Share

KAZUMI

"Mas ... Mas Ardi! Bangun, Mas!"

Lazuarrdi mengerjapkan mata hingga beberapa kali. Penglihatannya menangkap sebuah bayangan yang masih samar. Sampai dia benar-benar tersadar dan menyadari siapa yang berada di dekatnya.

"Satriyo? Kamu ... Satriyo 'kan?"

"Iya, Mas. Ini aku Satriyo."

Dia menyodorkan sebotol air mineral.

"Minumlah dulu, Mas!"

Walau di dalam mobil memakai AC, akan tetapi wajah dan tubuh Lazuarrdi benar-benar berkeringat. Dia mencekal lengan Satriyo dan menatap tajam ke arahnya.

"Di mana kita sekarang?"

"Masih tersesat, Mas. Ini kita mau turun."

"A-pa kamu lihat wanita itu lagi?"

Satriyo menggeleng.

"Bukannya kamu tadi menunjuk arah depan dan melihat wanita itu?"

Untuk yang kedua kalinya Satriyo menggeleng.

"Ja-jadi--"

"Saat mobil tadi berbelok. Mas Ardi bilang melihat bayangan hitam melintasi mobil kita. Dan setelahnya Mas Ardi diam kayak patung."

"Kamu tak melihat apa pun?"

"Sama sekali saya tak melihat apa-apa, Mas."

"Haaahhh!"

Lazuarrdi menghela napas panjang dan dalam. Lalu menyandarkan tubuhnya. Sembari memijit keningnya yang terasa pening.

"Sebaiknya kita jalan sekarang!"

"Iya, Mas. Ini akan kembali turun."

Mobil pun mulai bergerak perlahan. Menyusuri jalanan yang gelap. Dan mereka kembali berada di tengah pertigaan. Sengaja Satriyo menghentikan mobilnya lagi di sini.

"Sekarang kita ke mana, Mas?"

"Apa kamu benar-benar lupa, Sat?"

"Iya, Mas. Entahlah?"

"Benar-benar kamu ini bikin kepalaku makin puyeng. Tau enggak?"

Satriyo tak berani menjawab. Dia hanya menundukkan kepala.

"Kita turun lagi. Setelah ada perempemtana itu kita ambil kanan."

"Ba-baik, Mas."

Setelah mengikuti jalan yang dikatakan Lazuarrdi. Mereka mulai memasuki jalan beraspal yang lebih sempit. Hanya ada satu, dua penerangan dari lampu bohlam kemerahan.

"Itu gapuranya, Sat."

"Oh, iya Mas. Bener ini jalannya. Kok bisa aku tadi ambil yang ke atas?"

Satriyo geleng-geleng sendiri. Seperti menyesali kesalahannya.

Kanan kiri jalan terbentang hamparan sawah yang luas. Sepanjang mata memandang hanya terdapat satu dua lampu dari rumah warga penduduk desa. Rumah mereka pun berjarak cukup jauh. Antara satu dengan yang lain.

Hingga akhirnya jalanan sedikit menurun. Dari atas terlihat samar jembatan yang panjang. Hanya cukup dilewati satu mobil. Jembatan ini pun terlihat kokoh.

Di sebelah kiri jalan, tepat di ujung masuk jembatan. Terdapat sebuah pohon beringin yang tak terlalu tinggi. Akan tetap melebar ke samping kiri dan kanan. Dengan dedaunan yang sangat lebat, begitu pula akar ranting yang menjuntai.

Tepat di sebelah pohon beringin, terdapat batu yang sangat besar. Entah batu berasal dari mana?

Kata penduduk sekitar, di atas batu itu sering terlihat seorang putri. Yang seakan sedang menari. Pakaiannya lengkap bak putri keraton.

"Sepi sekali, Mas."

Suara Satriyo memecah keheningan malam.

"Udah jam dua ini, Sat. Ya wajarlah sepi."

"Saya kalau melewati jembatan dan pohon beringin itu, rada serem."

"Banyak doa aja."

Mobil mulai memasuki jebatan kecil itu. Suara debur arus sungai terdengar sangat kencang. Bahkan suaranya sampai menembus ke dalam mobil.

Setelah melewati jembatan. Mobil kembali menyusuri jalan yang kembali menanjak. Di sekitar sini rumah warga mulai berhimpitan. Tak lama, mobil memasuki sebuah halaman yang sangat luas.

Satriyo memarkir mobil di halaman samping rumah. Lazuarrdi pun merasa lega sudah sampai di rumah ini lagi. Sejenak dia berdiri terpaku memerhatikan setiap sudut rumah.

Bangunannya masih terlihat sangat kokoh. Dengan beberapa pilar cukup besar di bagian teras. Terbuat dari kayu jati, menyangga rumah itu dengan sangat menawan. Menambah kesan artistik rumah kakek dan nenek Lazuarrdi.

Tak berapa lama, terdengar suara pintu yang hendak dibuka.

Klek!

Derit pintu mulai terdengar.

Kriiiiiet!

"Kalian toh? Aku kira enggak jadi datang."

Lazuarrdi langsung meraih tangan sang nenek dan menciumnya.

"Kalian cuman berdua saja?"

"Iya, Eyang Uti."

"Masuklah kalau begitu."

Mereka lantas mengikuti langkah sang nenek. Lazuarrdi melempar pandangan ke semua arah. Dia menyapu satu persatu setiap isi rumah.

"Eyang yang nemani siapa?"

"Ada yang jagain. Bapakmu toh yang kasih duit orangnya."

Wanita tua yang hanya memakai kemben dan jarik motif Truntum. Berjalan lamban dan sedikit membungkuk. Dia menunjukkan dua kamar yang bisa dipakai Lazuarrdi dan Satriyo.

"Ini kamar kamu. Ardi. Yang satu itu, untuk sopir kamu."

"Iya, Eyang."

Wanita itu pun meninggalkan mereka. Dia berjalan menuju sebuah kamar yang berada paling belakang sendiri, dekat sentong tengah (ruang kamar). Sewaktu sang kakek masih hidup. Sentong tengah sering dipergunakan sebagai tempat tidur di siang hari. Tak ada seorang pun yang berani masuk. Termasuk anak-anaknya.

"Marniiii! Mas Ardi sudah datang sama sopirnya iki loh! Buatkan minuman," teriak Eyang Sulasih parau.

"Iya, Mbah Ibu."

Lazuarrdi langsung masuk ke kamar yang ditunjukkan oleh sang nenek. Sejenak dia duduk di pinggiran ranjang. Lalu mengganti pakaian dengan kaos dan celana pendek.

"Baiknya aku menemui Eyang."

Dia pun berjalan keluar kamar. Tepat di seberang kamarnya, kamar sang nenek.

Tok tok tok!

"Apa Eyang tidur?"

"Ora (tidak), Ardi. Masuklah!"

Pintu terbuka perlahan. Dia melihat sang nenek yang sedang menyisir rambutnya yang memutih. Sepanjang pinggang. Tangannya menepuk kasur, dengan pandangan yang mengarah pada cucunya.

"Kamu kok datangnya malam sekali toh?"

"Ma-maaf kan Ardi, Eyang. Saya juga tak tahu, malam ini tadi kok banyak sekali kejadian aneh."

"Aneh?"

Lelaki muda dan tampan itu mengangguk.

"Kenapa sejak Ardi menerima warisan pedang samurai itu, selalu dihantui seorang wanita?"

Tatap sayu kedua mata sang nenek, tak lepas dari wajah Lazuarrdi. Tergurat keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. Sepertinya wanita tua ini, mengetahui sesuatu hal.

"Kenapa Eyang memandang saya aneh seperti ini?"

Sulasih menggeleng pelan.

"Aku bener-bener kaget. Saat kamu bilang tadi."

"Tapi, kagetnya karena apa Eyang? Pasti ada alasannya 'kan?"

"Kakek kamu mendapatkan pedang itu, dari seorang temannya. Waktu itu kakek kamu masih muda. Mungkin hampir seumuran kamu. Tiga puluhan, tapi Kakek sudah menikah sama aku."

"Kenapa teman Kakek memberikan pedang ini?"

"Sampai sekarang pun, Kakek kamu tak pernah beritahukan alasannya kenapa? Bahkan pernah aku paksa untuk bercerita. Tetap saja Kakek kamu diam sejuta bahasa."

Sulasih menoleh pada cucunya. Seraya mengernyit, lalu mengusap punggung cucunya.

"Apa kamu diganggu?"

"Eyang tau?"

"Apakah seorang wanita?"

Kali ini Lazuarrdi yakin, kalau neneknya mengetahui suatu hal yang penting. Lazuarrdi menarik telapak tangan Sulasih, lalu menggenggam erat.

"Katakan Eyang. Pedang samurai itu milik siapa? Atau mungkin, Kakek pernah mengalami hal yang sama?"

"Soal siapa pemilik pedang itu, Eyang juga enggak tau. Hanya saja pernah Kakek kamu sekilas bercerita. Perkenalan dia dengan seorang wanita Jepang. Kalau tak salah namanya Kazumi."

"Kazumi?"

Kali ini dahi Lazuarrdi benar-benar berkerut. Dia merasa kenal dan sangat akrab dengan nama Kazumi.

"Kazumi, Eyang? Wanita berpakaian kimono khas Jepang?" ulang Lazuarrdi.

Wanita tua itu mengangguk.

"Iya, baju wanita Nipon. Apa dia pernah mendatangi kamu, Ardi?"

"Pernah, Eyang. Tapi, aku tak tahu nama dia? Kazumi atau bukan."

"A-pa, dengan ... menenteng kepalanya?"

***

Follow Ig Raifiza_lina, F* : Raifiza Lina.

Ikuti cerita yang lain Kuku Bu Sapto.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status