Share

Part 6

"Keisenganku berubah menjadi rasa keingintahuan yang tinggi. Kalian bersembunyi, maka aku akan mencari."

Seorang wanita berambut panjang kini tengah terduduk disalah satu meja di salah satu cafe, yang letaknya berada didalam pusat kota. Hingar bingar ibukota yang mencekam seolah menjadi titik dimana dirinya harus menyembunyikan diri. Sembari menyerumpun kopi hangatnya, dari balik kacamata hitam bermereknya, wanita itu menyebarkan pandangannya, terutama pada sisi pintu masuk cafe. Ia tengah menunggu seseorang, hingga rasanya ia hampir mati kebosanan.

"Sialan kau Marko.. bisa-bisanya kau membuatku menunggu nyaris satu jam" geramnya penuh emosi. Wanita itu mengeram marah lantaran sosok yang saat ini tengah ditunggunya melanggar janjinya. Laki-laki itu semula mengabulkan permintaannya untuk bertemu tepat di pukul 11 siang. Namun hingga jarum jam menyentuh menit ke 30, laki-laki itu pun tak kunjung muncul.

Tak lama, suara lonceng yang berbunyi menjadi angin segar bagi wanita itu. dengan kepala terdongak, wanita itu melambaikan tangannya, berusaha untuk meredam emosi yang tadi sempat melingkupi dirinya. Ia tak mau sampai laki-laki itu mengundurkan niat untuk membantunya. Saat ini wanita itu sungguh membutuhkan bantuan dari pria itu. Sosok laki-laki dengan kemeja putih dan juga celana denim nya berjalan ke arah wanita yang baru saja melambaikan tangan kearahnya. Tubuh besarnya yang tinggi menjulang terlalu mencolok berjalan ke tengah cafe yang terlihat ramai itu.

"Clara.." sapa seorang pria yang itu langsung mengambil posisi duduk dihadapan wanita berkacamata hitam tadi.

"Sialan kau, Marko." Geramnya. "Kau membuatku menjadi lebih tua disini."

"Tadi aku harus mengurus beberapa berkas kasus. Akhir-akhir ini banyak sekali kasus pembunuhan dan penculikkan." Ujar Marko sambil menggedikkan kedua bahunya sebelum akhirnya ia mengambil cangkir kopi milik Clara.

"Benarkah? Sebanyak itu, sampai kau melupakan Tunanganmu sendiri." Balas wanita itu dengan sedikit menyindir.

Mendengar ucapan wanita ituMarko nyaris menyemburkan minumannya ke wajah wanita itu. Tak biasanya Clara menyinggung perihal status mereka jika bukan karena amarah wanita itu yang sudah mulai memuncak. Dengan hati-hati, Marko meletakkan kembali cangkir tersebut dihadapan Clara dan mulai memasang wajah memelas.

"Sayang, kau, kan tahu pekerjaanku tak mudah sebagai seorang polisi. Hal yang berkaitan dengan kami memang berat." Ujarnya pada wanita yang sudah 3 tahun menjalin cinta dengannya. Selama rentan waktu selama itu, Marko sedikit banyak mampu menghapal diluar kepalanya bagaimana peringai wanita itu. Jika sudah menyinggung tentang status mereka, itu artinya Clara tengah dalam emosi yang tinggi dan Marko tak mau mengambil resiko dengan rajukan wanita itu yang mampu bertahan hingga berbulan-bulan.

"Kalau begitu, Kau pacaran saja dengan kertas-kertas itu. Jangan pacaran denganku." Cibir Clara dengan nada yang sedikit meninggi. Beberapa pengunjung lainnya mulai tertarik dengan mereka saat mendengar suara Clara yang keras.

"Ya! Mana bisa begitu, sayang. Kau kan tahu rasanya mencium kertas itu tidak enak. Aku lebih suka mencium wanita-ku sendiri." Marko tak mau kalah. Laki-laki itu pun tanpa sadar ikut meninggikan suaranya hingga membuat beberapa pengunjung wanita disana terkikik geli saat mendengarnya.

Clara yang menyadari hal itu segera melemparkan tatapan membunuh pada wanita yang menertawai kekasihnya. Wanita itu memicingkan matanya cukup lama sampai membuat wanita-wanita yang tadi tertawa tiba-tiba saja bungkam. Marko yang melihatnya hanya bisa mendesah pelan. Tunangannya adalah wanita paling posesif yang pernah ada. Dan sayangnya, ia terlalu cinta pada Clara.

"Sudahlah sayang. Kau membuat kerutan lagi disekitar matamu." Marko mengangkat tangannya ke arah sisi wajah Clara dan mengusapnya pelan hingga akhirnya wanita itu pun kembali memandangnya. Seulas senyuman pun terpasang dibibir tipis milik wanita itu. Tunangannya itu memang paling tahu cara menenangkan emosinya.

"Jadi, kau mau meminta tolong apa, Sayang?" tanya Marko dengan nada yang mulai serius. Ia yakin apa yang diminta oleh kekasihnya itu tentu bukanlah hal sepele. Dari nada bicaranya, Marko tahu jika Clara ingin memintanya melakukan sesuatu yang besar. Dan ia pun yakin ini berhubungan dengan kerabat dekatnya. Setahunya, Clara bukanlah wanita yang senang meminta bantuan orang lain. Wanita itu lebih suka meminta bantuan dari orang terdekatnya saja, kecuali itu adalah masalah kecil.

"Aku mau kau menyelidiki ulang kasus kecelakaan ibuku 12 tahun yang lalu." Jawab Clara sambil melepaskan kacamata hitamnya. Kini terlihatlah bola mata hazel yang terlihat manis dimata bulatnya. Raut wajah wanita itu menegas saat berucap kalimat tersebut. Bagaikan daya magis tersendiri, wanita itu langsung berubah 180 derajat dari Clara yang tadi melemparkan tatapan sinis pada beberapa wanita disekitarnya.

"Kau tak serius, kan? Kasus itu sudah ditutup sejak 2 tahun penyelidikannya yang tanpa hasil. Sampai saat ini pihak kepolisian masih belum bisa menemukan jasad ibumu." Marko memajukan tubuhnya. Ia memandang lurus-lurus wanita itu dengan seksama. "Sulit bagi kami menemukan penyebab kecelakaan yang dialami oleh ibumu. Hanya kakakmu yang bisa dijadikan saksi kunci, tapi sepertinya dia memilih bungkam."

Clara menjatuhnya tatapannya pada buku jarinya yang bertautan. Ia tahu betul saat itu ia masih sangat kecil. Ia butuh waktu beberapa lama agar menyadari bahwa keadaan sudah berbeda. Ibunya yang dulu sering menemaninya kini telah tiada. Tanpa jasadnya yang berhasil ditemukan. Dan sejak saat itu, kakaknya pun menderita trauma yang berat. Kakaknya selalu mengamuk ketika pihak kepolisian bertanya tentang kecelakaan naas itu. Bahkan kakaknya sempat mendapatkan perawatan psikiater saat itu.

Mata hazel Clara menerawang ke depan. Ia memangku dagunya dengan tangan yang terlipat rapi diatas meja cafe itu. "Aku tahu. Tapi, aku yakin diantara ayahku dan Kak Jean pasti ada sesuatu. Terlebih lagi, tiba-tiba Ayah membawa pulang seorang wanita dan langsung menikahkannya dengan Kak Jean. Dan aku juga melihat kakak seperti membenci kakak iparku itu. Aku yakin semua itu berhubungan dengan kematian ibuku."

Marko memiringkan kepalanya heran. "Bagaimana kau bisa yakin?"

"Entahlah. Aku sama sekali tak tahu. Namun batinku mengatakan jika ada sebuah rahasia yang mereka simpan rapat-rapat." Ucap Clara penuh keyakinan. Mata hazelnya menatap wajah kekasihnya yang memandangnya dengan wajah bingung.

Marko menghela napasnya pelan. Ia memijit pelipisnya pelan sebelum akhirnya kembali bersuara dengan napas yang berat. "Kau tak bisa menggunakan perasaanmu untuk mengungkapkan suatu kasus. Terlebih kasus kecelakaan ibumu. Bahkan sampai saat ini tak ada yang mampu menjelaskan bagaimana kronologis kejadian itu. Harusnya jasad ibumu bisa ditemukan meski dalam keadaan yang tak utuh. Apalagi disekitar kejadian tak ada sungai ataupun jalan lain untuk menyembunyikan tubuhnya."

"Jadi apa maksudmu?" sebelumnya Clara tak pernah mendengar asumsi ini. Ia tahu kekasihnya pun ikut dalam pencaharian bukti kasus kecelakaan ibunya. Dan, hari ini ia mendengar sendiri dari mulut kekasihnya bahwa ada yang ganjil dalam peristiwa tersebut.

Marko yang sudah kehabisan kata. Ia terlanjur mengatakan hal yang seharusnya menjadi rahasia kecil yang harus tersimpan rapat-rapat.

"Aku harap kau tak memberitahukan siapapun." Imbuhnya dan Clara pun mengangguk patuh.

Marko menempatkan kedua tangannya berlipat didepan dadanya. "Dua tahun yang lalu, saat pertama kali aku terjun dalam kasus kecelakaan ibumu, aku mengetahui bahwa sama sekali tak ditemukan tanda-tanda jasad ibumu disana. Entah apa yang terjadi sebelum ledakan itu. Rasanya tak mungkin jika jasad ibumu dicuri orang atau hanyut ke sungai, yang jelas-jelas tak pernah ada."

Clara tercengang. Wanita itu sampai tak bisa menutup mulutnya sendiri. kedua mata hazelnya terbelalak dengan detak jantung yang menyerbu seperti ingin melompat keluar. Ia sendiri sudah tak bisa berkonsentrasi memandang apapun didepannya. Perkataan Marko seolah terngiang-ngiang, membekukan dirinya detik itu juga.

"A-Apa kau.. b-bercanda?" suara wanita itu tergagap. Clara tak sanggup menyelesaikan kalimat tanyanya dengan baik.

Marko menggeleng. Inilah hal yang palig ditakutkannya. Wanita itu pasti sangat terkejut dengan kenyataan yang ada. Apalagi Clara yang paling menuntut diselesaikannya kasus ini.

"Aku sedang tak ingin membuat lelucon, sayang. Satu-satunya saksi disini adalah kakakmu. Jika Jean bisa membuka suara, maka kami akan menemukan titik terang."

Clara terdiam. Benar saja, hanya Jean yang tahu tentang kejadian ini, karena laki-laki itulah yang ada saat kejadian naas yang menimpa ibu mereka. Tapi, Clara tak mungkin memaksa kakaknya itu untuk bersuara. Ia tahu penyakit Jean akan kembali kambuh saat disinggung mengenai ibu mereka. Dan, ia tak ingin mengusik ketenangan kakaknhya setelah menikah.

"Kau intai kakakku." Putusnya. Clara memandang lak-laki itu dengan tatapan tajam. "Awasi gerak-gerik kakakku."

Marko terdiam. Pria itu merespon hanya dengan setengah alis tebalnya yang meninggi. Ia tak yakin itu adalah keputusan yang tepat. Jean begitu pintar membaca situasi. Sangat sulit baginya untuk mengintai pria itu.

"Aku tak yakin itu berhasil."

Clara kembali mendapatkan ketenangannya saat cairan hitam itu masuk ke dalam tenggorokkannya. Tangan lentiknya memegang cangkir kopi, mencari kehangatan disana.

"Memang. Tapi, melalui Kak Odelia kau bisa." Putusnya.

"Kakak Iparmu?" Marko bertanya tak yakin. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya pada wanita itu. Sungguh, sejak pertama melihat Odelia, Marko sudah membaca bahwa wanita itu sangat lemah.

"Kenapa? Kau tidak mau membantuku, sayang? " tanya Clara sambil menegakkan tubuhnya dan memandangi Tunangannya itu dengan tajam. Ia yakin cara ini akan berhasil membantunya mendapatkan apapun yang diinginkannya dari sang kekasih.

"Bukannya begitu. Tapi.."

"Baiklah .." potong Clara tiba-tiba. Lalu wanita cantik itu berdiri. Ia menatap sekali lagi wajah kekasihnya dengan ekspresi datar. "Aku harap kau akan selalu ada disaat aku membutuhkanmu. Tapi.."

"S-Sayang... tenanglah. Bukan begitu maksudku.. tapi a-aku.." balas Marko yang ikut berdiri dengan terbata-bata. Ia sudah bingung jika kekasihnya ini sudah memasang ekspresi datar seperti ini. Pasti ia takkan bisa melihat wajah itu dalam waktu yang lama, karena Clara pasti akan menolak menemuinya. Wanita itu akan melancarkan aksi merajuknya.

"Mau atau tidak?" Tanya Clara dengan tegas. Matanya tegas menatap kekasihnya itu. Ia butuh kepastian apakah tunangannya ini bisa membantunya atau tidak. Ia sungguh harus menemukan bukti disini. Clara yakin ada yang tak beres dengan kakaknya dan juga ayahnya, serta pernikahan mendadak yang tiba-tiba disetujui oleh Jean begitu saja.

"B-Baiklah." Marko takkan pernah bisa mengatakan tidak pada pacarnya itu. Ia sungguh tak mau kehilangan wanita yang paling ia cintai itu. Apapun yang dikatakannya, bagaikan sebuah perintah dan selayaknya laki-laki sejati hal utama yang diinginkan Marko adalah kebahagiaan kekasihnya itu.

"Aaaah.. kau yang terbaik, Sayangku.." pekik Clara senang. Ia langsung memeluk tubuh tegap kekasihnya itu, tak peduli pandangan orang yang berada di cafe, yang ikut memandanginya dengan berbagai ekspresi. Ia tahu pasti ini akan terjadi. Kekasihnya takkan pernah mungkin menolak keinginannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status