Share

Fatal Attraction? [1]

Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.

Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.

Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk.

“Pa, boleh nggak kalau aku izin cuti selama satu minggu?” tanyanya berhari-hari silam.

“Memangnya kamu mau pergi? Liburan? Ke mana?”

“Bukan liburan. Cuma ke Bali, mau ikutan acara berjudul Millennium Festival,”

Lalu, Robin pun memberi penjelasan tentang acara tersebut. Bertempat di Denpasar, Millennium Festival itu memang menyedot perhatian banyak orang. Acara itu menelisik serba-serbi gaya hidup era milenium, lengkap dengan sisi positif dan negatifnya.

Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup diwakili oleh stan-stan gadget yang luar biasa banyaknya. Para perancang dari beberapa negara di Asia Tenggara pun tak mau kehilangan kesempatan untuk memperkenalkan produk terbarunya. Demikian juga merek-merek ternama di dunia fashion. Robin dan rekan-rekannya ikut bergabung di festival itu untuk memperkenalkan Fit dan Bugar, sebuah tempat rehabilitasi bagi para pecandu alkohol.

“Oke, asal kamu nggak membolos selama satu tahun ke depan,” komentar ayahnya, setengah bergurau. Izin pun turun tanpa kesulitan berarti.

“Makasih, Pa,” kata Robin penuh semangat. Beberapa setelahnya, dia pun bertolak ke Bali bersama beberapa teman dari Fit dan Bugar. Robin dan timnya mengemban tugas untuk memberi informasi sebanyak-banyaknya tentang tempat itu.

Di Denpasar, kehadiran stand Fit dan Bugar ternyata cukup menarik atensi para pengunjung. Mungkin karena tempat rehabilitasi itu dikeliling berbagai brand ternama yang berkecimpung di dunia teknologi. Fit dan Bugar menjadi menonjol karena bergelut di jalur yang  berbeda dari yang lain. Menjadi istimewa karena menawarkan sesuatu yang masih tergolong jarang di Indonesia.

“Masalah alkohol memang udah jadi persoalan serius. Fit dan Bugar bisa dibilang sebagai salah satu bantuan yang diperlukan,” ucap salah satu pengunjung yang mampir ke stand itu. Pria yang tampaknya berumur awal empat puluhan itu baru saja mendengarkan penjelasan dari Robin. “Saya pernah terpuruk gara-gara alkohol. Jadi, paham sekali kalau tempat seperti Fit dan Bugar memang sangat dibutuhkan.”

Ucapan itu sangat benar. Itulah sebabnya Robin menjadi salah satu relawan di Fit dan Bugar. Dia memanfaatkan waktu luang untuk memberi bantuan semaksimal mungkin di tempat rehabilitasi tersebut. Untung ayahnya memberi dukungan dengan aktivitas Robin yang satu ini.

Robin baru saja berulang tahun ke-24. Sang ayah mewariskan tubuh jangkung setinggi 180 sentimeter. Dulu dia cenderung kurus. Namun sejak rutin berenang, tubuh Robin sekarang lebih proporsional. Cowok itu memiliki kulit putih dan hidung bangir yang didapat dari ibunya. Matanya agak sipit dengan dagu persegi yang memiliki belahan cukup mencolok. Rambut tebalnya dipotong pendek. Bibirnya agak kemerahan. Robin memiliki alis yang tebal.

“Dunia ini nggak adil. Apa salahku sampai kamu bisa sejangkung ini tapi juga cakep? Kenapa aku malah pendek dan jelek,” cerocos Moses, salah satu teman kuliahnya.

“Jangan bilang kalau kamu naksir aku, Mos! Untuk apa muji-muji kalau aku cakep? Bikin merinding aja,” gurau Robin sambil berpura-pura bergidik.

“Dipuji malah bikin fitnah,” keluh Moses. “Aku cuma merasa dunia ini nggak adil.”

Robin tak pernah merasa bahwa dirinya menawan secara fisik, meski tak cuma sekali dua dia mendengar penampilannya dipuji. Dia tak menganggap itu sebagai hal yang penting.

Mendadak, perut cowok itu berbunyi, meneriakkan permintaan untuk segera diisi. Robin mendesah. Di apartemennya, tidak ada stok makanan sama sekali. Dia terbiasa memesan makanan atau turun beberapa lantai dan memilih restoran yang diinginkan. Karena memasak bukanlah aktivitas favoritnya. Akan tetapi, saat ini rasanya dia sungguh malas meninggalkan apartemen karena  matanya mulai mengantuk.

Robin sangat ingin terlelap karena semalaman dia kesulitan memejamkan mata. Akan tetapi, rasa lapar yang mengusik itu tampaknya tak bisa diabaikan. Dia cemas penyakit lambungnya akan kambuh jika nekat langsung tidur. Mau tak mau, pria muda itu beranjak dari tempat duduknya. Dia harus mengisi perut.

“Mulai besok, aku nggak boleh lupa nyiapin makanan di apartemen. Minimal roti. Supaya kalau kelaparan kayak begini, nggak perlu harus keluar atau nunggu pesanan diantar,” katanya pada diri sendiri.

Sebenarnya, itu cita-cita yang selalu diucapkan tapi tak pernah benar-benar dilaksanakan. Padahal, ayahnya sudah berkali-kali mengingatkan. Bahkan, jika sang ayah berkunjung, Robin dibawakan aneka bahan makanan. Bukan sekali dua dia kelaparan saat malam sudah larut dan terpaksa bertahan dengan perut kosong sampai pagi.

Robin akhirnya memilih untuk keluar sejenak unit yang ditinggalinya. Dia belum memutuskan untuk mencicipi makanan tertentu. Cowok itu menyambar dompet dan ponselnya yang terletak di atas meja. Lalu, bergegas meninggalkan apartemennya yang berada di lantai 31. Keluar dari unitnya, suasana begitu sepi. Robin berjalan sendirian menyusuri lorong.

Selama berada di dalam lift, Robin mulai menimbang-nimbang makanan apa yang akan disantapnya. Cowok itu turun di lantai tiga, tempat sejumlah rumah makan bernama mentereng berada. Dia hampir berbelok menuju restoran yang menyajikan makanan serba laut, saat sepasang kekasih tampak bersitegang.

Robin bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Dia tak pernah bersikap sok pahlawan untuk membela seorang cewek yang sedang adu mulut dengan pacarnya. Namun dia paling tidak tahan jika ada cowok yang bersikap keterlaluan dan cenderung kurang ajar. Mencekal lengan kiri pasangannya sambil memaki “jangan sok alim”, misalnya.

Robin sudah pernah melihat pertengkaran yang awalnya tampak sepele malah berakhir dengan peristiwa fatal. Dia tak mau lagi dihantui rasa penyesalan karena tidak melakukan apa-apa. Cukup satu kali saja dia mencicipi rasa sesal semacam itu. Tak akan ada yang kedua kali.

“Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur urusan kalian. Tapi kurasa sebaiknya kamu lepasin tangan pacarmu. Kalau terus mencengkeramnya kayak gitu, lengannya bakalan memar.” Robin berdiri di depan pasangan itu.

Si cowok menoleh dan menatap Robin dengan tajam. Seketika, Robin mengenali Eric Adityawardhana yang namanya pernah dituliskan dengan setumpuk puja-puji karena prestasinya di dunia tenis profesional. Meski begitu, Robin berusaha untuk bersikap biasa. Seolah wajah Eric tak dikenalnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status