Share

SEBUAH BAYANGAN

Wanita tua itu mengangguk.

"Iya, baju wanita Nipon. Apa dia pernah mendatangi kamu, Ardi?"

"Pernah, Eyang. Tapi, aku tak tahu nama dia? Kazumi atau bukan."

"A-pa, dengan ... menenteng kepalanya?" Suara Sulasih terdengar lirih. Bahkan Lazuarrdi harus mendekatkan telinganya di bibir sang nenek.

"Baru saja Ardi melihat dia Eyang. Sewaktu perjalanan ke rumah nenek. Makanya sampai saya kemalaman."

"Kamu tersesat juga?"

"Eyang kok bisa tahu?"

Wanita tua itu, menghela napas panjang. Seperti ada beban yang ingin dia luapkan semua. Lalu Sulasih merebahkan tubuhnya.

"Apa pedang samurai itu ingin kamu kembalikan lagi ke sini?"

"Kalau Eyang memperbolehkan."

"Haaaahhh! Kalau kau ingin Eyang segera mati. Taruhlah lagi di sini."

"Apa maksud Eyang bicara seperti ini?"

"Tidurlah, Ardi! Besok pagi kita bicara lagi."

Sepintas dia melihat pada tubuh sang nenek yang tidur meringkuk membelakangi. Lazuarrdi pun menyelimuti tubuh tuanya.

'Pasti ada sesuatu yang masih menjadi sebuah rahasia. Tapi, apa?'

Lazuarrdi keluar kamar. Di sebuah meja kecil sudah tersedia teh hangat, jahe dan juga kopi susu. Tiga macam jenis minuman hangat telah tersedia.

Dia melihat seorang wanita setengah baya, berdiri tak jauh dari kamarnya. Lazuarrdi pun berjalan mendekat.

"Mbak, kalau mau tidur silakan!"

"Saya tunggu minumannya selesai."

"Tak perlu sampai seperti itu, Mbak. Tidur saja. Biar besok pagi Mbak bersihkan."

"Nanti, Mbah Ibu bisa marah."

Lazuarrdi tersenyum lebar.

"Tak akan, Mbak. Percaya sama saya."

Wanita muda itu akhirnya meninggalkan Lazuarrdi. Dia pun masuk kamar. Sejenak Lazuarrdi menghela napas panjang. Lalu berjalan menuju kamar Satriyo.

Tok tok tok!

"Satriyo!"

"Iya, Mas."

Tak berapa lama. Pintu terbuka lebar.

"Ada apa, Mas?"

"Minumlah! Sudah dibuatkan minuman hangat."

"Makasih, Mas Ardi. Mas sendiri kok belum tidur?"

Dia menggeleng. Sembari berjalan menuju meja kecil yang berada di ruang tengah. Keduanya duduk di kursi yang berada tepat di tengah ruangan.

"Ini minuman kok banyak, Mas?"

"Tak tahu juga aku. Kok bisa bikin sebanyak ini."

Setelah meminum kopi susu. Lazuarrdi mengajak Satriyo mengambil pedang samurai. Untuk dikembalikan ke tempat semula. Dia sudah tak ingin dihantui lagi. Terutama oleh perempuan Jepang itu.

Mereka berdua keluar melewati pintu samping. Sebelum sampai. Alarm mobil tiba-tiba berbunyi nyaring. Mengejutkan mereka.

"Matikan, Sat!"

"Sudah, Mas. Tapi, tetap tak mau mati juga!"

Buru-buru mereka berdua berjalan menuju halaman samping rumah. Saat langkah mereka sudah semakin dekat. Alarm itu tiba-tiba mati.

"Aneh," bisik Lazuarrdi keheranan.

"Pedangnya jadi dibawa masuk, Mas?"

"Iya," jawab Lazuarrdi, tatap matanya berpendar mengitari sekitar.

Satriyo berjalan mendahului membawa pedang samurai itu. Lazuarrdi mengikuti dari arah belakang.

"Diletakkan di mana Mas?"

"Di tembok belakang di atas cermin bingkai marmer, Sat."

Setelah meletakkan pedang itu. Satriyo berpamitan hendak tidur. Lazuarrdi hanya mengangguk. Dia tertarik memerhatikan cermin dengan ukiran indah di setiap sisi. Beralas marmer putih, berpadu ukiran kayu jati.

Cermin yang sudah berumur puluhan tahun itu sedikit menguning. Tepat dari pantulan di dalamnya. Lazuarrdi melihat kain korden yang bergerak-gerak dari arah sentong tengah.

Di pintu masuk sentong (ruang kamar) terdapat hiasan dari kayu jati penuh dari ujung kiri hingga kanan, sepanjang lebar kamar. Tepat di tengahnya diberikan kain korden. Tak ada penutup lain.

Entah mengapa, lelaki tampan dengan tubuh yang jangkung dan atletis ini. Tertarik untuk mendekat. Dia menyibak kain korden. Melongok ke dalam. Hanya terlihat sebuah ranjang, satu lemari pakaian. Satu meja kecil, dengan dua kursi di samping kiri dan kanan.

Lampu model kuno klasik, menggantung di tengah langit kamar. Baru kali ini, Lazuarrdi bisa melihat dengan leluasa. Selama ini, mereka para orang tua pasti melarang siapa pun yanga akan memasuki sentong tengah. Hanya sang kakek, yang selalu menempatinya.

"Padahal juga tak ada apa-apa. Kenapa dulu Mama selalu marah, kalau aku masuk sini?"

Langkah kaki mulai menapaki setiap jengkal sentong ini. Walau tak ditempati, sentong tengah terlihat sangat bersih.

"Apa ini?" Raut wajahnya terlihat penasaran. Dahi Lazuarrdi sampai berkerut tegas. Dia pun berjongkok.

Lazuarrdi melihat sebuah kotak dengan bagian atas penutupnya berbentuk oval. Terbuat dari besi baja. Terdapat ukiran bergambar matahari. Lazuarrdi mengusap perlahan.

Saat mencoba membukanya. Dia tampak kesulitan. Seperti terkunci rapat dari dalam.

"Kira-kira apa ya isinya?"

Lazuarrdi mengetuk bagian atas.

Teng teng!

"Hemmm, sepertinya isi dalam kotak ini tak kosong. Tapi, apa ya?"

Sejenak dia terdiam. Pandangannya sama sekali tak lepas dari kotak, yang bentuknya seperti di sebuah film. Layaknya kotak harta karun.

Tiba-tiba, dia mencium harum wangi bunga sedap malam. Sangat menyengat. Sampai membuat bulu kuduk Lazuarrdi berdiri dan merinding.

"Tolong, jangan ganggu aku. Tak ada maksud untuk mengganggu kalian. Aku hanya penasaran dengan sosok wanita Jepang itu!" Tiba-tiba Lazuarrdi bicara sendiri.

Namun dalam hati. Dia bisa merasa bahwa saat ini, bahwa dirinya tak sendiri. Sontak Lazuarrdi berbalik. Ingin memastikan bahwa tak ada siapa-siapa. Dan dia benar. Memang tak ada siapa-siapa, sekarang. Entah sebelumnya atau nanti!

Tak mendapat apa yang dia inginkan. Bergegas langkah Lazuarrdi segera meninggalkan tempat ini. Tapi pandangan matanya menangkap secarik kertas yang terselip di bawah kaki ranjang.

Membuat lelaki itu berjongkok. Lalu memungutnya. Sekilas dia melihat samar, seperti gambar seseorang.  Entah siapa?

"Seorang wanita pribumi? Eyang kah?" Dia sempat terpana. Seorang wanita berambut panjang hitam lurus. Tatap matanya pun terlihat sayu. Seakan menggambarkan kesedihan.

"Cantik!" ujarnya berbisik.

Lazuarrdi mambawa foto jaman dahulu itu keluar sentong. Saat melintas di depan cermin. Dia merasa seperti ada seseorang. Hingga dia menghentikan langkahnya. Lalu mundur sebanyak tiga jengkal.

Kini dia berdiri tepat di depan cermin. Saat pandangan matanya semakin lekat. Seperti ada sebuah bayangan berdiri di belakang. Terlihat samar, tapi tampak jelas. Membuat Lazuarrdi mendekat lalu mengusap debu tipis yang ada.

"Apa hanya perasaan aku aja?"

Lazuarrdi kembali mengamati cermin itu. Tiba-tiba, dia melihat dengan jelas. Sosok wanita berkimono hijau sudah berdiri tepat di belakang.

Kedua matanya hanya bisa melotot, melihat penampakan itu. Lalu Lazuarrdi berlari menuju kamar. Mengunci rapat. Dan  langsung melompat ke atas ranjang.

"Kenapa dia terus yang datang? Kenapa ini ...?"

"Lazuarrdi ... Lazuarrdi!"

Kini dia mulai mendengar seseorang memanggil namanya.

"Ini sudah tak mungkin. Tak masuk akal!"

Berulang kali Lazuardi mencoba mengingkari. Tetap saja panggilan itu terus terdengar. Seperti berbisik di telinga.

Saat pikirannya tertuju pada suara itu. Dia tak menyadari, bila pintu kamar berderit perlahan.

Kriiiiiet!

Pintu yang tadinya terkunci, perlahan mulai terbuka. Membuat Lazuarrdi tercengang. Tak bisa berkata-kata.

"Lazuardiiiii ...."

Terdengar derap langkah pelan. Seakan sedang mendekati Lazuarrdi yang kebingungan. Dia terus beringsut mundur.

"Maaaas! Temani aku ... temani aku!"

Suara itu terus berulang di telinga.

"Kamu siapa? Perlihatkan dirimu sekarang?" 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status