Share

Part 7

"Manusia adala hal terumit yang pernah mengisi lembaran di bumi ini. Ada berbagai rasa arogansi yang bertunas didalam diri mereka."

"Jadi apakah kau sudah menemukan alasan mengapa kau tetap melakukannya?"

Seorang wanita dewasa dengan potongan rambutnya yang berbentuk bob duduk dengan tenang disamping seorang pria berjas kantor rapi sembari meminum teh hijau hangat dalam cangkir berwarna keemasan itu. Tatapannya menyendu sejak aroma menenangkan itu menyeruak ke dalam indera penciumannya. Seolah ia berkata bukan ditujukan untuk pria yang kini masih bergeming setelah satu jam lamanya ia berada ditempat wanita itu.

Reanna, wanita yang berprofesi sebagai seorang psikiater itu memilih untuk mengajak pria yang duduk tenang disampingnya membicarakan hal sepele yang sebenarnya ia tahu bahwa itu sama sekali bukan hal yang memiliki kaitan. Namun ia pun tak bisa memaksa agar pria itu mau membuka suara. Sejauh yang dikenalnya, Reanna tahu bahwa pria itu takkan mudah membuka suaranya hanya untuk menjadi seorang yang lemah. Pria itu tak suka dipaksa, melainkan bertindak sesuai kesadarannya sendiri.

Sampai saat dimana Reanna melihat kegundahan dalam mata elang milik pasiennya itu, ia memilih untuk berinisiatif mengambil langkah maju. Alih-alih merasa terinvansi, pria itu justru semakin membungkamkan suaranya. Hanya sebuah helaan napas yang sesekali terdengar berat ditelinganya.

"Kupikir setelah setahun kau menikah, kau bisa menemukan jawabannya."

Pria itu lantas langsung berdiri, meninggalkan kursi besi yang semula menjadi tempatnya untuk meletakkan tubuhnya. Dengan tangan yang berada didalam saku celana denimnya, pria itu berjalan ke arah jendela yang membatas ruangan ini dengan taman belakang milik wanita itu. Dalam bola matanya, terpantul pemandangan taman yang dihiasi dengan bunga-bunga cantik beraneka warna dan juga beberapa mainan outdoor khusus anak-anak yang sedang berkunjung ke rumah Reanna.

"Aku semakin tak menemukan apapun ketika aku mencoba untuk semakin membencinya."

Reanna tersenyum lembut dari balik cangkirnya. Wanita itu menerka mungkin saja bukan itu jawaban yang ingin didengarnya. Ia tahu pria itu masih memiliki hal besar lainnya yang enggan untuk dibicarakannya. Sejauh matanya melihat, Jean yang dikenalnya bukanlah sosok laki-laki yang bingung akan tindakannya. Pria itu selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Bahkan menurutnya terkadang sudah melewati ambang batas kewajaran.

Setahun lalu, Reanna dibuat ternganga atas keputusan yang diambil Jean dengan menikah wanita itu. Ia tahu Jean bukanlah tipe pemilih dalam urusan perasaan. Pria itu akan cenderung menerima siapa saja yang bisa membuatnya nyaman, termasuk kehadiran Martha yang sesungguhnya hanya menampilkan kenyamanan semu. Namun dengan keputusan besar yang dibuat Jean, Reanna tahu laki-laki itu sudah terpikat. Jean yang dikenalnya berubah saat mendekati hari besarnya. Senyuman tak biasa pun terpampang nyata saat Jean mengatakan bahwa dirinya akan mengakhiri masa lajangnya tersebut.

Namun semua itu tak berlangsung lama. Tepat sehari setelah pernikahan tersebut, Reanna mengangkap perubahan yang negatif kembali terjadi pada diri Jean. Persis sama seperti tahun-tahun pertama saat Jean mengalami depresi saat kehilangan ibunya, tatapan penuh amarah itu kembali menyeruak. Sepasang mata elang yang menghiasi kedua mata tajamnya memancarkan keinginan besar untuk melakukan hal keji. Membunuh mungkin adalah kata terlembut yang bisa diungkapkan atas tindakan yang akan dilakukan oleh Jean.

Reanna tahu bahwa Jean yang sesungguhnya telah hilang. Meski hanya sebentar, Reanna tahu bahwa saat dimana senyum lebar Jean terlihat, itulah dirinya yang sebenarnya. Sudah bertahun-tahun Reanna merawat Jean, bangkit dari keterpurukan yang bisa membunuh dirinya sendiri. Ia mengenal Jean dengan baik, bahkan memiliki cara untuk meredamkan amarah anak itu.

"Aku tak mengerti bagaimana cara menjelaskannya, hingga saat ini aku masih tak bisa memaafkannya."

"Kau mungkin bukannya tak menemukan, Jean."

Laki-laki berperawakan tinggi itu menoleh ke belakang. kini dilihatnya Reanna tak lagi terfokuskan pada cangkirnya, melainkan memberikannya tatapan lembut miliknya. Reanna selalu menjadi tempatnya untuk membuang keluh kesahnya. Baginya wanita itu bagaikan sosok ibu pengganti untuknya ketika dirinya hancur saat kehilangan sosok ibu kandungnya sendiri. Saat itu ia berpikir bahwa Reanna akan menjadi istri dari ayahnya. Namun kehadiran Reanna adalah sebagai seorang penyembuh. Dirinya yang dulu terluka berhasil bangkit berkat dorongan dari wanita itu.

Jean suka cara Reanna membimbingnya. Tanpa paksaan dan juga berbagai nasihat kosong yang paling dibencinya. Reanna tak berusaha mengguruinya seperti psikiater yang lain. Jika itu bukan Reanna, mungkin Jean akan dicap sebagai anak tidak waras saat itu.

"Kau perlu mengenalnya untuk menemukan jawabannya." Reanna berdiri. Tepat disamping Jean, wanita itu ikut memandangi apa yang sebelumnya dipandangi oleh Pasiennya, meski ia yakin bukan itu yang ada dalam penglihatan Jean.

"Aku sudah menikahinya dan aku sudah melakukan segala cara untuk menyakitinya. Aku telah merenggut apa yang menjadi haknya sebagai seorang wanita dengan cara yang tidak pantas. Lantas mengapa aku belum pernah menemukan jawaban atas semua ini?"

Reanna mendengus pelan. Wanita itu yakin Jean telah berkata jujur. Ia tahu jika selama ini Jean melakukan tindakan yang tidak wajar pada wanita yang telah sah menjadi istrinya. Bukan saja tidak wajar, melainkan marital rape yang seharusnya tak pernah ada. Bayangkan, tak ada orang yang mau percaya dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya sendiri. Apalagi hingga setahun pernikahan keduanya, tak ada tanda bahwa wanita itu melaporkan tindakan suaminya ke ranah hukum.

Satu-satunya hal yang bisa Reanna tarik dari semua kasus yang pernah ia tangani, kebencian Jean sejujurnya adalah ungkapan rasa kecewa pada sosok yang sudah memikatnya. Kekecewaan Jean pada asal-usul yang membelit wanita itu mendorongnya untuk menyakiti dan terus menyakiti wanita itu. Jean ingin perasaan bencinya terbalaskan, tapi hingga detik ini Jean tak bisa mendapatkannya. Reanna yakin perasaan aneh yang sering diungkapkan oleh Jean itu bukanlah sembaran rasa. Perasaan itu sudah ia yakini saat ini telah memiliki nama. Tentu saja, Jean akan sangat murka bila ia menyebutkannya sekarang.

"Mungkin kau takkan pernah puas." Celetuk Reanna tiba-tiba, hingga membuat Jean tertegun.

"Apa maksudmu?"

Reanna memberikan tatapan langsung ke arah mata Jean. Kali ini tentu saja Jean tahu bahwa ia tak lagi sedang ingin bergurau dengannya. Reanna ingin mengatakan bahwa Jean tak bisa main-main dengan hidupnya lagi. Kini ia mengerti mengapa Jean takkan pernah puas, dan wanita itu takkan pernah bisa membalas kebencian Jean. Wanita itu takkan tersiksa selama ia bisa hidup bersama Jean, begitu pun sebaliknya. Maka harapan Jean agar istrinya itu membencinya dan merasa tersiksa pasti takkan pernah terwujud.

"Kau tahu, antara membenci dan mencinta memiliki rasa yang tak berbeda jauh. Namun meski kau murka, aku harus menyampaikannya."

Rahang Jean menegang. Selanjutnya ia bisa menebak akan ada unsur romantisa disini dan ia benci saat pikiran konyol itu mulai menyambangi kepala Reanna.

"Lebih baik aku pergi. Berbicara denganmu membuat otakku berputar tak beres!" Jean melangkahkan kakinya, lebih lebar dari biasanya guna menjauhi Reanna. Namun kesempatan itu takkan disia-siakan oleh Reanna. Wanita itu tak mau Jean kembali mengalami keterpurukan terbesar dalam hidupnya.

Setelah meyakini setahun belakangan ini, Reanna tahu bahwa Jean akan hancur. Takkan pernah bisa bangkit setelah mengalami ketertinggalan untuk kedua kalinya. Terlebih untuk saat ini, kasus yang dialami oleh Jean adalah buah dari kesalahannya. Sesuatu yang sudah hancur, tentu saja takkan mudah untuk disatukan kembali.

"Kau takkan pernah puas, karena hati wanita itu sangatlah besar."

Langkah Jean terhenti saat mendengar seruan yang mengarah kepadanya. Tapi, laki-laki itu enggan berbalik. Ia tetap memilih diam dan memunggungi Reanna, yang pasti tengah tersenyum penuh arti kepadanya.

"Kali ini jika kau sampai salah mengambil langkah, aku takkan bisa membuatmu bangkit. Kehancuran yang sudah terlihat nyata mungkin saja bisa membuatmu gila dalam arti yang sesungguhnya. Kembalinya Martha dalam kehidupanmu takkan mengubah jalan bahwa wanita itu sudah merebut posisi Martha, bahkan menguasai seluruh jiwamu, Jean."

Menguasai?

Sungguh, Jean tak mengerti itu. Baginya wanita itu hanyalah petaka dan petaka harus dihancurkan guna menghindarkan dirinya dari nasib buruk. Ia yakin dengan kepergian Odelia dari hidupnya, maka ambisinya akan tersalurkan. Dan dirinya tak perlu lagi merasa kelelahan seperti sekarang ini.

"Kau memiliki hak untuk tidak memaafkan atau pun melupakan kesalahan yang telah diperbuat secara tidak langsung olehnya. Tapi, dengan membunuhnya secara perlahan, itu akan semakin membuatmu terpikat olehnya. Ketahuilah Jean, sejak pertama kau melihatnya, aku yakin hatimu telah menyerukan siapa pemiliknya yang sebenarnya. Kau tak bisa menapik bahwasannya kau sudah menemukan takdirmu bersamanya."

Jean tetap terdiam ditempatnya. Laki-laki itu lebih memilih memusatkan diri pada keegoannya yang tinggi untuk mengakui kekalahannya. Tidak, ini bukan sebuah kekalahan. Tak ada yang lebih mengenal dirinya sendiri kecuali dirinya. Tubuh ini adalah miliknya, tak ada yang pantas menilai benar atau tidaknya langkah yang sudah dipilihnya. Bersama Martha, adalah hidupnya, obsesinya menjalani kehidupan.

Masa depan yang menjanjikan bersama wanita itu tentu saja hal yang paling ia inginkan. Jean takkan menolak apabila wanita itu yang telah menyakitinya kembali ke sisinya. Martha adalah hidupnya, terhitung sejak pertama kali dirinya melihat wanita itu.

Bohong, jika Reanna mengatakan bahwa hatinya telah menyerukan siapa pemilik aslinya. Ia yakin dengan perasaannya bahwa hatinya takkan berubah untuk Martha. Wanita itu adalah impiannya dan akan selalu begitu. Lucu jika sekarang Reanna tidak mengamini keputusannya, padahal wanita itu selalu siap berdiri dibelakangnya kapan pun dirinya butuh.

"Hentikan Jean.. sebelum kau benar-benar menyesali semuanya." Reanna kembali berlirih, meski ia tahu hal itu adalah usaha yang percuma, karena Jean takkan mau mendengarkannya kali ini. Dan kebenciannya itu bisa saja menelannya bulat-bulat.

"Kau bilang, menjadi hakku untuk memutuskan kapan aku harus memaafkan kesalahannya. Ketika hari itu datang, bisa kupastikan bahwa takkan ada yang terjatuh disini, kecuali dirinya. Kau bisa memegang perkataanku kali ini, Rea."

Wanita itu hanya termenung memperhatikan kekerasan Jean yang tak berkesudahan. Mungkin sebelumnya ia hanya bisa terdiam, namun ia tahu cepat atau lambat semuanya pasti akan berubah. Wanita yang dinikahi oleh Jean tentu takkan selamanya diam. ia yakin Odelia pasti akan menuntut suatu hal dari Jean.

Sebuah penjelasan.

"Cobalah untuk menjelaskannya. Ini semua bukan sepenuhnya adalah kesalahan istrimu. Pasti ada jawaban logis dibalik kemarahanmu, Jean."

Tangan laki-laki itu mengepal kuat dikedua sisi tubuhnya. Mata elangnya tak henti memancarkan bara api yang sedang membara saat ini. Baginya tak ada yang perlu dijelaskan. Apapun alasannya, Odelia adalah penyebab semua ini. Wanita itu yang telah membuat kehidupannya dan Clara hancur pasca kematian ibu mereka, dan juga karena Odelia juga ibunya pergi dengan cara yang tak selayaknya.

"Aku tak perlu menjelaskan apapun pada wanita itu, Rea. Bagiku semuanya sudah jelas. Hanya Odelia yang pantas dipersalahkan atas semua kemalangan kami. Tidak siapapun, hanya Odelia."

Rea menghela napas pasrah. Memang percuma saja untuk membuat pendirian Jean berubah. Laki-laki itu memiliki kemauan yang keras dan itu sangat merepotkan untuknya.

"Dia punya kakak, Jean. Odelia masih memiliki kakak."

Jean menyeringai. Senyuman yang memiliki arti dan tatapan yang menusuk itu muncul setelah Rea kembali menguak fakta yang hampir saja ia kesampingkan karena Odelia. Namun fakta itu saat ini tidaklah penting. Ia tahu kakak Odelia tentu memiliki kebencian yang sama dengannya sampai tega membuang adiknya sendiri.

"Tidak ada kakak yang tega membuang adiknya kalau bukan karena ia sangat membencinya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status