Share

Chapter 4: Manusia (3)

“Enghh, gak ... ada apa-apa kak ....” Kalimatnya tergantung di udara.

Sekilas Yulia tampak menyinggung Ara, ia berbisik, “Namanya Alif, Alif.”

“Ah, iya, Kak Alif, ehehe.” Ara tertawa garing, hanya dirinya yang tertawa. Kak Alif justru menghembuskan napas dalam. Sedangkan Yulia dan teman lainnya terlihat menahan tawa.

***

Sepanjang perjalanan mengitari Cagar Alam, Zaara berusaha keras untuk memperhatikan penjelasan Kak Alif. Ia mencatat semua hal yang penting-penting saja.

Dari destinasi pertama, situs Batu Kalde atau Sapi Gumarang. Situs prasasti ini diyakini merupakan reruntuhan sebuah Candi Hindu Kuno. Pada candi terdapat sebuah arca berbentuk anak sapi, dipercaya sebagai jelmaan Raden Arya Sapi Gumarang. Kala itu beliau menjabat sebagai menteri pertanian Kerajaan Pananjung.

Destinasi yang kedua sebenarnya adalah Gua Jepang. Namun, karena berbenturan dengan waktu makan siang, akhirnya perjalanan diberhentikan dulu dan para murid segera menyebar pada bangku kayu yang sudah tersedia. Adapun yang duduk di tanah berumput beralaskan tikar.

Yulia dan Zaara, duduk di atas tikar, berkumpul dengan teman-teman dan Pak Amar. Mereka lekas menghabiskan bekal makan siang sembari bersenda-gurau bersama. Berbeda dengan Zaara, fokusnya teralihkan oleh hewan-hewan liar yang ada di Cagar Alam. Para monyet berkeliaran di sekitar jalan setapak. Namun, mereka tidak berani mendekati para wisatawan atau sekadar meminta makan. Pohon-pohon menjulang tinggi nan rimbun, terdengar berbagai jenis burung, bernyanyi dengan merdu. Jika tidak dibuat jalan setapak, secara alami Cagar Alam ini sudah seperti hutan sungguhan.

“Enak, ya, di sini, Yul. Seger dan gak ada polusi.” Zaara membuka tutup air mineral, senyumnya mengembang, terlihat bahagia sekali.

“Bener, di sini juga banyak temen kita, Ara.”

“Temen? Maksud lo?” tanya Ara, lalu meneguk air mineral tersebut tanpa melirik Yulia.

“Tuh! Di sana.” Yulia menunjuk monyet ekor panjang yang bergelantungan di pohon.

Ara tersedak. Air mineral keluar lewat hidung. Ia sampai terbatuk-batuk, daerah atas sinus perih dan air tumpah ruah membasahi ujung kausnya. Cepat-cepat Ara mengambil tisu di dalam tas, kemudian menggunakannya untuk mengelap wajah dan kaus. Ketika menoleh ke samping dengan wajah garang, Yulia sudah hilang dari peradaban.

Awas kamu, Yul. Aku akan balas. Liat aja, suara hati Ara. Botol air mineral ia remas sampai tidak berbentuk, kemudian membuangnya ke tong sampah yang ada di seberang jalan dengan langkah disentak-sentak.

***

Sekonyong-konyong, Yulia sudah berbaris rapi di antara para murid, berdiri dengan tas gendong, terlihat tanpa beban. Seringai muncul begitu saja dari bibir Ara, menatap punggung Yulia seperti sedang mengintai mangsa.

Selagi Pak Amar dan Kak Alif memberikan pengarahan, Ara lebih tertarik memikirkan cara membalas kejailan temannya. Tapi, sampai akhir Zaara tidak menemukan ide jail itu. Tanpa terasa, rombongan kelas 11-F pun sudah sampai di destinasi kedua, yang diganti menjadi Gua Parat, sebab lokasinya lebih dekat. Jika memaksakan ingin ke Gua Jepang dulu tidak masalah sebenarnya, hanya saja jadi tak efesien.

“Sebelum memasuki Gua Parat. Ada baiknya absen lagi, ya. Zaara ketuanya, kan? Kenapa tidak mengabsen dari tadi?” Pak Amar mengedarkan pandangan pada barisan para murid, mencari keberadaan Zaara. Maklum, beliau sudah lumayan berumur, sehingga penghilatannya mulai kabur.

“Bukan, Pak. Zaara wakil doang!” pekik Zaara.

Pak Amar memicingkan mata, rupanya Zaara berada di barisan paling belakang. Kebiasan anak itu, selalu telat dalam segala hal. “Sama saja, kamu yang harus menggantikan Randa,” tukas Pak Amar, tidak mau kalah.

“Tapi, Pak—”

“Udah! Cepat absen dulu. Nanti daftar adsensinya berikan ke bapak, ngerti?” Pak Amar sudah jengkel dengan kelakuan Zaara, itu sebabnya beliau tidak ingin mendengar bermacam alasan Zaara yang terkadang kurang masuk akal.

Sementara Ara, tampak sekali kekesalan pada wajah yang ditekuk, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya Ara hanya bisa meniup poni hingga berantakan dan membenarkannya lagi. Dia segera mengabsen teman-temannya dengan buku dan pulpen di tangan. Sesuai kata Pak Amar, Ara segera memberikan daftar absensi kelas 11-F, meski dengan wajah yang sangat malas, setidaknya Ara masih mau mengerjakan tugasnya.

“Oke, adsensi selesai. Kalian membawa senter, kan? Bapak sudah mewanti-wanti sebelum berangkat loh.”

Ara tertegun. Matanya berkedip dua kali, kemudian segera mengecek tas gendong. Tiba-tiba, Yulia sudah di samping Ara. Tubuhnya miring, ingin mengintip isi tas Ara. “Lo gak lupa bawa senter, kan?” tanya Yulia.

“Hehehe.”

Ah, sesuai perkiraan Yulia. Ara lupa membawa senter. Tampak dari wajahnya yang cengengesan.

Singkat cerita, Ara dipinjamkan senter oleh Yulia. Untungnya, Yulia membawa dua senter. Tentu saja, Yulia sangat mengerti sekali kelakuan teman sebangkunya itu. Dari awal mereka berkenalan di kelas 10-F, Ara bahkan tidak membawa peralatan menulis. Bagaimana bisa begitu? Padahal hari pertama sekolah. Yah, begitulah Zaara Yulanda dengan segala kekurangannya. Tapi, justru hal itu yang menarik darinya bagi Yulia.

Sementara, teman lainnya banyak yang menghindari Ara. Posisi Ara sebagai wakil ketua itu pun berkat Randa. Terima kasih untuk Randa, karena dia benar-benar menyelamatkan hidup Ara dari pembullyan. Jika tidak seperti itu, mungkin pengalaman buruk sejak SD dan SMP-nya akan terulang kembali. Kenapa Yulia bisa tahu? Ara yang bilang sendiri. Awalnya memang sulit membuat Ara terbuka, tapi lambat laun Yulia bisa mengerti mengapa kepribadian Ara agak tidak singkron satu dengan yang lainnya. Hal itu, akibat dari kenangan buruk di masa lalu.

“Ah! Apaan itu? Huhu, gelap banget!” rengek Ara bagai bocah ingusan yang takut akan kegelapan. Sejak masuk ke dalam gua, Ara terus memeluk lengan Yulia. Tak terlepas sekalipun dengan senternya yang disorotkan ke segala arah.

Yulia memicingkan mata, menoleh kearah batu yang disorot oleh Ara, kemudian mendengus lelah. “Itu cuma batu berbentuk paha ayam[2], Ara. Yaelah, gitu doang.”

“Paha ayam?” tanya Ara, rasa penasarannya mulai bangkit. 

“Iya, dengerin makanya penjelasan dari Kak Alif.”

Tanpa sepengetahuan Yulia—yang sedang fokus pada penjelasan Kak Arif mengenai batuan berbentuk aneh di dalam gua—Ara berjalan sendiri. Zaara menyinari batuan stalaktit dan stalagmit yang terlihat oleh mata. Senter difokuskan pada batu berbentuk kemaluan laki-laki. Batu kemaluan adalah batu yang berbentuk seperti kemaluan laki-laki dan perempuan. Mitosnya, orang yang belum memiliki pasangan ketika memegang batu berbentuk kelamin lawan jenis, bisa enteng jodoh. Agak menggelikan dan tak mau mendekat sebenarnya, tapi sesuatu yang bergerak di belakang batu membuat Ara semakin penasaran, lupa dengan ketakutannya tadi.

Mendadak senter terjatuh beserta badan yang terjengkang, pantatnya mencium tanah lembab. Bulu kuduk yang sedari tadi berdiri akibat suhu gua, makin meremang saja ketika netranya mendapati sesosok manusia berjongkok di samping batu. Sosok itu berkulit putih kemerahan dengan rambut lurus nan lusuh berwarna putih seperti uban pada kakek-kakek.

“Si-siapa?” tanya Ara dengan suara gemetarnya. Tiba-tiba makhluk itu melompat, membuat Ara seketika pingsan setelah berteriak kencang.

Bersambung...

_________________________________________

Ket:

[1] Umang-umang, ada pula yang menerjemahkannya sebagai ketam pertapa atau kepiting pertapa.

[2] Batuan yang berbentuk seperti paha ayam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status