“Pokoknya Mama ingin kamu segera menikah,titik!”
Khalid yang sedang mengerjakan laporan mengalihkan pandangan dari laptop lalu menatap mamanya sambil menghela napas panjang.“Mencari menantu yang baik juga bukan hal mudah, Ma. Aku tidak mau memiliki nasib seperti Kakak. Gagal di tengah jalan dan membuat anak-anaknya menjadi korban. Aku mau mempunyai istri yang bisa menjadi panutan bagi anak-anakku kelak.”“Tidak ada alasan lagi, Khalid! Usiamu sudah hamper tiga puluh tahun, mau menunggu sampai kapan lagi? Mama beri kamu waktu enam bulan, jika dalam waktu enam bulan kamu tidak membawa calon istri ke hadapan mama, kamu harus mau menikah dengan gadis pilihan mama!”Khalid hanya diam, ia tau tidak ada gunanya membantah perkataan Nancy, mamanya.“Khalid ke kamar sebentar, Ma. Pusing rasanya mendengarkan omelan Mama.” Belum sempat Khalid melangkah, Nancy sudah menghadangnya di pintu. Kedua matanya tampak melotot marah, Nancy merasa kesal dengan perkataan Khalid yang sangat keterlaluan menurutnya.
“Mau kemana lagi? Menghindar? Tidak akan bisa lagi. Kalaupun kau menghindar di lubang semut pun, Mama akan tetap mendatangimu.”“Setidaknya kasih Khalid waktu, Ma, menikah itu bukan perkara main-main. Lagi pula, jodoh itu di tangan Tuhan. Kalau sudah saatnya . . . .”“Lalu bagaimana kau akan mendapatkan istri kalau kerjaanmu hanya di depan laptop saja seperti itu? Kau limpahkan semua pekerjaanmu hanya pada asistenmu, kau berdalih bahwa kau sama sekali tidak ingin menampakkan dirimu siapa”“Ya. Karena Khalid punya alasan tersendiri.”“Alasan apa? Agar kau menemukan gadis yang tidak hanya memandangmu karena harta? Di mana-mana harta menjadi peran utama. Kau sudah memilikinya tapi kau malah menyia-nyiakan. Dengan hartamu kau bisa mencari gadis model apapun, Sayang. please, jangan buat Mama frustasi.”“Apakah menurut Mama, Khalid tidak frustasi mendengar tuntutan Mama?” Khalid mengembuskan napas, mencoba mengurangi beban yang sedang menghimpit. Sekali lagi ia pandang wajah Nancy, mengalihkan ke atas, menatap langit lalu menelungkupkan kepala di meja kerja. Nancy yang sudah merasa sesak dengan sikap anaknya itu segera meninggalkan ruang kerja Khalid dengan memegang dada yang terasa nyeri. Ia tahu jika ia terus berdebat dengan Khalid penyakitnya pasti akan kumat. Nancy merasa Lelah, bukan hanya tubuh tetapi hati dan pikirannya. Sebagai orangtua ia ingin sekali melihat anaknya segera menikah, usianya sudah tidak lagi muda. Besok atau lusa bisa saja ajal datang menjemput. Ia hanya ingin sebelum hal itu terjadi ia sudah melihat Khalid menikah dan menimang cucu.Khalid yang melihat mamanya kesakitan berusaha untuk mendekat. Namun, Nancy menolak dan mendorong Khalid.
“Jangan mendekat sebelum kau membawa menantu Mama,” tolak Nancy sambil lalu melangkah meninggalkan anaknya menuju kamar, di mana sang suami sedang terbaring lemah di ranjang. .Sudah satu tahun ini, Raharja Kusuma, Ayah Khalid menderita penyakit jantung di usianya yang mendekati lima puluh lima tahun. Berawal dari perceraian anak pertamanya, Andra Kusuma, yang kini tinggal di negara Dubai, meninggalkan dua anak perempuannya bersama mereka di rumah utama.“Mama kenapa?” tanya Raharja dengan suara pelan. Nancy segera mengempaskan tubuh di samping suaminya. Mencoba mengalihkan pertanyaan sang suami, dengan membelakangi Raharja yang masih menatapnya dengan cemas.“Ditanya suami bukannya jawab malah membelakangi begitu. Lalu dimana wujud penghargaanmu padaku? Suamimu yang meski sekarang sedang terbaring lemah seperti ini. Meski kau anggap aku sama sekali tidak ada gunanya sama sekali di hidupmu saat ini.”Nancy membalikkan tubuhnya. Telentang di sebelah Raharja. Pandangannya ia arahkan ke langit-langit kamarnya.“Anakmu itu kalua diberitahu selalu membangkang.”“Siapa?”“Siapa lagi kalau bukan Khalid. Setiap mama beritahu selalu saja menjawab dan membangkang. Mentang-mentang dia cerdas, jadi semaunya sendiri. Dias ama sekali tidak menghargai aku sebagai mamanya. Apa salah jika mama ingin dia cepat menikah?”Raharja menarik napas dalam-dalam, ia tau bagaimana perasaan istrinya, tetapi dia juga tidak ingin memaksakan kehendak. Bukankah segala sesuatu yang dipaksakan itu hasilnya tidak akan baik.“Kenapa Papa sama sekali tidak mau membantu Mama?”“Maksudnya?’“Papahselalu diam saja melihat apapun perbuatan Khalid selama ini.”“Asal dia masih berada di jalur yang benar ,mengapa Papa harus campur tangan?”“Itulah yang membuat anakmu selalu seenaknya sendiri.”Nancy menepiskan tangan Raharja dan membalikkan tubuhnya. Raharja hanya diam, ia sama sekali tidak mau melanjutkan perdebatan. Bukan penyelesaian yang akan didapat, tetapi perdebatan akan semakin sengit.Sementara itu Khalid sedang membereskan pakaian-pakaiannya kemudian memasukkan ke dalam koper. Setelah itu ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas, kemudian menelepon seseorang.“Kau sudah siapkan apa yang kuminta?’“Sudah, tuan tinggal masuk saja dan menikmati semua fasilitas yang ada.”Khalid mengerutkan dahi saat mendengar jawaban dari lawan bicaranya.“Aku tidak butuh fasilitas apapun, Ndra. Rumah sederhana yang kubutuhkan,bukan rumah mewah atau apapun yang penuh fasilitas. Satu jam dari sekarang aku butuh kepastian karena semua sudah kusiapkan.”“Baik, Tuan.”Sambungan telepon terputus, Khalid hanya menghela napas. Setelah memeriksa Kembali semua barang bawaannya ia meninggalkan kamarnya sambal menyeret koper yang ia ambil dari gudang penyimpanan.
“Tuan Muda mau ke mana?” tanya seorang pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya.“Kau sudah siap untuk meninggalkan rumah ini dan kembali ke kampungmu,?”“Ti-tidak, Tuan,maafkan saya.”Pelayan itu tetap berdiri sambil menundukkan kepala menahan gemetar tubuhnya.“Pergilah!’“Baik, Tuan.” Sang pelayan melangkah mundur, meninggalkan sang tuan dengan tubuh tetap bergetar. Khalid yang menyaksikannya hanya menggelengkan kepala seraya meninggalkan tempat menuju garasi. Sampai di mobil kesayangannya, ia segera membuka pintu kemudi. Bukan untuk menggunakannya, namun mengambil sesuatu dari laci di dashboard, lalu melangkah menyeret koper menuju motor matic di sudut garasi.Beberapa security yang kebetulan menyaksikan kegiatannya hanya dapat saling pandang lalu menggelengkan kepala masing-masing.Khalid melajukan motornya meninggalkan rumah utama dengan kecepatan sedang. Pikirannya yang kalut memikirkan tuntutan sang mama membuat dirinya nekad meninggalkan rumah tanpa ijin.Pergi tanpa pamit bukanlah kebiasaannya,namun kali ini ia hanya ingin melampiaskan emosi ke tempat lain tanpa menyakiti hati keluarganya. Namun sayang, dia tidak pernah tahu bahwa di dalam rumah utama yang dia tinggalkan, mamanya mencak-mencak.“Dasar anak tak tahu diuntung! Awas saja kalau kau tidak kembali dengan menantu yang aku inginkan, aku akan menganggapmu sudah hilang.”Raharja yang melihat hal itu hanya diam sambil menghela napas panjang.
“Papa selalu saja seperti itu, diam dan tidak peduli kondisiku yang susah payah merayu Khalid.”
“Habisnya mau apalagi kalau papa juga sama tidak berdayanya seperti Mama.”Nancy cemberut, ia berdiri lalu melangkah meninggalkan kamar dan membanting pintu dengan keras.“Subhanallah! Maafkan aku ya Allah, aku tahu ini salahku yang lemah mendidik keluargaku.” Raharja bergumama sambil sesekali memegang dadanya yang nyeri.Di ruang tengah, Nancy masih mengomel. Ia memarahi semua pelayan yang tidak pernah mau diajak kompromi soal Khalid yang susah diatur.“Maafkan kami, Nyonya,saya sudah berusaha bertanya pada Tuan Muda, tapi ….”“Sudah!” Nancy melambaikan tangannya menolak penjelasan Minah. Minah hanya menunduk.“Maafkan saya, Nyonya.”“Mulai hari ini,kalian harus melaporkan semua kejadian di rumah ini! Sekecil apapun, jangan sampai terlewat.”“Baik, Nyonya!” sahut semua pelayan sambil membungkukkan tubuh mereka.“Bukan hanya kata baik yang ingin kudengar, aku butuh bukti!”“Siap, Nyonya.”“Samir, siapkan mobil dan antar aku menuju apartemen,aku tahu dia di sana.”“Baik, Nyonya.”Samir supir pribadi Nancy segera berlari menuju garasi dan menyiapkan mobil seperti perintah Nancy.2. Meninggalkan Rumah UtamaKhalid masih berputar-putar mengelilingi kota. ia segera menghentikan laju kendaraannya setelah mencapai taman kota. “Selamat malam, Mas.” Seorang penjaja makanan menghampirinya. Khalid terpana menyaksikan laki-laki di hadapannya, penjaja makanan itu tersenyum dengan ramah.Ia pun memarkirkan gerobak dagangannya tak jauh dari motor Khalid yang terparkir di trotoar. Tempat parkir itu dibuat khusus untuk para pengunjung alun-alun utama. Khalid masih mengawasi gerak-gerik sang penjaja makanan yang kini sedang meracik dagangannya di dua buah piring dengan cekatan. “Ayolah duduk di sini!” ajaknya sambil menyiapkan tikar dan meletakkan kedua piring di atasnya. Khalid masih menatap sang penjual dengan tak berkedip. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana pola pikir laki-laki di hadapannya. Ia bahkan sama sekali tidak terlihat takut, padahal mereka baru pertama kali bertemu.“Luar biasa,” gumamnya. Penjaja maka
“Halo !”“Taman Kota Jalan Sudirman sekarang!”“Baik”TuuutKhalid memutuskan panggilan sepihak. Sang asisten yang sudah biasa menerima perlakuan seperti itu darinya segera memasukkan ponsel ke saku dan mulai menghidupkan mobil kemudian menuju tempat yang ditentukan. Di taman kota, Wildan hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap laki-laki di hadapannya. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan sikap arogan sang pemuda.Khalid memandang Wildan yang masih tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala.“Kenapa senyum-senyum lagi?”“Tidak apa-apa. Aneh saja ada orang kok arogan sepertimu.”“Biasa aja. Aku bukan orang baik sepertimu.”“Sama saja,orang baik dan orang jahat juga senang kalau diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Kalau tidak manusiawi pasti tidak enak.”“Brisik sekali kau ini. Ah, aku rasanya ingin meninggalkanmu saj
Penyesuaian“Assalamu’alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahiss sholihiin”Wildan membuka pintu rumah kontrakan. Khalid yang mendengar salam dari Wildan bingung. Ia ingin menjawab namun ia bingung bagaimana caranya. Ia memandang sekeliling rumah yang sepi tanpa penghuni lain. Ia bertanya dalam hati siapa yang diberi salam oleh Wildan. Ia ingin bertanya siapa yang tinggal bersama Wildan sehingga Wildan perlu mengucap salam saat masuk rumah.,”Siapa yang di dalam?“Kenapa?”Wildan memandang Khalid yang masih menoleh ke sana kemari mencari orang di dalam rumah. Wildan menyalakan lampu ruang tamu lalu menyuruh Khalid duduk. Ia meletakkan topi di atas bufet di sudut ruangan lalu duduk di kursi di depan Khalid.“Meskipun tidak ada orang, aku yakin di rumah ini ada penghuni lain. Aku mendoakan diriku juga, sebagai penghuni rumah ini. Seperti itulah seharusnya kita saat memasuki
Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.Tek tekSuara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan ora
Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya. “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”“Dua ratus ribu?”“Ya.”“Sehari?
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand