Share

Perjodohan

'Weekend ini pulang ke rumah ya, Nak.'

Begitulah pesan yang Alena terima dari mama. Sejak penghasilannya menurun karena papa memangkas subsidi, mau tak mau dia harus sering pulang untuk mengambil hati. 

Sekalipun papa sering menyindir, Alena harus menebalkan telinga. Sepertinya dia memang harus mencari tambang emas baru selain papa tentunya. Yoga, adalah pilihan yang tepat.

'Iya, Alen pulang.' 

Hanya itu yang dia ketikkan sebagai balasan, lalu kembali fokus menghadap layar dan mengerjakan laporan. 

Setelah acara pertunangan malam itu, Adam sudah jarang mengganggu lagi. Mungkin dia sudah diberikan mukjizat supaya tidak menggombal dengan wanita lain. Lagi pula di kantor mereka juga tidak berhubungan langsung. 

"Len, udah dengar kabar?" kata temannya. 

Alena menggeleng karena kapok ketahuan sedang bergosip di saat jam kerja. Dia sebenarnya pasrah seandainya memang tidak lulus masa percobaan. Namun setidaknya, selama dua bulan ke depan dia masih memiliki pekerjaan sambil mencari yang baru. 

"Awal bulan depan mau gathering."

"Wow asyik, dong," jawabnya. 

"Kantor bakalan libur 3 hari dari rabu-jumat. Dilanjut sabtu-minggu," jelas temannya lagi.

"Aku masih kontrak percobaan, mungkin gak kali ya," kata Alena.

"Kita semua wajib berangkat. Tinggal tunggu surat edaran. HRD udah approve."

Mereka berdua berbincang, lalu sadar kalau ini jam kerja dan kembali fokus dengan laporan. Hingga waktunya pulang, Alena langsung mengambil tas dan meluncur ke rumah orang tuanya.

"Assalamualaikum." 

"Non."

"Mama mana, Bik? Katanya aku disuruh pulang," tanya Alena saat melihat suasana yang sepi. 

Kalau papa jangan ditanya. Setiap hari beliau akan pergi kerja pagi-pagi dan pulang larut malam, bahkan tak pulang berhari-hari jika tugas keluar kota. 

"Di kamar, Non. Bentar bibik panggilkan."

Alena berjalan menuju ruang makan karena perutnya lapar. Bibik pasti masak yang enak. Harusnya sih dia pulang ke rumah, tapi rasanya memang lebih nyaman tinggal sendiri karena bebas. 

"Anak mama yang cantik." Wanita paruh baya itu memeluk erat putrinya. 

"Mama kenapa, kok melow gini?"

"Mama kangen. Coba tiap libur pulang ke rumah."

"Lihat nantilah, Ma."

"Kamu ini sekarang begitu. Apa udah gak sayang sama mama lagi?" 

"Sayang. Tapi Alen kan kerja. Kalau pergi dari sini kejauhan, Ma. Lebih dekat dari sana," jawabnya. 

"Eh, makan dulu. Bibik masak seafood." Mama membuka tutup sajian dan mengambilkan piring untuk putrinya.

Alena merasa heran dengan ini. Tumben mama perhatian sekali. Dia beberapa kali pulang ke rumah, tapi belum pernah diperlakukan seperti ini. 

"Mama kenapa, sih? Aneh, deh." Nada suaranya penuh kecurigaan. 

"Kamu makan dulu. Ntar mama ceritakan, ya."

Alena mencuci tangan, mengambil sendok dan mulai menikmati sajian. Tangan bibik memang luar biasa sehingga bahan apa pun terasa enak di lidah. Selesai makan, mama mengajaknya ke kamar. 

"Len, kemarin itu mama kan butik langganan. Terus ada dress bagus banget, pas buat kamu. Jadi mama belikan." 

Sebuah gaun berenda selutut berwarna marun keluar dari lemari dan dihadapkan kepadanya. 

"Wow cantik banget, Ma. Alen mupeng yang model begini, cuma dananya belum ada. Kayak yang dipakai artis Korea," katanya. 

"Iya ini memang model terbaru, belum diskon soalnya. Tapi buat kamu special mama belikan satu." Wanita paruh baya itu tersenyum senang. Apalagi putrinya langsung mencoba di depan kaca. 

"Ih, makasih loh, Ma." Alena memeluk mama dengan erat.

"Suka?"

"Banget."

"Tapi harus dipakai."

"Iya nanti Alen pakai," katanya.

"Jangan nanti tapi besok," lanjut mama. 

"Loh?" 

"Malam minggu besok ada tamu yang mau datang ke rumah. Kamu harus dandan yang cantik," kata mama sambil mengedipkan mata. 

"Siapa?"

"Ada, deh. Sekarang kamu istirahat dulu. Bawa gaunnya ke kamar. Besok kita cocokkan sama perhiasan mama."

"Ini udah di laundry?"

"Udah, dong. Masa mau pakai baju gak dicuci dulu. Nanti alergi kulit."

Kedua wanita itu tergelak karena sifatnya memang sama. Alena membawa gaunnya ke atas. Lalu membersihkan diri kemudian memilih tidur siang. Tubuhnya lelah sekali. 

***

"Anak mama memang cantik banget," puji wanita paruh baya itu saat memasangkan kalung di leher putrinya.

"Siapa dulu mamanya," sahut Alena. 

"Yuk ke bawah. Tamu kita udah datang." Mama menggandeng Alena dan mengajaknya turun. 

"Siapa sih, Ma?"

"Turun aja sekarang. Nanti tamunya kelamaan nunggu."

Berdua mereka berjalan menuju tuang tamu. Alena kaget saat mendapati seorang laki-laki tampan sedang berbicara dengan papanya.

"Nah, ini dia yang ditunggu muncul juga." Papa sembringah saat mengenalkan putrinya kepada laki-laki itu.

"Aldo."

"Alena."

Dua tangan itu saling berjabat dan berkenalan. Aldo tersentak saat menatap wajah cantik Alena, seperti melihat bidadari turun dari kahyangan.

"Duduk sini, Alen." 

Papa menepuk kursi disebelahnya. Wanita itu menurut dan menatap semua orang dengan kebingungan.

"Ada apa sih, Pa?"

"Aldo ini anak teman papa. Masih muda tapi sudah mapan. Katanya lagi cari calon istri," jelas papa antusias.

"Oh, I see." 

Alena sudah tahu apa maksud dari kata-kata itu. 

"Saya diundang Om datang ke sini buat makan malam. Tapi rasanya jadi pengen ajak kamu dinner berdua," kata laki-laki itu dengan percaya diri.

Alena menatap mama yang dibalas dengan anggukan. 

"Eh ... iya." Alena tampak ragu-ragu akan tawaran itu.

"Gimana?" tanya Aldo. 

"Boleh." Kali ini mama yang menyahut.

Mata Alena melotot mendengar itu. Dia mencubit lengan mama, tapi malah dibalas dengan senyum yang dibuat-buat. 

"Ini ... bukan perjodohan, kan?" Dia bertanya blak-blakan.

Aldo dan papa tegelak. Sementara mama menggelengkan kepala. Alena memang akan bicara terus terang mengenai apa yang dipikirkannya tanpa menimbang terlebih dahulu. Untung saja Aldo tidak tersinggung.

"Kalau dibilang perjodohan juga gak apa-apa. Saya tidsk keberatan," jawab laki-laki itu santai.

"Kalau gitu kalian pergi sekarang."

"Mama!" Alena kembali melotot. Sumpah, dia malu.

"Ayo, Len. Kita jalan. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat." Aldo kembali menawarkan. 

"Yaudah hati-hati, ya. Jangan pulang kemalaman. Gimana juga Alena kan perempuan." Mama mendorong tubuh putrinya saat melihat Aldo berdiri. 

Kini mereka berdua berada dalam mobil yang sedang melaju ke sebuah chinese food's restaurant. 

"Mobil kamu baru, ya?" tanya Alena saat melihat Toyota Land Cruiser terbaru terparkir di halaman rumah papa tadi. 

"Ini baru 3 bulan pake. Yang lain aku simpan di garasi. Lagi bosen," jawab Aldo santai.

"Oh emang ada berapa?"

"Gak banyak. Cuma 3. Cukuplah. Bayar pajak mahal," Laki-laki itu masih berkonsentrasi menyetir sambil berbincang. 

"Wow." Alena melengkungkan senyum manis. 

"Kamu suka?"

"Apanya?"

"Mobilnya, lah. Masa orangnya. Tapi kalau suka sama orangnya juga boleh," kata Aldo gombal. 

Alena bersemu merah mendengar itu. Dalam hati berkata, kebanyakan laki-laki memang begitu jika bertemu dengan wanita cantik. 

"Eh, emang kamu kerja apaan, sih? Dari tadi kita belum kenalan," Wanita itu mengalihkan pembicaraan. 

"Terus kalau udah kenalan, bisa jadi sayang, gak?"

"Idih." Alena membuang wajah ke samping dan berpura-pura melihat jalanan. Sepertinya laki-laki ini salah satu penampakan buaya darat. 

"Aku dokter. Spesialis penyakit dalam." Aldo melirik lagi. 

"Oh."

"Kenapa? Takut disuntik kalau punya suami dokter?" 

Alena tergagap. Kenapa tiba-tiba Aldo berbicara soal suami. Rasanya ini terlalu cepat. 

"Ngg ... gak sih. Biasa aja."

"Syukurlah kalau begitu. Kalau cocok kan tinggal lamar."

Jantung Alena serasa mau copot mendengarnya. Dalam hati wanita itu menimbang-nimbang. Pilih Yoga atau Aldo?

Adam. Entah mengapa tiba-tiba saja seperti ada suara yang berbisik mengucapkan nama itu, serta wajah sang mantan suami berkelebat di pelupuk matanya. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status