawasan Jean.

Namun, Odelia tak pernah mengeluh. Wanita itu menjalaninya seolah tak pernah terjadi apapun. Odelia hanya diam ketika Jean memaki. Wanita itu tak pernah membalas perkataan Jean, meski itu berarti Odelia membiarkan Jean menginjak harga dirinya seperti sampah. Dan semuanya terus berlanjut hingga sekarang, detik dimana Jean sudah merasa kelelahan. Ia lelah bermain peran sebagai suami yang jahat kepada Odelia.

Melihat wajah wanita itu yang damai kini membuat Jean hanya bisa terdiam. Harusnya dalam keadaan seperti ini, ia bisa saja kembali melayangkan pukulan pada Odelia, atau makian karena telah lancang terlelap disampingnya, diatas kasur yang terlarang baginya. Namun tidak untuk pagi ini. Setelah semalam mungkin semuanya akan berubah. Kisahnya dan Odelia tentu saja takkan sama lagi. Dan Jean mungkin akan memasang rambu-rambu peringatan untuk tidak memasukkan unsur hati dalam pembalasan dendamnya. Akan sulit baginya jika itu sampai terjadi. Apalagi dengan segala yang dimiliki Odelia, tentu takkan mudah bagi Jean untuk menghancurkannya begitu saja.

Namun kehendak yang tak timbul saat menatap sepasang mata yang tengah terpejam itu membuatnya hanya bisa terdiam seperti saat ini. Ia tak mampu menggerakkan setiap anggota tubuhnya untuk menyakiti wanita itu. Sekalinya ia bisa, tangannya membelai wajah wanita itu tanpa perintah. Meski ia menolak, tapi ada sebuah letupan hangat yang melonjak didadanya.

Sejujurnya Jean pun selalu bertanya mengapa wanita itu bisa lahir dari orang yang telah menghancurkan hidup keluarganya. Mengapa wanita itu bisa kebetulan hadir ketika dirinya tengah terpuruk karena kepergian Martha saat itu. Dan, mengapa wanita itu bisa bertahan bersamanya sampai detik ini.

Jean tak mengerti. Perasaan wanita itu seperti terbuat dari batu. Keras dan terlalu tangguh untuk dihancurkan. Jean tak mengerti mengapa Odelia bisa begitu kuat mempertahankan dirinya meski ia sudah menghancurkan wanita untuk untuk kesekian kalinya. Tubuh mungil yang membingkai jiwa wanita itu bahkan sanggup menanggung semua amarahnya tanpa lelah.

Sungguh, Jean tak mengerti dan tak ingin mengerti hal itu.

Tak lama suara lenguhan yang berasal dari wanita, yang terus berputar-putar dalam kepala Jean terdengar. Wanita itu yang semula tertidur dengan posisi menyamping, kini menggerakkan tubuhnya, mnegubah posisi menjadi terlentang. Lalu, hanya berselang beberapa detik kemudian, sepasang mata bulat itu pun terbuka. Terpaan langsung cahaya matahari yang menembus ke dalam jendela kamar tersebut menghalau pandangannya.

Sesekali wanita itu mengusap matanya, berusaha menguraikan pancaran silau dari sinar berwarna keemasan itu. Tangannya yang berada diatas tempat tidur bergerak. Gerakan mengusap yang ia yakini terasa berbeda itu pun menyentaknya. Seketika ia pun menoleh ke samping dan menemukan sepasang mata elang yang menatapnya bulat-bulat.

Jean, masih dalam posisi yang sama tak bisa melakukan apapun saat dirinya bertemu pandang dengan wanita yang kini mulai meringkuk ketakutan disampingnya. Odelia yang menatap langsung ke dalam dua matanya tertunduk takut, seolah wanita itu sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Ya, fatal.

Jean tak pernah mengijinkan Odelia untuk tidur dikamarnya. Untuk kali pertama setelah setahun pernikahan mereka, baru kali ini Odelia terbangun diatas ranjang yang sama dengan suaminya. Biasanya, setelah mereka bercinta, Jean langsung mendorong tubuhnya hingga tersungkur diatas lantai. Tak peduli seberapa sakit tubuhnya, laki-laki itu takkan berbaik hati memberikannya lapak untuk sekedar merebahkan tubuhnya.

Jean bangkit. Dalam posisi setengah terduduk, laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah cermin yang terpasang dipintu lemari kayu yang letaknya bersebrangan dengan ranjang yang ia tempati. Pantulan bayangan seorang laki-laki yang bertelanjang dada pun terlihat, dengan sosok wanita yang bernasib sama sepertinya. Namun sayang, wanita itu hanya terdiam, memegangi ujung selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos didalam sana.

Entah mengapa melihat pemandangan itu kembali membuat hati Jean gundah. Disatu sisi ia ingin mengurung wanita itu dalam pelukannya, tapi disisi lain Jean ingin memaki dan menghina kemunafikkan Odelia.

Namun, kembali egonya-lah yang menang.

"Tak perlu bertingkah seperti seorang yang suci, Odelia. Kau sudah kotor." Jean berkata sambil menyeringai. Pandangannya masih menuju ke arah cermin, lebih tepatnya mengarah ke Odelia.

Wanita itu semakin tertunduk takut. Ia nyaris menyembunyikan wajahnya didalam selimut, namun hasilnya nihil. Semakin ia menarik benda lembut itu ke atas tubuhnya, semakin terbukalah bagian tubuh bawahnya. Jean telah mengambil sebagian besar dari kain tebal tersebut. Laki-laki itu tentu memiliki kekuasaan terbesar karena ini adalah kamar tidurnya, area pribadi yang seharusnya tak dimasuki oleh Odelia.

"M-Maafkan aku.. Tuan.." suaranya bergetar. Odelia langsung bergerak, turun dari ranjang itu. Namun belum sampai kedua kakinya mendarat, sebuah beban terasa hingga membuat tubuhnya terjungkal kebelakang. Punggungnya langsung bertabrakan dengan sesuatu yang hangat dibelakang sana.

Odelia yang menyadarinya, tak berani bergerak. Tubuhnya kaku, dengan keringat dingin yang mulai mengucur disekujur tubuhnya. Ia tahu dengan siapa kini dirinya sedang berhadapan. Dibelakang sana Jean takkan mudah begitu saja melepaskannya.

"Kenapa terburu-buru, sayang? Kau pikir setelah semalam, kau bisa lari begitu saja?" Jean mengarahkan hidungnya ke lekukan leher telanjang milik Odelia. Disana, harum segar bak rerumputan masih terasa. Entah apa yang dipakai oleh wanita itu, Jean merasa dirinya mulai menyukainya.

"J-Jean.." Odelia berusaha menjauhkan tubuhnya. Ia tahu dirinya mungkin takkan pernah bisa melepaskan diri. Lingkaran yang dibuat pria itu disekeliling tubuhnya terasa menyesakkan. Odelia ingin menangis. Matanya panas dengan sentakan kuat untuk pergi. Namun pria itu masih menahannya. Menyiksanya lebih lama dari yang ia inginkan.

"Sssst.., tenanglah, sayang. Aku ingin sedikit berbagi kasih denganmu. Kurasa hari ini kita akan melakukan hal istimewa. Bahkan aku yakin kau pun akan suka dengan apa yang akan kita lakukan nanti."

Serbuan kata-kata itu, lebih mirip sebuah nada ancaman bagi Odelia. Setelah semalam suaminya itu menyentuhnya hingga ia tak sadarkan diri, kini Jean bersikap seolah tak pernah puas dengan apa yang telah dilakukannya. Laki-laki itu kelaparan dan kehausan, membuat dirinya merasa takut.

"Jean.. aku mohon, lepaskan aku. Aku lelah." Pintanya. Sungguh Odelia ingin mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tak peduli seberapa hancur dirinya, Odelia hanya meminta pengampunan pria itu.

Wajah tegas dibelakang sana menyeringai. Dari balik rambut-rambut itu, Jean tersenyum jahat ke arah istrinya. Dari nada bicaranya, Jean tentu tahu Odelia sangat takut padanya.

"Bukankah semalam kau begitu memasrahkan diri kepadaku? Ingat, Bukankah tugas seorang istri adalah melayani suaminya? Apakah kau mau para malaikan mengutukmu, sayang?"

Odelia berjengit saat Jean menggigit lehernya dengan kesar. Hisapan yang dilakukan pria itu tak memberikannya rasa apapun, selain rasa sakit. Menyakitkan mengetahui bahwa laki-laki itu hanya berniat untuk menghancurkannya. Tak sedikit pun rasa iba yang ditunjukkan Jean untuknya. Laki-laki itu sungguh berniat untuk membuat pertahanan wanita itu hancur.

"Jean.."

Sebuah bunyi debuman yang tak cukup kencang, dibarengi dengan tubuh keduanya yang terjatuh kembali ke atas ranjang menjadi tanda bahwa Jean akan memulai semuanya. Jean mendorong tubuh Odelia, memaksa wanita itu untuk terbaring sekali lagi dibawahnya. Laki-laki itu takkan membiarkan istrinya bernapas lega sedetikpun selama ia ada disekitarnya. Tanpa memperdulikan air mata Odelia yang mulai jatuh dari dasar pelupuk matanya.

"Jean, aku mohon. Aku lelah." Odelia terisak. Kedua tangannya dicengkram dengan kuar oleh Jean dikedua sisi kepalanya. Tekanan yang kuat seakan mengisyaratkan Odelia untuk mundur dari pertahanannya. Tatapan matanya memperhatikan ada sebuah rasa gairah dan juga amarah pada kedua mata kelabu suaminya. Jean takkan pernah melepaskannya sebelum laki-laki itu puas, begitu artinya.

"Kau tidak boleh lelah, karena kita baru akan memulainya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status