Share

Ciuman pereda gelisah

"Apa?!" Anya mengulangi pertanyaannya lagi dengan mata membulat lebar, padahal pria itu telah mengatakannya dengan bahasa yang juga di mengerti oleh dirinya, namun ia tetap bertanya-tanya dalam kepalanya, apa maksudnya dengan menjadi mainannya?

"Mainan apa maksud mu?"

"Hum ... Itu sama seperti kekasih, jadi teman tidurku?"

"Ah!" Anya berteriak, "Tidak mau, itu dosa, tidak boleh tidur bersama kalo tidak ada ikatan pernikahan." Jelasnya dengan mata berapi-api.

Rey terlihat tampak berpikir, selama ini ia sama sekali tidak terpikir untuk menikah dengan wanita manapun, jika dia bisa tidur dengan banyak wanita, kenapa juga dia harus menikah, merelakan dirinya hanya setia dengan satu wanita saja, itu bukan gaya hidupnya, mungkin suatu saat, tapi bukan untuk saat ini. Ia ingin bersenang-senang menikmati kesuksesaanya, untuk apa harus tersiksa dalam sebuah ikatan. 

Itu pasti akan sangat merepotkan, ia jadi teringat akan kedua orang tuanya yang tinggal di tempat berbeda darinya, dua hari yang lalu baru saja mengunjunginya dan menyuruhnya untuk segera menikah, dan alasannya sangat tidak masuk akal di telinganya, mereka, kedua orang tuanya itu katanya ingin segera menimang cucu. Astaga ... Bahkan Rey sampai berpikir ingin mengadopsi anak dari panti asuhan saja untuk memenuhi keinginan mereka yang baginya tidak masuk akal, namun keduanya marah dan malah menuduh dirinyalah yang tidak masuk akal.

Melihat gadis di hadapannya itu, jelas Rey hanya ingin bersenang-senang saja dengannya, mana mungkin menikahinya. 

"Kau percaya dosa dan hal-hal konyol semacam itu?" Ejek Rey sinis.

"Tentu saja aku percaya!" Mata Anya terlihat berani, ia tidak takut jika harus berkata tentang kebenaran. "Apa kau tidak pernah di ajarkan oleh orang tuamu sebelumnya? Apa kau juga tidak pernah di ajarkan di sekolah? Atau jangan-jangan kau tak pernah sekolah ya?"

Mendengar itu wajah Rey berubah kesal, gadis itu benar-benar membuatnya sangat keki, kalo boleh jujur, sebenarnya sejak dari kecil ia tidak benar-benar di asuh oleh kedua orang tuanya, maksudnya, dia memang memiliki orang tua, namun keduanya adalah sama-sama pembisnis dan selalu sibuk sepanjang waktu, hingga Rey lebih sering di tinggal bersama pengasuhnya saja, yaitu bibi Eni. Jika ia memilih siapa yang paling ia sayangi antara kedua orang nya atau wanita tua yang telah mengurusnya itu, Rey pasti akan mengatakan kalo ia lebih menyayangi bibi Eni.

Dan soal pendidikan, benar Rey tidak pernah bersekolah di sekolah umum sejak ia kecil, orang tuanya lebih memilihkan pendidikan secara privat, karena dulu Rey fisiknya mudah lemah dan gampang pingsan, baru saat melanjutkan study nya di bidang perguruan tinggi, ia kuliah di tempat umum, itu lah mengapa kepribadiannya sangat angkuh. Mungkin sebagai bentuk perlindungan diri dari rasa ketidak nyamana yang dia terima selama ini.

"Kau! Kau benar-benar telah merusak mood ku!" Rey pergi menjauh dengan langkah besar-besar meninggalkan Anya yang terheran-heran dengan sikapnya. Mata pria itu terlihat sendu dan mengisyaratkan kepedihan yang mendalam, Anya bisa melihatnya sekilas sebelum pria itu benar-benar berlalu dari hadapannya.

Ada apa dengannya?

Apa dirinya salah bicara tadi?

Anya hanya bisa menerka-nerka dalam kepalanya. Namun di sisi lain ia juga merasa lega, karena  merasa dapat terlepas dari seekor pemangsa. Pria itu memiliki mood yang sangat buruk. Kadang matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan kesayangannya, dan kadang tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat pemarah. Anya berpikir apakah pria itu punya kelainan jiwa. Entahlah.

***

Malamnya, Anya tidak bisa tidur, bahkan di kamar super mewah itu yang seharusnya membuat siapapun bisa tidur nyenyak, namun tidak dengannya. Gadis itu begitu gelisah, memikirkan kata-kata pria bernama Rey itu tadi siang. Apa maksudnya dengan menjadi mainanan? Membayangkannya saja membuat dirinya bergidik ngeri. Apakah pria kaya selalu memiliki gaya hidup seperti itu? 

Benar-benar aneh!

Anya tak habis pikir, jika pria itu benar-benar memaksanya untuk melakukannya, dia harus bagaimana?

Anya merasa ketakutan dan memasang sikap waspada sepanjang malam, ia bahkan menarik selimut tebal hingga ke leher untuk menutupi dirinya sendiri, pandangannya tetap terjaga ke arah pintu, takut-takut kalo pria itu diam-diam akan menyelinap masuk ke dalam kamarnya saat ia lengah. Anya tidak mau itu terjadi. 

Rey memandang ke arah luar melalu jendela balkon ruang kerjanya. Pikirannya melayang jauh entah kemana? Padahal selama ini ia berpikir kalo dirinya adalah orang yang paling malas memikirkan orang lain, namun kali ini tidak. Setidaknya kata-kata gadis itu mengusik hatinya dan membuatnya jadi sedikit memikirkannya. 

Menyebalkan sekali!

Gumamnya dalam hati berkali-kali.

Tahu apa dia soal hidup, bicara sok menggurui seperti itu!

Lagi-lagi ia mengumpat dalam diam.

Hasratnya sebenarnya sangat besar pada gadis itu, tapi menghadapi penolakan adalah hal yang pantang juga baginya. Dia tidak akan menyentuh gadis manapun tanpa persetujuan. Dan gadis itu baru saja terang-terangan menolaknya tadi siang dengan alasan tak masuk akal.

Apa bagusnya sebuah pernikahan!

Dia berdecih, merasa kesal. Menikah hanya untuk melahirkan keturunan tapi akhirnya hanya untuk di telantarkan, bukankah itu sangat konyol.

Dadanya tiba-tiba terasa sakit, mengingat masa kecilnya membuatnya terasa lemah dan kesakitan.  

Aku tidak akan melakukan hal konyol semacam itu!

Kemudian ia berjalan ke sisi meja kerjanya dan meneguk kopi ekspresso nya yang sudah mulai mendingin. Pikirannya sangat kacau kali ini. Segelas kopi yang di teguk nya nyatanya tak mampu meredakan kecemasan yang tiba-tiba mendera, dia butuh obatnya. Ia beralih mencari sesuatu di dalam laci. Meraih botol kecil bewarna putih. Tapi sialnya isinya sudah kosong. Ia lupa untuk berkunjung ke psikiater sejak satu bulan yang lalu. Ia merasa sudah merasa baik-baik saja sejak satu bulan belakangan ini, namun semuanya menjadi menyesakkan dada saat gadis itu datang. 

Sial!

Dia membanting botol kosong itu di lantai. Tangannya mulai gemetar, sekuat tenaga ia mencoba mengendalikan dirinya dengan melakukan gaya buterflay yang di ajarkan oleh Kelly Psikiaternya. Tapi tidak berhasil. Rey mendengsu kesal, dengan gelisah ia mulai mencari ponselnya di atas meja dan segera menelpon seseorang. sungguh bukan kabar baik, ponselnya mati. Rey merasa sangat frustasi dan akhirnya ia berteriak kencang untuk melepaskan rasa sesak dalam dadanya. 

Anya yang berada di sebelah ruangannya mendengar teriakan itu dan langsung kembali terjaga saat dia hampir saja terlelap. Ia mendengar suara seorang pria meraung kesakitan. Awalnya ia merasa sangat takut dan menutup kedua telinganya. Suara itu begitu mengerikan sekaligus memilukan. 

Apa dia sedang butuh bantuan?

Hatinya yang lembut akhirnya tergerak mengalahkan rasa takutnya. Dengan langkah tergesa ia berjalan ke luar kamar dan terus mendekat ke arah suara. Sampailah langkahnya di depan pintu kayu besar bewarna coklat yang tidak tertutup rapat. Dari balik celah yang terbuka sedikit itu ia bisa melihat Rey sedang duduk meraung di bawah meja kerjanya. 

Dengan perasaan campur aduk, Anya memberanikan diri melangkah masuk untuk melihat keadaanya.

"Apa ada yang bisa ku bantu?" 

Mendengar suara, Rey mendongak dengan wajah berantakan. Anya tidak percaya dengan apa yang di liahtanya, ada apa dengan pria itu?

Ia melihat ada botol obat kosong di bawah kakinya. 

Ia memungutnya. Apa dia sakit?

Anya menatap ke arah Rey lagi dan berjalan mendekat.

"Kau kenapa?" Tanya nya khawatir.

Rey diam tak menjawab, ia malah terfokus pada bibir merah muda Anya yang tampak menggoda, ia seolah tak bisa menahan diri dan langsung menyambar bibir itu. 

Ajaib, seperti obat, perasaanya berangsur tenang setelah menyesap bibir gadis itu dalam-dalam. Awalnya Anya memberontak, ia terus mendorong tubuh Rey yang kekar, tapi sepertinya percuma, pria itu tak bergeming sedikit pun. 

Rey menggigit bibir bawah Anya agar gadis itu mau membuka mulut, setelahnya ia bisa menjelajahi setiap perkakas di dalamnya. Anya seolah hanyut, ia tak bisa mengelak gelayar aneh yang juga sudah mulai menjalari sekujur tubuhnya. Anya terdiam dan akhirnya memejamkan matanya perlahan. Membiarkan Rey memainkan lidahnya di dalam sana. 

Merasa kegelisahannya sudah mulai mereda, Rey menyudahi ciumannya. Ia tak mau berbuat lebih lagi, bukan karena ia tak menginginkannya, tapi ia tak ingin harga dirinya lebih turun lagi, gadis itu telah menolaknya, bagaimana bisa ia masih tetap menginginkannya. Itu pasti memalukan sekali.

"Pergilah, sebelum aku berbuat lebih!" Rey berkata sembari memalingkan muka.

Anya mengerti dan segera berlalu dari sana, meski tadi ia juga sangat menikmatinya, namun juga merasa  sangat takut jika ia sampai tak bisa mengendalikan diri.

Anya sampai di kamarnya kembali dan menutup pintunya rapat-rapat, sambil masih bersandar di daun pintu, ia menghela nafas panjang. Apa yang barusan terjadi?

Apa ini?

Dadanya berdenyut sangat kencang. Ia benar-benar tak mengerti.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status