Suara sumbang seorang pemuda terdengar memekakkan, mengikuti alunan musik dari lubang-lubang radio yang tidak kalah kerasnya. Pemuda tersebut melajukan kendaraan beroda empat menuju Kota Bandung, tampak di google maps dari layar ponselnya, menempel erat pada dashboard mobil.
Dari mulai bangunan perkantoran, supermarket, hingga mall yang tinggi menjulang beralih menjadi bangunan-bangunan sedang dan kecil. Perjalanannya tak lama lagi berakhir setelah melewati pepohonan berjejer di sepanjang jalan. Hawa sejuk semakin terasa pada setiap inci kulitnya. Dia memilih mematikan AC agar tubuh tidak membeku. Suasana Bandung mulai terasa kental setelah melewati beberapa persimpangan jalan dan stasiun-stasiun di sana.
Pemuda tersebut memberhentikan kendaraannya tepat di sebuah rumah dengan halaman depan yang cukup luas. Ketika menengok google maps, lingkaran biru menunjukan lokasinya berada di Kecamatan Majalaya.
Dia menurunkan kaca mobil, sudah ada seorang pria menunggu di depan rumah, terdapat garasi mobil di samping kanan rumah. Pemuda itu segera memarkirkan mobil kesayangan di luar garasi berlantai semen setelah pagar besi digeser oleh pemiliknya.
Dia keluar dari mobil berlogo ‘T’. Pakaian yang digunakannya sangat sederhana sekali. Hanya kaus hitam bertuliskan 'Komunitas Pecinta Merpati' dengan sablon bergambar merpati tepat di tengah dada. Tak lupa celana pendek berwarna abu-abu di bawah lutut dengan saku di kedua sisinya. Dia menyisir rambut hitamnya kebelakang, sambil mematut diri di depan kaca mobil.
“Assalamu'alaikum!” seru si pemuda dengan senyum melintang, lalu melangkah lebar menghampiri pria berkaus putih dan bercelana hitam itu. “Bapak Dedeng Koswara, ‘kan?”
“Wa'alaikumussalam. Iya, ini saya, Dedeng. Asli,” jawab Pak Dedeng langsung menyalami pemuda di depannya dengan tersenyum ramah sekali.
“Ah, kirain salah alamat, hehe. Ini saya Regi Aerlangga, Pak. Yang mau beli merpati hias bapak,” jelas Regi, cengirannya terlihat jelas setelah mengusap dada. Lega.
“Oh, hayu atuh, Jang Regi. Urang ngopi hela,” ajak Pak Dedeng sambil merangkul Regi masuk ke rumahnya. [Oh, ayo, Nak Regi. Kita ngopi dulu].
“Engh, ngopi?”
“Iya, ngopi,” ujarnya seraya memperagakan tangan mengaduk kopi.
Regi menolak. Kedua tangannya terangkat dan menggeleng pelan. “Enggak, deh, Pak. Saya mau liat-liat merpatinya dulu, boleh?”
“Boleh-boleh. Kandangna sebelah sini,” jawabnya sembari mempersilakan Regi berjalan terlebih dahulu. Mereka melangkah beriringan menuju ke belakang rumah Pak Dedeng.
Kicauan merpati anakan sudah terdengar sejak tadi. Semakin nyaring ketika mereka sampai di sebuah kandang burung berbentuk rumah, berdinding kawat, dengan atap dari seng bercat putih. Banyak sekali jenis merpati di dalam, ada juga yang terbang keluar lewat pintu kayu—di dekat atap—bercat putih yang sengaja di buka oleh pemiliknya.
Sisi luar terdapat beberapa pohon tertanam. Dahan dan daunnya menutupi atap, membentuk kesan asri di sekitar kandang. Padahal arloji pada tangan menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit, yang seharusnya mentari menyorotkan hawa panas dari sinarnya. Namun, ini Bandung. Tetap terasa sejuk meski bayangan diri hanya terlihat seperempat dari badan.
Pak Dedeng membuka pintu, mempersilakan Regi masuk terlebih dahulu. “Maaf, ya, Jang. Sedikit kotor kandangna.”
“Enggak juga, Pak. Bersih kok di sini.”
Kondisi di dalam kandang benar-benar bersih sebenarnya—mungkin Pak Dedeng sekadar berbasa-basi. Lalu karena warna kandang dominan putih, jadi lebih enak di pandang. Regi menengok sisi kiri dan kanan kandang, terbentang meja panjang, di atasnya berjejer rumah burung layaknya kos-kosan berbentuk kotak. Dia langsung mengenali bahan dasar rumah burung, terbuat dari aluminium sehingga mudah untuk dibersihkan.
“Jadi, kalau Jang Regi lagi nyari indukan, ada di sebelah sini," ujar Pak Dedeng mengacu pada kotak di kanan, terhitung lima kotak dari depan, "kalau sebelah sana kebanyakan masih piyik[1] dan baru di lepas dari indukna. Jadi, suarana teh masih 'kikk kikk kikk' gitu.”
Regi hanya mengangguk-angguk saja sambil memicingkan mata. “Kalau merpati yang baru dijodohkan ada enggak, Pak?” tanyanya seraya mengapit jempol di dagu.”
“Ada, sebelah sini,” ujar Pak Dedeng beralih pada kotak sebelah kiri. Regi ikut memutar tubuh kemudian menunduk bersamaan dengan Pak Dedeng.
“Oh! Sepasang Merpati Show King!” seru Regi, matanya mengerjap, berbinar cerah ketika pintu kotak dibuka. Sedangkan sepasang merpati di dalam kotak perlahan mundur ke pojokan.
“Bapak menangkarkan merpati hias apa saja selain jenis ini?” tanya Regi setelah puas menatap merpati dengan bulunya yang putih bersih itu.
“Ada banyak, kalau di sini cuma ada 4 jenis. Termasuk yang ini, Lahore, Fantail, sama satu lagi Saxon Fairy Swallow.”
“Waduh, sangar-sangar, ya.” Dengan senyuman yang tidak pernah pudar, Regi menolak pinggang seraya berucap, “Saya boleh liat-liat yang lain 'kan, Pak?”
“Oh, boleh atuh. Silakan diliat-liat dulu, Jang.”
Mendengar persetujuan dari pemiliknya, Regi tersenyum lima jari, telapak tangan digosokkan sampai terasa hangat. Satu per satu rumah para merpati ia buka.
Pada rumah pertama, sepasang Merpati Show King tadi mundur kembali ke sudut. Warna bulunya sangat bersih dan seputih susu. Merpati jantan berdiri dengan dada membusung, sementara betinanya berlindung di balik si jantan. Pada sarang kayu berisi jerami, belum ada bekas retakan cangkang telur ataupun lelehan lendir dan air, menandakan bahwa mereka belum menjadi indukan.
“Benar-benar baru dijodohin ya. Cara breeding-nya gimana nih, Pak?” tanya Regi, tangannya berusaha menangkap si pejantan, namun lolos berkali-kali.
“Saya mah cuma pakek satu cara aja kalau di sini. Biarin aja indukna meloloh anakna sampe siap dipisahin. Kalau di penangkaran yang satuna saya pakek cara babuan juga,” jelas Pak Dedeng.
Regi mengangguk lagi, cukup paham dengan penjelasan Pak Dedeng, “Jadi selain di sini, bapak menangkarkan beberapa jenis merpati hias di tempat lain juga?”
“Uhun, Jang. Soalna kalau di dieu sadaya mah terlalu sempit kandangna.” [Iya, Nak. Soalnya kalau di sini semua terlalu sempit kandangnya.]
Untungnya Regi sedikit belajar tentang bahasa Sunda, sehingga dirinya cukup mengerti perkataan dari Pak Dedeng.
Regi kembali membuka rumah merpati. Kali ini, giliran Merpati Lahore yang terlihat begitu anggun. Corak hitam dari paruh dan pialnya membelah leher hingga punggung dan sayap, mirip seperti penguin. Tampak si betina sedang mengerami telur-telurnya dan membekur pelan agak terganggu. Sementara sang jantan berdiri di dekat betinanya, melirik-lirik waspada.
“Yang ini udah bertelor toh, Pak?”
“Iya, kalau yang itu baru kemarin bertelur.”
“Wah, keren!” seru Regi, melanjutkan kembali melihat-lihat yang lain.
Pada rumah burung ke tiga ada sepasang Merpati Fantail. Ciri yang paling menonjol yaitu pada ekor mereka yang menyerupai kipas.
Yang terakhir memiliki nama cukup panjang, yaitu Saxon Fairy Swallow. Sesuai dengan namanya 'peri', jenis merpati yang satu ini menang sangatlah menarik. Bagian kepala sampai ekor berwarna dasar putih. Sedangkan sayap dan bulu-bulu kaki berwarna lain—sesuai induknya. Pada kepalanya terdapat noktah warna—yang hanya memenuhi dahinya saja. Sementara kakinya terbungkus oleh bulu-bulu hias. Jika dirawat dan tidak banyak yang patah, kakinya akan terlihat seperti mengenakan sandal bulu.
Dari kejauhan terdengar kumandang azan asar, tidak terasa sudah selama ini Regi berada di kandang merpati, rasanya tidak ingin keluar.
“Saya mau salat dulu, ya, Jang. Istri saya lagi buat kopi, Jang Regi bisa duduk dulu di teras rumah,” jelas Pak Dedeng, memasukan kembali ponsel ke dalam saku celana setelah mengetik sesuatu pada layarnya.
“Oke, Pak. Siap!” Regi mengacungkan jempolnya dengan senyuman seperti biasa. Seketika netranya melirik rumah kotak berisi Merpati Show King setelah Pak Dedeng tak tampak keberadaannya.
Regi membuka lagi pintu seukuran rumah kotak itu. Tatapannya tajam dengan seringai aneh mencuat dari bibir. Sang merpati jantan tampak waswas, menatap Regi dengan mata bulatnya.
“Kalian akan kubeli sebentar lagi. Jadi, siap-siap, oke?”
Sang jantan merasakan aura aneh dari manusia di depannya. Itu sebabnya dari pertama melihat Regi, si pejantan refleks melindungi betinanya.
Bersambung...
________________________________________
Ket:
[1] Merpati anakan, masih belum lengkap lar-nya.
Di depan rumah Pak Dedeng, Regi menabur pakan burung dua kali. Seketika gerombolan merpati langsung menyambar dan menukik ke bawah, mematuk-matuk pakan yang sudah di tebar, suara bekur mereka terdengar kian rusuh. Seulas senyum terukir jelas pada bibirnya.Langkah terdengar dari belakang, Regi menoleh dan mendapati Pak Dedeng berjalan sembari membawa sangkar burung yang ditutup kain hitam.
Rombongan Bus Pariwisata bergerak dari arah Ibu Kota menuju Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Terdapat poster besar yang ditempel pada kedua sisi bus, bertuliskan SMA N 1 MAMETI. Setiap bus diberi nomor sesuai urutan dari kelas 11-A sampai 11-F. Kebanyakan siswa masih terlelap, hanya bus dari kelas 11-F saja yang terdengar bising. Kebisingan tersebut berasal dari beberapa siswa dan siswi di kursi belakang. Mereka menyanyikan banyak lagu dengan irama acakadut, tak berseni sama sekali.“Arghh! Ara! Kuping lo gak sakit apa? Ih, diem mulu!” protes Yuliana Latifa, teman sebangku Zaara Yulanda—Ara merupakan nama panggilan akrabnya. Yulia menarik-narik lengan Ara memaksanya bangkit dari duduk.
“Enghh, gak ... ada apa-apa kak ....” Kalimatnya tergantung di udara.Sekilas Yulia tampak menyinggung Ara, ia berbisik, “Namanya Alif, Alif.”“Ah, iya, Kak Alif, ehehe.” Ara tertawa garing, hanya dirinya yang tertawa. Kak Alif justru menghembuskan napas dalam. Sedangkan Yulia dan teman lainnya terlihat menahan tawa.***Sepanjang perjalanan mengitari Cagar Alam, Zaara berusaha keras untuk memperhatikan penjelasan Kak Alif. Ia mencatat semua hal yang penting-penting saja.Dari destinasi pertama, situs Batu Kalde atau Sapi Gumarang. Situs prasasti ini diyakini merupakan reruntuhan sebuah Candi Hindu Kuno. Pada candi terdapat sebuah arca berbentuk anak sapi, dipercaya sebagai jelmaan Raden Arya Sapi Gumarang. Kala itu beliau menjabat sebagai menteri pertanian Kerajaan Pananjung.Destinasi yang kedua sebenarnya
Manusia berkulit putih kemerahan itu berjalan menggunakan kedua kaki, terlihat tanpa busana. Kakinya penuh luka lecet akibat ranting beserta kerikil yang tersebar di tanah. Sementara kedua lengan menempel lekat pada badan.Saat itu, betisnya mulai berguncang hebat, ia tersungkur karena tidak sanggup menahan berat tubuh. Napas beradu cepat sejalan dengan dada yang naik turun. Garis rahang yang tegas menandakan bahwa ia seorang laki-laki. Rambutnya yang seputih susu kini lusuh dan lepek penuh keringat, sangat mirip dengan uban.Monyet-monyet ekor panjang mulai turun dari pohon-pohon besar untuk mengamati. Mereka berkomunikasi dengan sesama, namun tidak berani untuk mendekati si laki-laki. Saat matanya menjeling, para monyet berlarian ke segala arah lalu memanjat pohon-pohon di sekitar. Laki-laki itu memperhatikan cara berjalan dan kabur kumpulan monyet tadi.Laki-laki itu mulai menjejakkan kaki dengan tangan sebagai penopa
Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manus
Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s
Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama
“Alhamdulillah, Baik. Jang Regi sendiri?”“Saya juga baik, Pak. Bapak di sini mau nonton aja atau?”“Oh, kalau saya baru aja daftarin Merpati Wulung saya di sini. Jang Regi mau liat?”“Boleh.”Seperti tiga bulan lalu, mereka mengobrol dengan baik, bagaikan teman akrab yang baru bertemu setelah sekian lama. Rencana Regi berhasil, selama bercakap-cakap dengan Pak Dedeng ia tidak ditanyai lagi soal merpati yang sudah dijual pada seorang wanita cantik.Tak terasa kontes unggas berbulu cantik akan segera dimulai. Pak Dedeng meminta izin dengan sopan meskipun dirinya lebih tua dari Regi. Mereka akhirnya berpisah, sementara Regi segera menjauh dari kerumunan orang dan keluar dari ruangan in-door tersebut.“Gila! Untung si bapak gak sadar,” sesal Regi. Ia menggeleng sembari menghembuskan napas kasar. “Setidaknya gue bisa ngalihin topik, jadi aman,” gumamnya sambil berjalan mendatangi mo