Share

Bertengkar dengan Ayah

Ekor mata Rey melirik, seringai kecil menyembul di sudut bibirnya, merasa menang, gadis itu sebentar lagi pasti tunduk dengan perintahnya. 

"Ada apa?" Tannya nya pura-pura tak peduli.

"Apa kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu?" Anya balik bertanya dengan nada hati-hati, matanya membulat lebar, membuat Rey semakin gemas.

"Kalo iya kenapa?" Rey masih bicara dengan nada ketus. Rupanya ia senang sekali membuat gadis kecil itu ketakutan.

"Bisakah kau melupakan semuanya?"

"Maksudnya?" Hati Rey berbunga-bunga, akhirnya gadis itu menyerah juga.

"Maksudnya, bisakah aku mengganti rugi dengan cara lain?"

Sekarang Rey benar-benar merasa di atas angin. "Tentu saja."

"Kalo begitu, jadikan aku salah satu pelayan di rumah ini, tidak di gaji juga tidak apa-apa."

"Apa?" Rey merasa keki sekaligus kesal, rupanya dia terlalu terbuai oleh harapannya sendiri tadi. "Bukan itu yang ku tawarkan, tapi pilihannya adalah, kau mau tidur denganku tanpa paksaan atau memilih di penjara." Nada suaranya penuh penekanan, kesabarannya sudah hampir habis.

"Tapi tidur bersama tanpa menikah itu kan dosa? Aku tidak bisa, maaf." Anya tertunduk lesu. 

Rey merasa kenapa kelinci kecil itu begitu keras kepala? Bukankah itu mirip dengan dirinya. 

"Apa kau sungguh berharap aku menikahimu?" Ejeknya.

Anya terperangah dan segera ingin meralat perkataanya. "Bukan seperti itu, tapi kan..." Kalimatnya terputus, ia tak bisa menemukan kalimat yang tepat agar pria dewasa di hadapannya itu mau mengerti maksudnya.

"Ah begini saja, biar semua dosanya aku saja yang tanggung, jadi kau tak perlu memikirkannya lagi, bagaimana?" Orang ini benar-benar suka menghalakan segala cara untuk mencapai tujuannya. 

"Mana boleh bgitu?" Anya memekik.

"Kenapa tidak boleh?"

"Karena..." Anya kembali kebingungan untuk mencari jawaban yang tepat.

"Ah... Sudahlah, kau terlalu bertele-tele, lebih baik aku telepon polisi sekarang juga!" Gertak Rey lagi tak sabar.

Anya yang merasa terdesak, tak bisa berpikir jernih lagi. "Baiklah, aku setuju!" Ucapnya dengan bibir gemetar.

Sekujur tubuhnya bahkan kini sudah mendingin, ia tak yakin dengan apa yang baru saja di ucapkannya tadi.

Sedangkan Rey akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan.

Tangan Anya bergerak membuka kancing piyamanya satu persatu dengan tangis yang tertahan di dada. "Lakukanlah!" ujarnya pasrah.

Rey yang tak bisa menahan hasratnya lagi pun mendekat, ia membantu Anya melepas piyamanya, Anya merasa sangat malu hingga memalingkan muka. 

Rey mendorongnya perlahan agar gadis itu  tiduran di atas kasur, ia memposisikan dirinya sendiri di atas gadis itu dan mulai mencumbuinya. Ia membuat beberapa tanda merah di bagian leher gadis itu, di saat yang bersamaan air mata Anya mengalir. Ia merasa tak rela tubuhnya di sentuh. 

Rey mendongak untuk melihatnya, cairan bening yang mengalir deras di pipi gadis itu akhirnya membuatnya merasa iba. Entah kenapa dadanya tiba-tiba merasa sakit dan hasratnya tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu kalo kau belum siap." Ujar Rey sambil bangkit dari atas tubuh gadis itu. Ia menghela nafas panjang dan menutupi tubuh Anya dengan selimut.

"Berpakaian lah, aku tunggu kau di meja makan." Perintahnya lagi sebelum benar-benar berlalu dari sana.

Anya bankit duduk sambil memandangi punggung Rey yang mulai menjauh dan menghilang di balik pintu. "Ternyata dia masih punya hati," Gumamnya lirih, ia pun menghembuskan nafas lega. 

***

Rey tidak pernah menduga, orang tua nya kembali lagi untuk mengunjunginya. Bagi Rey itu adalah masalah, pasti mereka datang hanya untuk membujuknya agar mau segera menikah. 

"Sayang, apa kabarmu hari ini?" Ibunya mencoba berbasa-baai sesaat sudah berada di meja makan menemui anak tunggalnya. 

"Apa kau sudah mulia memikirkan permintaan kami?" Berbeda dari istrinya, ayahnya malah senang berkata terus terang. 

"Sudah ku duga, kalian datang hanya untuk ini." Dengus Rey kesal.

"Memangnya kenapa? Apa ada masalah?" Pria paruh baya yang merupakan ayahnya itu rupanya gampang sekali tersulut emosinya.

"Ah... Suamiku, kau tidak boleh begitu padanya, anak kita sudah dewasa, harus bisa bicara baik-baik padanya." Nyonya Ana mencoba memperingatkan suaminya sembari mengelus punggungnya agar emosinya yang tiba-tiba meledak bisa sedikit mereda.

Hubungan Rey dan Ayahnya memang kurang baik sudah sejak lama, bahkan sejak Rey masih kanak-kanak, Tuan Han begitu keras dan terkesan selalu memaksakan kehendak, hingga membuat Rey tanpa sadar membencinya, karena pria tua itu telah membuatnya memiliki kepribadian buruk seperti sekarang ini.

"Kenapa kau selalu saja begini? Kau pikir aku boneka yang bisa kau perlakukan seenaknya, mana boleh kau seperti ini terus padaku!" Rey benar-benar sudah tidak tahan lagi, selama ini dia diam dan menurut karena ia merasa lemah, tapi tidak untuk kali ini. Rey sudah bersusah payah menjadi berhasil di tengah rasa sakitnya, ia tidak suka jika seseorang memperlakukannya dengan semena-mena seperti itu, sekalipun pun itu ayahnya sendiri.

"Apa kau bilang! Sudah merasa hebat kau rupanya sekarang!" Tuan Han kembali kalap. Matanya mendelik ke arah Rey dengan nafas yang memburu, sedangkan Rey menatapnya balik dengan tatapan berani.

"Hei... Sudah, sudah, kenapa kalian malah bertengkar?" Nyonya Ana berusaha menengahi, "Rey, mana boleh berkata kasar seperti itu pada ayahmu sendiri? Bagaimanapun dia itu ayahmu." Jelasnya lagi dengan lembut.

"Dia bukan ayahku." Sahut Rey dingin. 

Tuan Han tampak terperangah, "Dasar anak tidak tahu diri, mentang-mentang sekarang kau sudah memiliki segalanya, kau jadi anak durhaka, memangnya siapa yang membiayai pebdidikanmu selama ini sebelum kau sukses seperti sekarang ini, hah?!" Sergahnya bertambah kalap.

"Jadi kau ingin aku membalas Budi begitu? Baik lah berapa banyak uang yang harus ku bayar padamu?" 

"Rey...!" Tegur nyonya Ana miris.

"Kau... Dasar kau anak durhaka!" Umpat Tuan Han sambil memegangi sebelah dadanya yang mulai terasa sakit, ia memilki penyakit jantung, dan seharusnya ia tak boleh banyak marah ataupun stress.

"Kenapa?" Rey tersenyum miris dengan mata yang berubah sendu. "Selama ini ayah kan yang selalu mengajarkan ku untuk bersikap seperti ini, tanpa kasih sayang." Suara Rey seperti tercekat di tenggorokan, hatinya terasa perih jika harus membuka semua file luka lama yang ia simpan untuk dirinya sendiri.

Dulu, ayahnya sering memperlakukannya dengan kasar, jika ia melakukan kesalahan, pria itu tidak segan-segan memberi hukuman dengan mengurungnya di dalam gudang yang gelap, bahkan Rey tidak pernah ingat, kapan terkahir kali pria tua itu memeluknya atau sekedar membelainya dengan kelembutan dan kasih sayang. Rey sama sekali tak punya ingatan itu di kepalanya, yang ia ingat, ayahnya adalah seorang yang arogant dan suka memaksakan kehendak.

Tuan Han tak bisa menahan rasa sakit di sebelah dadanya dan akhirnya jatuh terduduk, istrinya dengan panik segera mencari obat yang biasa di minum suaminya di dalam tasnya. Ia pun segera menyodorkan pada suaminya setelah menemukannya.

Pria tua itu mencoba mengatur nafasnya dan keadaanya berangsur kembali membaik. 

"Sudah ku bilang, tahan emosimu, putra kita sudah dewasa, tidak seharusnya kau sekeras itu padanya." Ujar Nyonya Ana sembari mengusap-ngusap dada suaminya.

"Tapi, apa dia pantas berucap pada kita yang sudah susah payah membesarkannya?" 

Cih....

Rey langsung berdecih dan tersenyum mengejek, "apa ayah bilang? Membesarkan dengan susah payah? Ayah hanya membesarkanku dengan uang ayah, tapi tidak dengan kasih sayang, jadi cukup wajar kan kalo aku begini?" Rey sebenarnya pria berhati lembut, namun karena terlalu banyak rasa sakit yang ia terima selama ini, ia pun tumbuh menjadi seorang yang sangat keras kepala dan terlihat kejam saat bicara.

BERSAMBUNG. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vick Det
menjijikan ceritanya azas manfaat .... maaf aq delet dr daftar pustaka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status