Share

Tragedi Rumah Warisan
Tragedi Rumah Warisan
Penulis: Umma Saliha

Depresi

Senja kini menjadi suasana yang paling Akira benci, setiap warna langit mulai berubah menjadi kuning keemasan. Segera ia berlari menutup pintu dan jendela, secepat mungkin dirinya masuk ke kamar tanpa memperdulikan lagi apapun.

Kehilangan anak membuatnya sangat depresi. Terkadang jika lepas mengendalikan emosi, Akira tidak bisa membedakan antara kenyataan dan halusinasi. Ia sering bicara sendiri seperti mengajak Sheila bermain.

Kadang menggendong bantal dan menganggap itu anaknya. Tak jarang Andara anak sulungnya, kena bentakannya karena mengingatkan bahwa Sheila sudah tiada. Sheila, anak keduanya yang masih berusia belum genap dua tahun, tenggelam di kolam renang, yang ada di belakang rumahnya.

Sore itu seperti biasanya, ia tengah mempersiapkan makan malam, untuk menyambut kedatangan Reyhan sepulang bekerja. Sheila asik bermain di luar, Akira mengawasinya dari dalam. Karena posisi dapur ke luar, tidak jauh dan bisa terlihat lewat pintu kaca yang menjadi sekat.

"Kira-kira Reyhan suka nggak yah masakanku." Akira bergumam sendiri, sambil tersenyum menatap wajan berisi masakan.

Hari ini ia membuat sop iga bakar, tempe tepung, dan sambal goang kesukaan Rey. Saking pokus nya pada masakan yang sedang dibuat, karena tidak mau mengecewakan Reyhan. Ia lupa pada Sheilla yang tanpa ia sadari sudah mendekati kolam renang.

"Sempurna," ucap Akira, saat semua masakan selesai tertata rapih di atas meja makan.

Beberapa saat kemudian, ia terkesiap menyadari Sheila tidak bersuara sejak tadi.

"Sheila ... Sheila ...." Akira berteriak memanggil anaknya, tapi bocah itu tidak meyahuti panggilannya.

Ia pun bergegas ke area belakang, di sana hanya ada mainan yang tergeletak. Saat menoleh ke arah kolam renang, ia terkejut melihat Sheila sudah mengambang. Bersama dengan boneka Teddy bear kesayangan anaknya.

"Sheila! Sheila ...." Jeritan Akira langsung menggema.

Ia berlari ke kolam, berniat menyelamatkan Sheila. Namun terlambat, anaknya sudah tidak bernyawa.

"Sheila, bangun Nak, bangun!" Akira meniup mulut Sheila, berharap anaknya hanya pingsan.

"Sheila! Lihat Mama, ini Mama ada." Ia menepuk-nepuk pipi Sheila, bocah itu tidak bergerak, badannya sudah membiru.

"Sheila, maafin Mama. Sheila bangun, haaaaaaaaaa!" Akira menjerit, menangis tersedu-sedu menyesali keteledorannya. Ia memeluk tubuh Sheila dengan erat.

"Ada-- apa--, Akira?" Reyhan yang baru pulang bekerja kebingungan melihat istrinya menangis.

"Rey ...," Ratap Akira.

"Astaghfirullahal'adzhim, Sheila!" Reyhan menjerit saat melihat Sheila yang berada dalam gendongan istrinya membiru.

"Maafin aku, Rey," ucap Akira penuh sesal.

Jika teringat kejadian itu, Akira selalu menyalahkan dirinya sendiri. Seringkali ia mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pemutih, menyayat tangan dengan pisau, terakhir menenggelamkan dirinya ke dalam toren air. Beruntung ia selamat karena Reyhan sigap menjaganya.

Karena seringnya Akira melakukan percobaan bunuh diri, Reyhan jadi khawatir jika harus meninggalkan Akira sendirian. Andara sibuk sekolah, berangkat pagi pulang sore hari. Karena kerepotan mengurus pekerjaan dan rumah, akhirnya Rey memutuskan untuk resign dari kantor.

Berbekal ilmu marketing yang Reyhan miliki. Ia membuka warung sembako dan sayuran, dari pagi sampai sore. Lalu, ia melanjutkan dengan berjualan jus sampai malam hari.

Dari pagi sampai siang Akira bisa bersikap normal, perannya sebagai ibu tetap ia jalankan dengan baik. Memasak, menyuci pakaian, membersihkan rumah tetap di lakoni. Hanya saja jika menjelang sore sikapnya berubah drastis. 

Kejadian tragis itu menyisakan trauma yang mendalam di hati Akira. Anak yang sangat ia cintai pergi untuk selamanya, tak pernah berhenti ia mengutuk diri sendiri. 

Karena merasa lalai dan menjadi penyebab putri kecilnya itu meninggal. Setiap teringat pada hari dimana ia menemukan Sheila sudah mengambang di kolam, Akira menangis histeris memanggil-manggil nama Sheila. 

Meski sudah enam bulan berlalu nyatanya Akira masih belum bangkit, ia lebih banyak mengurung diri di kamar. Tak pernah lagi keluar rumah untuk ikut pengajian bersama ibu-ibu kampung.

"Sayang, makanlah," tawar Rey menyodorkan nampan berisi makanan. "Seharian ini kamu nggak keluar, tadi ibu-ibu pengajian nanyain kamu," lanjut Rey. 

"Maaf. Aku nggak enak badan, Mas," sahut Akira, tanpa melirik makanan yang dibawa suaminya.

"Ya sudah. Kamu makan ya, ini Mas bawakan sop buntut kesukaanmu. Mas masak sendiri loh, di bantuin sama Dara," bujuk Rey, tangannya menyodorkan sendok ke mulut Akira. 

"Mas, maafin aku ya. Karena aku, Mas jadi ...," ucap Akira, matanya berkaca-kaca. 

"Apa sih Sayang kamu tuh? Kamu istri Mas, sudah kewajibanku untuk merawatmu." Rey memotong ucapan Akira, karena ia sudah paham apa yang akan dikatakan istrinya.

"Tapi, Aku bukan ibu yang baik. Aku banyak menyusahkan Mas selama ini." Tangis Akira kembali pecah tak bisa terbendung lagi.

Rey merangkul Akira, memeluknya dengan erat, mengecup lembut kepalanya, mengusap-usap punggung sang istri. "Sudah, jangan banyak fikiran Sayang. Yang penting kamu sehat, Mas sudah bahagia." Berulang kali ucapan ini selalu dilontarkan, agar istrinya tenang.

"Aku masih belum terima kepergian Sheila, Mas. Semua ini salahku," lirih ucap Akira.

"Dengar Sayang, kepergian Sheila sudah ketentuan illahi. Jangan tangisi lagi, semua sudah tertulis di lauh mahfudz. Sekarang tinggal kita semua memantaskan diri. Agar bisa layak bersama anak-anak kita di Jannah-nya," jelas Reyhan.

"Iya Mas," sahut Akira. Bibirnya menyunggingkan sedikit senyum.

"Kamu makan ya, sini Mas suapin. Aaakkk." Rey memaksa menyodorkan sendok ke mulut Akira.

"Makasih, sayang." Akira membuka mulut, menerima suapan dari suaminya. "Aku makan sendiri saja," pintanya.

"Ya udah." Rey menyerahkan nampan, lalu berjalan keluar kamar.

Reyhan berdiri sejenak di ambang pintu dan menatap istrinya yang kembali melamun. Reyhan menghela napas panjang, pikirannya terus memikirkan kesembuhan mental istrinya. Ia kemudian duduk di meja makan, kembali merenungkan cara agar Akira sembuh dari trauma.

Matanya beralih menatap area kolam yang ada di halaman belakang, konsep rumah yang punya jendela besar di bagian belakang membuatnya bisa melihat langsung ke arah luar. Di sana ia melihat Andara di luar sedang duduk di tepi kolam. 

'Sejak kapan, Dara kembali main di kolam?' batin Reyhan.

Sejak kematian adiknya, Andara tidak pernah lagi berenang, maupun bersantai di kolam seperti biasanya. Reyhan melangkah keluar, hendak mengajak anaknya masuk. Baru saja membuka pintu, suara Andara mengejutkannya.

"Ayah!" seru Andara.

"Dara?" Reyhan berbalik, terkejut melihat anaknya baru saja turun dari tangga. Matanya kembali menoleh ke arah kolam, kosong tidak ada siapapun.

"Ayah kenapa? Kakak panggil dari tadi, kok nggak dengar?" tanya Andara.

Reyhan masih terpaku menatap kolam.

"Ayah!" Gadis itu mencubit tangan Reyhan yang masih saja tertegun.

"Eh, iya. Apa Kak? Maaf tadi Ayah melamun," sahut Reyhan, mengusap tengkuknya yang merinding seketika.

"Ayah lihat anak itu?" tanya Andara lagi.

"Anak? Anak siapa Kak?" Reyhan semakin bingung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
S Rohmah
Sebenarnya siapa anak yg berada d area kolam. Hal2 mistis mulai kecium hhiiiii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status