Senja kini menjadi suasana yang paling Akira benci, setiap warna langit mulai berubah menjadi kuning keemasan. Segera ia berlari menutup pintu dan jendela, secepat mungkin dirinya masuk ke kamar tanpa memperdulikan lagi apapun.
Kehilangan anak membuatnya sangat depresi. Terkadang jika lepas mengendalikan emosi, Akira tidak bisa membedakan antara kenyataan dan halusinasi. Ia sering bicara sendiri seperti mengajak Sheila bermain.
Kadang menggendong bantal dan menganggap itu anaknya. Tak jarang Andara anak sulungnya, kena bentakannya karena mengingatkan bahwa Sheila sudah tiada. Sheila, anak keduanya yang masih berusia belum genap dua tahun, tenggelam di kolam renang, yang ada di belakang rumahnya.
Sore itu seperti biasanya, ia tengah mempersiapkan makan malam, untuk menyambut kedatangan Reyhan sepulang bekerja. Sheila asik bermain di luar, Akira mengawasinya dari dalam. Karena posisi dapur ke luar, tidak jauh dan bisa terlihat lewat pintu kaca yang menjadi sekat.
"Kira-kira Reyhan suka nggak yah masakanku." Akira bergumam sendiri, sambil tersenyum menatap wajan berisi masakan.
Hari ini ia membuat sop iga bakar, tempe tepung, dan sambal goang kesukaan Rey. Saking pokus nya pada masakan yang sedang dibuat, karena tidak mau mengecewakan Reyhan. Ia lupa pada Sheilla yang tanpa ia sadari sudah mendekati kolam renang.
"Sempurna," ucap Akira, saat semua masakan selesai tertata rapih di atas meja makan.
Beberapa saat kemudian, ia terkesiap menyadari Sheila tidak bersuara sejak tadi.
"Sheila ... Sheila ...." Akira berteriak memanggil anaknya, tapi bocah itu tidak meyahuti panggilannya.
Ia pun bergegas ke area belakang, di sana hanya ada mainan yang tergeletak. Saat menoleh ke arah kolam renang, ia terkejut melihat Sheila sudah mengambang. Bersama dengan boneka Teddy bear kesayangan anaknya.
"Sheila! Sheila ...." Jeritan Akira langsung menggema.
Ia berlari ke kolam, berniat menyelamatkan Sheila. Namun terlambat, anaknya sudah tidak bernyawa.
"Sheila, bangun Nak, bangun!" Akira meniup mulut Sheila, berharap anaknya hanya pingsan.
"Sheila! Lihat Mama, ini Mama ada." Ia menepuk-nepuk pipi Sheila, bocah itu tidak bergerak, badannya sudah membiru.
"Sheila, maafin Mama. Sheila bangun, haaaaaaaaaa!" Akira menjerit, menangis tersedu-sedu menyesali keteledorannya. Ia memeluk tubuh Sheila dengan erat.
"Ada-- apa--, Akira?" Reyhan yang baru pulang bekerja kebingungan melihat istrinya menangis.
"Rey ...," Ratap Akira.
"Astaghfirullahal'adzhim, Sheila!" Reyhan menjerit saat melihat Sheila yang berada dalam gendongan istrinya membiru.
"Maafin aku, Rey," ucap Akira penuh sesal.
Jika teringat kejadian itu, Akira selalu menyalahkan dirinya sendiri. Seringkali ia mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pemutih, menyayat tangan dengan pisau, terakhir menenggelamkan dirinya ke dalam toren air. Beruntung ia selamat karena Reyhan sigap menjaganya.
Karena seringnya Akira melakukan percobaan bunuh diri, Reyhan jadi khawatir jika harus meninggalkan Akira sendirian. Andara sibuk sekolah, berangkat pagi pulang sore hari. Karena kerepotan mengurus pekerjaan dan rumah, akhirnya Rey memutuskan untuk resign dari kantor.
Berbekal ilmu marketing yang Reyhan miliki. Ia membuka warung sembako dan sayuran, dari pagi sampai sore. Lalu, ia melanjutkan dengan berjualan jus sampai malam hari.
Dari pagi sampai siang Akira bisa bersikap normal, perannya sebagai ibu tetap ia jalankan dengan baik. Memasak, menyuci pakaian, membersihkan rumah tetap di lakoni. Hanya saja jika menjelang sore sikapnya berubah drastis.
Kejadian tragis itu menyisakan trauma yang mendalam di hati Akira. Anak yang sangat ia cintai pergi untuk selamanya, tak pernah berhenti ia mengutuk diri sendiri.
Karena merasa lalai dan menjadi penyebab putri kecilnya itu meninggal. Setiap teringat pada hari dimana ia menemukan Sheila sudah mengambang di kolam, Akira menangis histeris memanggil-manggil nama Sheila.
Meski sudah enam bulan berlalu nyatanya Akira masih belum bangkit, ia lebih banyak mengurung diri di kamar. Tak pernah lagi keluar rumah untuk ikut pengajian bersama ibu-ibu kampung.
"Sayang, makanlah," tawar Rey menyodorkan nampan berisi makanan. "Seharian ini kamu nggak keluar, tadi ibu-ibu pengajian nanyain kamu," lanjut Rey.
"Maaf. Aku nggak enak badan, Mas," sahut Akira, tanpa melirik makanan yang dibawa suaminya.
"Ya sudah. Kamu makan ya, ini Mas bawakan sop buntut kesukaanmu. Mas masak sendiri loh, di bantuin sama Dara," bujuk Rey, tangannya menyodorkan sendok ke mulut Akira.
"Mas, maafin aku ya. Karena aku, Mas jadi ...," ucap Akira, matanya berkaca-kaca.
"Apa sih Sayang kamu tuh? Kamu istri Mas, sudah kewajibanku untuk merawatmu." Rey memotong ucapan Akira, karena ia sudah paham apa yang akan dikatakan istrinya.
"Tapi, Aku bukan ibu yang baik. Aku banyak menyusahkan Mas selama ini." Tangis Akira kembali pecah tak bisa terbendung lagi.
Rey merangkul Akira, memeluknya dengan erat, mengecup lembut kepalanya, mengusap-usap punggung sang istri. "Sudah, jangan banyak fikiran Sayang. Yang penting kamu sehat, Mas sudah bahagia." Berulang kali ucapan ini selalu dilontarkan, agar istrinya tenang.
"Aku masih belum terima kepergian Sheila, Mas. Semua ini salahku," lirih ucap Akira.
"Dengar Sayang, kepergian Sheila sudah ketentuan illahi. Jangan tangisi lagi, semua sudah tertulis di lauh mahfudz. Sekarang tinggal kita semua memantaskan diri. Agar bisa layak bersama anak-anak kita di Jannah-nya," jelas Reyhan.
"Iya Mas," sahut Akira. Bibirnya menyunggingkan sedikit senyum.
"Kamu makan ya, sini Mas suapin. Aaakkk." Rey memaksa menyodorkan sendok ke mulut Akira.
"Makasih, sayang." Akira membuka mulut, menerima suapan dari suaminya. "Aku makan sendiri saja," pintanya.
"Ya udah." Rey menyerahkan nampan, lalu berjalan keluar kamar.
Reyhan berdiri sejenak di ambang pintu dan menatap istrinya yang kembali melamun. Reyhan menghela napas panjang, pikirannya terus memikirkan kesembuhan mental istrinya. Ia kemudian duduk di meja makan, kembali merenungkan cara agar Akira sembuh dari trauma.
Matanya beralih menatap area kolam yang ada di halaman belakang, konsep rumah yang punya jendela besar di bagian belakang membuatnya bisa melihat langsung ke arah luar. Di sana ia melihat Andara di luar sedang duduk di tepi kolam.
'Sejak kapan, Dara kembali main di kolam?' batin Reyhan.
Sejak kematian adiknya, Andara tidak pernah lagi berenang, maupun bersantai di kolam seperti biasanya. Reyhan melangkah keluar, hendak mengajak anaknya masuk. Baru saja membuka pintu, suara Andara mengejutkannya.
"Ayah!" seru Andara.
"Dara?" Reyhan berbalik, terkejut melihat anaknya baru saja turun dari tangga. Matanya kembali menoleh ke arah kolam, kosong tidak ada siapapun.
"Ayah kenapa? Kakak panggil dari tadi, kok nggak dengar?" tanya Andara.
Reyhan masih terpaku menatap kolam.
"Ayah!" Gadis itu mencubit tangan Reyhan yang masih saja tertegun.
"Eh, iya. Apa Kak? Maaf tadi Ayah melamun," sahut Reyhan, mengusap tengkuknya yang merinding seketika.
"Ayah lihat anak itu?" tanya Andara lagi.
"Anak? Anak siapa Kak?" Reyhan semakin bingung.
"Anak? Anak siapa Kak?" Reyhan semakin bingung."Yang suka duduk di pinggir kolam, Yah," jawab Andara."Ngaco kamu Kak, nggak ada siapa-siapa di sini selain kamu.""Ayah beneran nggak lihat? Dia loh yang narik Ade...." Ucapan Andara terputus, badannya gemetar dan keringat mulai mengucur."Apa Kak? Kok keringatan?" Reyhan menoleh, melihat perubahan sikap anaknya."Eh, emm. Ayah, malam ini Kakak tidur di kamar Ayah sama Bunda yah? Nggak apa-apa tidur di lantai aja," pinta Andara."Kamu udah besar Kak, masa tidur lagi sama kami. Lagian di kamar atas kan luas, kamar sendiri pula," sahutnya."Malam ini aja. Kakak mohon yah? Itung-itung mengenang masa kecil." Andara mengerlingkan sebelah matanya, membuat Reyhan tertawa geli."Ya sudah, tapi semalam aja kan?"Andara mengangguk secepat kilat, gadis
Sejak insiden kepala buntung, Andara lebih banyak diam. Bicara hanya seperlunya saja, setiap membahas adiknya ia tidak pernah mau ikut mendengarkan. Sikap Andara yang ceria hilang seketika, perubahannya membuat Reyhan sedih, dengan perubahan anaknya.Andara lebih dekat pada Reyhan ketimbang Akira, Reyhan lebih mengerti anaknya, meski jarang berada di rumah. Keputusan Reyhan membuka usaha di rumah, membuat Andara senang, karena ia akan sering bersama dengan ayahnya.Beberapa kali Andara meminta pada orangtuanya untuk pindah rumah. Tapi tidak pernah sedikitpun digubris, terutama oleh Bundanya yang bersikukuh mempertahankan rumah itu."Bunda, ayo pindah rumah! Kakak takut tinggal disini," pinta Andara."Apaan sih Kakak ini? Sudah berkali-kali Bunda bilang, nggak akan pindah dari sini. Titik!" tegasnya pada Andara."Tapi kalau disini terus kita semua dalam bahaya Bunda!""Bahaya apa? Kepala buntung? Hantu? Jangan ngada-ngada teruslah Bunda pusing.
Mata Akira berpendar ke sekitar, mencari sumber suara tersebut. Lama menajamkan telinganya, tak ada apapun yang ia dengar. Akira menepis pikirannya, ia menduga dirinya hanya berhalusinasi akibat sering mengalami depresi.Reyhan memintanya menyimpan buku tersebut di kamar atas. Kemudian ia kembali ke warung, bersiap untuk menutupnya. Sebab, ia akan mengantarkan Andara ke rumah Om Hars, karena buku tadi Reyhan lupa mengatakan keinginan anaknya menginap di sana pada Akira.Reyhan menatap sekeliling warung sembako. Ia tidak menduga, jika jualannya lumayan laku. Padahal, posisinya berada di tusuk sate. Perlahan tapi pasti, usahanya mulai berkembang berkat ketelatenannya."Semoga, mitos posisi tusuk sate tidak terbukti. Aku bisa membantu Akira, untuk membuktikannya," gumam Reyhan. Ia pun mulai bergerak memasukan barang-barang di luar warung, lalu menutup rolling door.Di kamar atas, Akira kembali membuka buku berwarna emas, dengan ukiran dua naga di depannya. Ia me
Sesampainya di rumah sakit, Andara menangis tersedu-sedu, melihat ayahnya terbaring lemah. Om Hars mencoba menenangkan bocah itu, tapi Andara malah balik memarahinya dengan mengatakan bahwa Om Hars tidak percaya pada ucapannya.Reyhan masih belum sadarkan diri, saat tiba di rumah sakit. Seorang warga yang menolong, memberikan semua barang Reyhan. Om Hars berniat memberikan imbalan, tapi orang tersebut menolak atas nama kemanusiaan."Andara, udah jangan nangis terus ya. Om Kakek minta maaf, karena sudah meragukan kamu," ucap Om Hars, mengusap kepala Andara."Kalau terjadi apa-apa sama Ayah, gimana? Aku sama siapa Om Kakek," sahut Andara, tangannya tak mau lepas menggenggam Reyhan."Ayah Rey akan baik-baik saja, jangan khawatir ya anak baik," bujuk Om Hars.Andara diam tak menyahut ucapan Om Hars. Anak itu takut Ayahnya meninggal, karena selama ini ia sangat dekat dengan Reyhan. Om Hars terus membujuknya supaya tenang, lalu meminta Andara berdoa untuk kes
Di lorong rumah sakit, Reyhan berupaya belajar jalan dan melawan pusing di kepalanya. Ia ingin segera sembuh dan pulang ke rumah, sebab khawatir akan keadaan Akira yang sendirian.Saat tengah susah payah mengatur langkah kakinya, Reyhan melihat kursi roda berjalan sendiri ke arahnya, ia berusaha cuek. Mungkin, perawat lupa mengunci kursi roda, pikirnya.Semakin dekat dengannya makin nampak wujud kakek-kakek duduk di kursi roda tersebut. Reyhan merasa heran, padahal tadi ia melihat kursi itu kosong, tidak ada siapapun. Ia berbalik melangkahkan kaki menuju kamarnya kembali, tapi kursi roda tersebut seperti mengikutinya."Selamatkan istrimu, dia dalam bahaya!" Suara parau kakek di kursi roda membuat Rey terkejut, pelan tapi terasa menakutkan."Si-- siapa-- kakek ini?" Reyhan balik bertanya."Selamatkan istrimu!" seru si kakek."Ke-- kenapa-- dia?" Reyhan masih berani bertanya.Kakek itu menoleh ke arahnya, matanya melotot tajam, be
Om Hars tidak kehabisan akal, meski Akira menolak. Ia tetap mengirimkan abdi setianya yaitu Bik Nah, untuk menemani Akira. Meski Akira terus protes lewat SMS, Om Hars mengabaikannya, alhasil Akira jadi emosian pada bik Nah.Sudah dua hari Bik Nah menemani Akira di rumahnya, malam itu ia sedang membersihkan dapur. Selama di sana keponakan majikannya itu tidak pernah keluar dari kamar. Selalu terdengar tertawa dan berbicara sendiri, ia selalu diminta menyiapkan makanan untuk porsi dua orang.Kalau tidak menurut, Akira akan marah, sebetulnya Bik Nah takut bersama Akira. Tapi mengingat kebaikan Om Hars, ia tidak berani meminta pulang. Setiap tengah malam, selalu terdengar suara langkah kaki di tangga, tawa anak kecil, suara perempuan menangis.Mau tidak mau, sebelum majikannya meminta kembali, Bik Nah harus kuat menghadapi teror yang terjadi. Anehnya Akira tidak pernah mendengar apa yang dialami oleh Bik Nah.Waktu menunjukkan pukul 22.00, secepatnya Bik Nah meny
"Kurang ajar!" Reyhan menonjok tembok rumah sakit.Hatinya hancur saat Om Hars, memberitahukan bahwa selama ini Akira hidup dengan makhluk halus dan menduga bahwa istri Reyhan itu telah di jamah Genderuwo. Sesak dada Reyhan harus menerima kenyataan yang sangat pahit."Sabar Reyhan, Om memahami apa yang kamu rasakan. Tapi, kamu harus membantu dia untuk kembali sadar," ujar Om Hars, menghibur Reyhan."Lelaki mana yang tahan, membayangkan istrinya sudah di jamah orang lain Om!" seru Reyhan, bersungut-sungut."Iya, Om paham Rey, tenangkan dirimu dulu. Itu sebabnya Om bungkam sejak kemarin, karena tahu reaksi kamu akan seperti ini." Om Hars memijat tengkuk Reyhan, ia sedikit memijatnya supaya otak Reyhan rileks."Jika bukan kamu, siapa lagi yang mau menerima Akira? Jika tidak bukan untuk Akira, lakukanlah untuk Andara," jelas Om Hars.Reyhan terdiam tak berani membantah, apalagi sudah menyangkut anaknya. Om Hars tidak tahu, bahwa selama ini ia te
Hujan mengguyur Kota Galuh sejak beberapa hari, hampir tidak pernah berhenti dari siang sampai sore. Derasnya air yang mengguyur tidak menyurutkan niat kedua orang yang ingin bertemu.Adibah tengah menunggu Reyhan di sebuah cafe, di kawasan wisata Karang Resik. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia baru berani menghubungi pria yang pernah hadir dalam hidupnya. Hati Adibah sangat gelisah mengingat pertemuannya dengan Saga.Wanita cantik itu tidak pernah menyangka, bahwa Saga yang ia anggap sebagai pahlawan sekaligus sahabat dalam hidupnya. Ternyata hanya memanfaatkan persahabatan mereka. Keinginan Saga yang terdengar gila, belum mampu ia penuhi. Di sisi lain ancaman Saga juga tidak main-main tentang anaknya.Reyhan datang dengan keadaan basah kuyup, tanpa basa basi ia langsung duduk dihadapan Adibah."Ada apa? Setelah sekian tahun kamu baru menghubungiku lagi?" tanya Reyhan dengan nada kesal."Rey, kamu basah kuyup. Aku pesankan kopi ya?" ta