Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.
Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.
Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.
Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.
“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Halo! Selamat malam, pagi, siang, sore! Kapanpun baca catatan ini, berarti kamu sudah resmi jadi bucinnya Theo. 😗 Jadi gimana episode kali ini menurut kalian? Udah kebayang gak gimana ending dari novel ini? Masih banyak loh rahasia yang belum terungkap. Kayaknya masih lama juga endingnya, hmm. Semoga kamu tetap suka baca novel ini sampai akhir. Jangan lupa komen dan kasih rating yang banyak biar novel ini ke up di halaman depan goodnovel ya!
Suara sumbang seorang pemuda terdengar memekakkan, mengikuti alunan musik dari lubang-lubang radio yang tidak kalah kerasnya. Pemuda tersebut melajukan kendaraan beroda empat menuju Kota Bandung, tampak digoogle mapsdari layar ponselnya, menempel erat padadashboardmobil.Dari mulai bangunan perkantoran, supermarket, hingga mall yang tinggi menjulang beralih menjadi bangunan-bangunan sedang dan kecil. Perjalanannya tak lama lagi berakhir setelah melewati pepohonan berjejer di sepanjang jalan. Hawa sejuk semakin terasa pada setiap inci kulitnya. Dia memilih mematikan AC agar tubuh tidak membeku. Suasana Bandung mulai terasa kental setelah melewati beberapa persimpangan jalan dan stasiun-stasiun di sana.
Di depan rumah Pak Dedeng, Regi menabur pakan burung dua kali. Seketika gerombolan merpati langsung menyambar dan menukik ke bawah, mematuk-matuk pakan yang sudah di tebar, suara bekur mereka terdengar kian rusuh. Seulas senyum terukir jelas pada bibirnya.Langkah terdengar dari belakang, Regi menoleh dan mendapati Pak Dedeng berjalan sembari membawa sangkar burung yang ditutup kain hitam.
Rombongan Bus Pariwisata bergerak dari arah Ibu Kota menuju Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Terdapat poster besar yang ditempel pada kedua sisi bus, bertuliskan SMA N 1 MAMETI. Setiap bus diberi nomor sesuai urutan dari kelas 11-A sampai 11-F. Kebanyakan siswa masih terlelap, hanya bus dari kelas 11-F saja yang terdengar bising. Kebisingan tersebut berasal dari beberapa siswa dan siswi di kursi belakang. Mereka menyanyikan banyak lagu dengan irama acakadut, tak berseni sama sekali.“Arghh! Ara! Kuping lo gak sakit apa? Ih, diem mulu!” protes Yuliana Latifa, teman sebangku Zaara Yulanda—Ara merupakan nama panggilan akrabnya. Yulia menarik-narik lengan Ara memaksanya bangkit dari duduk.
“Enghh, gak ... ada apa-apa kak ....” Kalimatnya tergantung di udara.Sekilas Yulia tampak menyinggung Ara, ia berbisik, “Namanya Alif, Alif.”“Ah, iya, Kak Alif, ehehe.” Ara tertawa garing, hanya dirinya yang tertawa. Kak Alif justru menghembuskan napas dalam. Sedangkan Yulia dan teman lainnya terlihat menahan tawa.***Sepanjang perjalanan mengitari Cagar Alam, Zaara berusaha keras untuk memperhatikan penjelasan Kak Alif. Ia mencatat semua hal yang penting-penting saja.Dari destinasi pertama, situs Batu Kalde atau Sapi Gumarang. Situs prasasti ini diyakini merupakan reruntuhan sebuah Candi Hindu Kuno. Pada candi terdapat sebuah arca berbentuk anak sapi, dipercaya sebagai jelmaan Raden Arya Sapi Gumarang. Kala itu beliau menjabat sebagai menteri pertanian Kerajaan Pananjung.Destinasi yang kedua sebenarnya
Manusia berkulit putih kemerahan itu berjalan menggunakan kedua kaki, terlihat tanpa busana. Kakinya penuh luka lecet akibat ranting beserta kerikil yang tersebar di tanah. Sementara kedua lengan menempel lekat pada badan.Saat itu, betisnya mulai berguncang hebat, ia tersungkur karena tidak sanggup menahan berat tubuh. Napas beradu cepat sejalan dengan dada yang naik turun. Garis rahang yang tegas menandakan bahwa ia seorang laki-laki. Rambutnya yang seputih susu kini lusuh dan lepek penuh keringat, sangat mirip dengan uban.Monyet-monyet ekor panjang mulai turun dari pohon-pohon besar untuk mengamati. Mereka berkomunikasi dengan sesama, namun tidak berani untuk mendekati si laki-laki. Saat matanya menjeling, para monyet berlarian ke segala arah lalu memanjat pohon-pohon di sekitar. Laki-laki itu memperhatikan cara berjalan dan kabur kumpulan monyet tadi.Laki-laki itu mulai menjejakkan kaki dengan tangan sebagai penopa
Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manus
Dini hari di Bandung sudah seperti dini hari di gunung. Hawa sejuk bagai es meleleh menelusup dari celah-celah pakaian. Nadya dan Nur tidur berdua di mobil, sedikit terusik dengan hawa dinginnya. Jaket hitam ukuran laki-laki membungkus tubuh Nadya bagai selimut. Sementara Nur tertutup jaket tebal yang baru ia beli kemarin malam di toko grosir dekat rest area.Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca berulang-ulang di sebelah Nur tidur, tapi tidak digubris. Nur masih memejamkan matanya erat, seperti tak ingin diganggu oleh siapapun.Namun, suara ketukan itu makin sering, kemudian muncul seseorang balik kaca mobil. “Nur ... bangun ... udah subuh ...,” bisiknya.Seketika Nur menegakkan badan dan menutup mulut saat menguap. Dirinya membuka pintu mobil kemudian meraih tas kecil berisi mukena padadashboardmobil. Kedua maniknya masih sulit terbuka meski sudah turun. Rupanya yang memanggil adalah Fadil, terlihat membawa s
Pukul enam lebih dua puluh menit, Nadya berangkat dari rumah menuju panti Sinar Asih mengunakan motor metic kesayangan. Ia memakai helm SNI dengan kecepatan normal sesuai peraturan berlalu lintas. Tatkala berpapasan dengan lampu merah, Nadya menghentikan laju motornya. Sembari menunggu kendaraan lain lewat, dirinya membuka kaca helm sebentar kemudian mengambil ponsel dari saku jaket hitam dan mengetik pesan pada layar datar di depannya. Jika ada yang bertanya mengapa Nadya mengenakan jaket laki-laki, ia hanya ingin mengembalikan jaket itu pada pemiliknya, Jaka. Bermalam di Rest Area Bandung membuat tubuhnya menggigil itulah sebabnya jaket Jaka ada padanya dan ia lupa mengembalikannya.Biasanya pada jam-jam segini Jaka sudah ada di panti bersama