Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.
Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.
Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk.
“Pa, boleh nggak kalau aku izin cuti selama satu minggu?” tanyanya berhari-hari silam.
“Memangnya kamu mau pergi? Liburan? Ke mana?”
“Bukan liburan. Cuma ke Bali, mau ikutan acara berjudul Millennium Festival,”
Lalu, Robin pun memberi penjelasan tentang acara tersebut. Bertempat di Denpasar, Millennium Festival itu memang menyedot perhatian banyak orang. Acara itu menelisik serba-serbi gaya hidup era milenium, lengkap dengan sisi positif dan negatifnya.
Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup diwakili oleh stan-stan gadget yang luar biasa banyaknya. Para perancang dari beberapa negara di Asia Tenggara pun tak mau kehilangan kesempatan untuk memperkenalkan produk terbarunya. Demikian juga merek-merek ternama di dunia fashion. Robin dan rekan-rekannya ikut bergabung di festival itu untuk memperkenalkan Fit dan Bugar, sebuah tempat rehabilitasi bagi para pecandu alkohol.
“Oke, asal kamu nggak membolos selama satu tahun ke depan,” komentar ayahnya, setengah bergurau. Izin pun turun tanpa kesulitan berarti.
“Makasih, Pa,” kata Robin penuh semangat. Beberapa setelahnya, dia pun bertolak ke Bali bersama beberapa teman dari Fit dan Bugar. Robin dan timnya mengemban tugas untuk memberi informasi sebanyak-banyaknya tentang tempat itu.
Di Denpasar, kehadiran stand Fit dan Bugar ternyata cukup menarik atensi para pengunjung. Mungkin karena tempat rehabilitasi itu dikeliling berbagai brand ternama yang berkecimpung di dunia teknologi. Fit dan Bugar menjadi menonjol karena bergelut di jalur yang berbeda dari yang lain. Menjadi istimewa karena menawarkan sesuatu yang masih tergolong jarang di Indonesia.
“Masalah alkohol memang udah jadi persoalan serius. Fit dan Bugar bisa dibilang sebagai salah satu bantuan yang diperlukan,” ucap salah satu pengunjung yang mampir ke stand itu. Pria yang tampaknya berumur awal empat puluhan itu baru saja mendengarkan penjelasan dari Robin. “Saya pernah terpuruk gara-gara alkohol. Jadi, paham sekali kalau tempat seperti Fit dan Bugar memang sangat dibutuhkan.”
Ucapan itu sangat benar. Itulah sebabnya Robin menjadi salah satu relawan di Fit dan Bugar. Dia memanfaatkan waktu luang untuk memberi bantuan semaksimal mungkin di tempat rehabilitasi tersebut. Untung ayahnya memberi dukungan dengan aktivitas Robin yang satu ini.
Robin baru saja berulang tahun ke-24. Sang ayah mewariskan tubuh jangkung setinggi 180 sentimeter. Dulu dia cenderung kurus. Namun sejak rutin berenang, tubuh Robin sekarang lebih proporsional. Cowok itu memiliki kulit putih dan hidung bangir yang didapat dari ibunya. Matanya agak sipit dengan dagu persegi yang memiliki belahan cukup mencolok. Rambut tebalnya dipotong pendek. Bibirnya agak kemerahan. Robin memiliki alis yang tebal.
“Dunia ini nggak adil. Apa salahku sampai kamu bisa sejangkung ini tapi juga cakep? Kenapa aku malah pendek dan jelek,” cerocos Moses, salah satu teman kuliahnya.
“Jangan bilang kalau kamu naksir aku, Mos! Untuk apa muji-muji kalau aku cakep? Bikin merinding aja,” gurau Robin sambil berpura-pura bergidik.
“Dipuji malah bikin fitnah,” keluh Moses. “Aku cuma merasa dunia ini nggak adil.”
Robin tak pernah merasa bahwa dirinya menawan secara fisik, meski tak cuma sekali dua dia mendengar penampilannya dipuji. Dia tak menganggap itu sebagai hal yang penting.
Mendadak, perut cowok itu berbunyi, meneriakkan permintaan untuk segera diisi. Robin mendesah. Di apartemennya, tidak ada stok makanan sama sekali. Dia terbiasa memesan makanan atau turun beberapa lantai dan memilih restoran yang diinginkan. Karena memasak bukanlah aktivitas favoritnya. Akan tetapi, saat ini rasanya dia sungguh malas meninggalkan apartemen karena matanya mulai mengantuk.
Robin sangat ingin terlelap karena semalaman dia kesulitan memejamkan mata. Akan tetapi, rasa lapar yang mengusik itu tampaknya tak bisa diabaikan. Dia cemas penyakit lambungnya akan kambuh jika nekat langsung tidur. Mau tak mau, pria muda itu beranjak dari tempat duduknya. Dia harus mengisi perut.
“Mulai besok, aku nggak boleh lupa nyiapin makanan di apartemen. Minimal roti. Supaya kalau kelaparan kayak begini, nggak perlu harus keluar atau nunggu pesanan diantar,” katanya pada diri sendiri.
Sebenarnya, itu cita-cita yang selalu diucapkan tapi tak pernah benar-benar dilaksanakan. Padahal, ayahnya sudah berkali-kali mengingatkan. Bahkan, jika sang ayah berkunjung, Robin dibawakan aneka bahan makanan. Bukan sekali dua dia kelaparan saat malam sudah larut dan terpaksa bertahan dengan perut kosong sampai pagi.
Robin akhirnya memilih untuk keluar sejenak unit yang ditinggalinya. Dia belum memutuskan untuk mencicipi makanan tertentu. Cowok itu menyambar dompet dan ponselnya yang terletak di atas meja. Lalu, bergegas meninggalkan apartemennya yang berada di lantai 31. Keluar dari unitnya, suasana begitu sepi. Robin berjalan sendirian menyusuri lorong.
Selama berada di dalam lift, Robin mulai menimbang-nimbang makanan apa yang akan disantapnya. Cowok itu turun di lantai tiga, tempat sejumlah rumah makan bernama mentereng berada. Dia hampir berbelok menuju restoran yang menyajikan makanan serba laut, saat sepasang kekasih tampak bersitegang.
Robin bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Dia tak pernah bersikap sok pahlawan untuk membela seorang cewek yang sedang adu mulut dengan pacarnya. Namun dia paling tidak tahan jika ada cowok yang bersikap keterlaluan dan cenderung kurang ajar. Mencekal lengan kiri pasangannya sambil memaki “jangan sok alim”, misalnya.
Robin sudah pernah melihat pertengkaran yang awalnya tampak sepele malah berakhir dengan peristiwa fatal. Dia tak mau lagi dihantui rasa penyesalan karena tidak melakukan apa-apa. Cukup satu kali saja dia mencicipi rasa sesal semacam itu. Tak akan ada yang kedua kali.
“Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur urusan kalian. Tapi kurasa sebaiknya kamu lepasin tangan pacarmu. Kalau terus mencengkeramnya kayak gitu, lengannya bakalan memar.” Robin berdiri di depan pasangan itu.
Si cowok menoleh dan menatap Robin dengan tajam. Seketika, Robin mengenali Eric Adityawardhana yang namanya pernah dituliskan dengan setumpuk puja-puji karena prestasinya di dunia tenis profesional. Meski begitu, Robin berusaha untuk bersikap biasa. Seolah wajah Eric tak dikenalnya.
“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah kar
Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa diri
“Kalau aku bohong, silakan Papa buang aku. Jangan akui sebagai anak. Jangan terima aku di rumah ini,” kata Robin lagi. “Aku nggak mau jadi anak yang gagal dan cuma bisa bikin kecewa Mama. Aku akan berubah,” ulangnya dengan penuh tekad.Lalu, dia menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai. Menangisi semua kesalahan dan kebodohannya. Ariel turun dari tepi ranjang, memeluk anaknya. Itulah kali pertama Robin merasakan dekapan hangat sang ayah.***Robin bergegas memasuki toko perhiasan berlabel Adiratna Maharani dengan langkah-langkah panjangnya. Kedua tangannya dipenuhi kantong-kantong plastik yang menggelembung. Mengenakan kemeja dan celana black jeans, penampilannya tampak santai. Satpam yang bertugas di pagi itu, Eko, buru-buru membukakan pintu.“Selamat pagi, Robin,” sapanya ramah dengan senyum lebar. “Kapan pulang?”“Kemarin sore,” balas Robin. &
Beberapa puluh menit sebelumnya.Vivian tidak pernah mengira “kencan” itu berjalan dan berakhir buruk. Setelah dia kembali dari toilet, gadis itu sengaja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk menarik kursi di depan Eric. Melihat apa yang dilakukannya, cowok itu menunjukkan ketidaksenangan.“Aku lebih suka duduk berhadapan sambil ngobrol. Kalau nggak ngeliat wajah lawan bicara, rasanya kok kurang enak,” argumen Vivian tadi saat Eric bertanya alasannya pindah.Sepanjang acara makan malam itu, Vivian merasa tidak nyaman berkali-kali. Eric tampaknya memutuskan untuk bersandiwara tak tanggung-tanggung. Menunjukkan bahwa hubungannya dengan Cynthia tak terganggu dengan gosip di luar sana.Bisa menebak apa yang dilakukan cowok itu? Eric membuka sepatu dan mengelus betis Vivian dengan punggung kakinya. Ketidaknyamanan membuat Vivian mengubah posisi duduknya hingga kaki Eric tak bisa menjangkaunya.“Tolong, nggak usah menyentuh
Vivian menahan diri agar tidak berteriak untuk meluapkan emosinya. Dia benar-benar merasa terhina karena kata-kata dan sikap Gideon barusan. Akan tetapi, dia tahu itu semua sia-sia saja. Gideon takkan berubah pikiran.Vivian masih dalam tahap mencerna semua kenyataan mengejutkan yang terbentang di depannya dengan baik. Dia benar-benar tak mengira jika Cynthia akan memecatnya begitu saja tanpa mau mendengarkan apa yang terjadi menurut versi Vivian.“Kalau memang….”“Gideon, aku mau ngomong bentar sama Vivian. Kamu nggak perlu berdiri di sini lagi,” sela Sally yang tiba-tiba muncul. Perempuan itu menarik lengan kiri Vivian dan mulai berjalan menuju teras. Vivian mengaduh pelan.“Kenapa? Apa aku megangnya terlalu kencang?” Sally menoleh dengan mimik kaget. Dia melepaskan tangannya.“Nggak,” bantah Vivian tanpa menjelaskan lebih jauh. Mereka sudah berada di teras, saling berdiri berhadapan. Vivian
“Ngapain sih kamu pindah ke Malaysia cuma untuk sekolah? Aku kan nggak punya temen curhat lagi. Kalau ada apa-apa, harus nelepon dulu. Buang-buang pulsa,” omel Vivian ketika menelepon Leona. Hampir tiga bulan silam, Leona memutuskan untuk menetap di Kuala Lumpur demi mendalami bidang keuangan. Vivian pun ditinggal sendiri.“Salahmu karena nggak mau ikut ke sini. Padahal kita kan bisa bersenang-senang berdua. Jauh dari Jakarta yang macet dan bising.”Vivian buru-buru protes. “Seolah KL sesepi kuburan.”Tawa Leona terdengar di seberang. Orang pertama yang dihubunginya setelah dipecat oleh Cynthia adalah sahabatnya. Vivian tiba di rumahnya menjelang pukul sepuluh malam. Dia cuma menyapa ayahnya yang masih menghadapi laptop di ruang kerjanya. Penghuni rumah yang lain sudah terlelap. Setelah itu, Vivian langsung menuju kamarnya dan menghubungi Leona. Dia beruntung karena sahabatnya belum terlelap.“Jadi, apa rencanamu
Kini, melihat apa yang terjadi pada Cynthia, Vivian merasa lega. Dia selamanya takkan sudi memacari cowok yang suka merendahkan dengan kata-kata dan menyiksa dengan tangannya. Semenawan apa pun. Apalagi jika cowok tersebut lebih suka semua tagihan dituntaskan oleh Vivian. Orang yang lebih mirip benalu takkan bisa menjadi sandaran.Esoknya, Vivian terbangun dengan satu fakta yang tak terbantahkan. Dipecat oleh Cynthia ternyata memengaruhi hidupnya. Bohong jika dia tidak merasa kecewa karena keputusan sang aktris. Apalagi Vivian sama sekali tidak merasa bersalah. Selain itu, setahun terakhir dia terbiasa dengan sejumlah rutinitas.Paginya selalu dibuka dengan memeriksa ponsel, mencari tahu jika ada tugas mendadak yang harus dikerjakan. Meski selama ini Sally selalu memberi daftar pekerjaan seminggu sebelumnya. Cuma, tidak jarang tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa Vivian mendapat tugas tertentu, misalnya.Vivian juga masih ingat bagaimana dia harus berdiet ketat sel
Para desainer Adiratna Maharani bekerja di lantai dua. Namun sejak awal Robin tidak pernah bergabung dengan yang lain. Itu karena Ariel memberikan tanggung jawab berbeda untuk putra bungsunya. Tak cuma wajib menyetor desain setiap bulannya, Robin juga harus ikut mengurusi bagian keuangan. Ayahnya ingin cowok itu belajar tentang banyak hal.“Nggak ada salahnya kalau kamu tahu banyak tentang Adiratna Maharani di luar masalah rancangan, kan? Supaya kamu lebih paham sampai ke hal-hal detail. Papa lebih nyaman andai bisa mengandalkanmu dan Angie,” beri tahu Ariel di suatu ketika.“Iya, Pa. Nggak masalah, kok! Justru ini jadi kesempatan supaya aku bisa belajar banyak,” sahut Robin.Selama ini Robin tidak merasa keberatan. Dirinya memang merasa harus menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan agar tidak sempat berkeinginan untuk mabuk lagi. Meski sudah tak pernah lagi menyentuh alkohol dalam kurun waktu sekitar enam tahun terakhir, tetap saja ada