2. Meninggalkan Rumah Utama
Khalid masih berputar-putar mengelilingi kota. ia segera menghentikan laju kendaraannya setelah mencapai taman kota.“Selamat malam, Mas.” Seorang penjaja makanan menghampirinya. Khalid terpana menyaksikan laki-laki di hadapannya, penjaja makanan itu tersenyum dengan ramah.Ia pun memarkirkan gerobak dagangannya tak jauh dari motor Khalid yang terparkir di trotoar. Tempat parkir itu dibuat khusus untuk para pengunjung alun-alun utama. Khalid masih mengawasi gerak-gerik sang penjaja makanan yang kini sedang meracik dagangannya di dua buah piring dengan cekatan.“Ayolah duduk di sini!” ajaknya sambil menyiapkan tikar dan meletakkan kedua piring di atasnya. Khalid masih menatap sang penjual dengan tak berkedip. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana pola pikir laki-laki di hadapannya. Ia bahkan sama sekali tidak terlihat takut, padahal mereka baru pertama kali bertemu.“Luar biasa,” gumamnya. Penjaja makanan itu menyodorkan piring berisi makanan yang ia jual.“Silakan di coba dulu, saya jamin Mas bisa ketagihan,”“Kau yakin tidak ada racunnya?” tanya Khalid sambil mencoba meraih kerah baju sang penjaja makanan. Ia sama sekali tidak ingin gegabah. Bisa saja orang yang pura-pura baik di hadapannya ternyata hanya pura-pura.“Jangan galak-galak begitu, Mas. Kondisi masyarakat kecil seperti kita tetap harus bersahabat agar kita tidak sengsara karena tak memiliki teman.”“Buktikan dulu kalau kau benar-benar tidak menaruh racun di makananku!”“Hahaha … baiklah, kalau Mas ragu, saya makan duluan ,ya,” kata penjaja makanan itu dengan santai sambil menyuapkan makanan di piring yang satu ke dalam mulutnya.“Mas lihat sendiri,kan? Mana ada racun dimakananku, santai saja, Mas Bro aku ini orang baik. Jangan terlalu takut karena aku memiliki Tuhan yang kusembah yang selalu mengawasi setiap gerak-gerikku. Santai saja karena aku tidak akan berbuat aneh-aneh meskipun pada orang yang baru kukenal Bro.” Khalid mengangguk. Ia memandang dirinya,batinnya tersenyum. Penampilan sederhananya telah membuat sang penjaja makanan bersikap biasa saja padanya.“Pantas saja,” gumamnya.“Ayolah sini! Jangan malu-malu. Aku tahu kau baru pergi dari rumahmu dan pasti kau sama sekali tidak memiliki uang kan? Ayolah, kau pasti juga belum makan kan? Kita makan bersama, gratis buat kamu malam ini. Suer!” penjaja makanan itu menunjukkan dua jari ke atas.“What? Dia bahkan berpikir aku sama sekali tidak memegang uang?” Khalid tersenyum lalu mengangguk.“Baiklah,” katanya menyerah. Ia turun dari motor dan melangkah kemudian duduk di tikar pandan yang sejak tadi digelar oleh pedagang itu.“Seblak ini sangat enak,beruntung kau masih mendapatkannya malam ini. Yah, anggap saja ini sebagai tanda pertemanan kita. Ayo makan,jangan khawatir dengan pembayarannya. Aku berikan gratis kepadamu.”“Terima kasih,” sahut Khalid sambil duduk dan memandang mangkuk isi mi dengan campuran sosis, bakso dan telur yang nampak menggoda. Meski ragu akan kehigienisannya, Khalid mencoba berdamai dengan menyentuh sendok dan garpu yang tergeletak begitu saja di mangkuk. Memegang dengan tangan kanan dan kirinya lalu mulai menyendok sedikit kuah dan menyeruputnya.“uhuk uhuk uhuk” Khalid tersedak. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya makanan yang dihidangkan orang baru di hadapannya sehingga ia menyeruput dengan tergesa.“Ah pelan-pelan. Tidak ada yang akan meminta darimu. Ini minumlah! Semoga akan segera membuatmu nyaman.” Khalid menerima gelas berisi air putih dari sang lelaki penjaja makanan lalu menyeruputnya pelan karena tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.“Ayo makan dengan tenang! Awali dengan bismillah, semoga makanan yang masuk bisa membuat tulang sulbi kita berdiri dan bisa melanjutkan hari, karena marah itu butuh energi juga ha ha ha.”“Apa maksudmu?”“Aku tahu kau pergi dari rumah karena emosi,bukan? Karena orang tua tidak mau memberikan apa yang kita minta atau karena kecewa kau dipaksa menikah?”Khalid menggeleng. Ia sama sekali belum mengenal laki-laki di hadapannya, makanya ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Ia segera sibuk dengan makanannya yang walaupun masih terasa aneh, namun enak.“Kenalkan, aku Wildan.” Pedagang seblak itu mengulurkan tangan yang disambut langsung oleh Khalid.“Sahal”“Seperti nama orang India,” ucap Wildan sambil memandang wajah Khalid. Mengamati setiap lekuk wajahnya dengan teliti sambil mengelus kepalanya.“Mungkin ayahku ada keturunan dari India,” sahut Khalid sekenanya.“Mungkin? Memang kamu tidak tahu keturunan darimana orang tuamu?”“Tidak semua. Yang aku tahu aku sudah tinggal di sini sejak bayi.”“Di mana rumahmu?’“Untuk apa ingin tahu rumahku? Kalau kau bilang tadi aku minggat dari rumah karena masalah itu salah besar. Aku pergi untuk mencari penghidupan yang layak. Bukan bergantung pada kedua orang tuaku terus. Sepertimu yang bisa tersenyum karena memiliki apa yang bisa kamu nikmati.”Wildan menggeleng.“Bukan memiliki apa yang bisa kunikmati,tapi aku memiliki cara untuk menikmati. Sebenarnya mungkin tidak terlalu banyak,tapi aku tahu bagaimana caranya bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepadaku.”“Apa bedanya?’“Sangat beda, kau memiliki apa yang orang lain tidak miliki tapi, kau tidak tahu bagaimana cara bersyukur, itu akan membuat dirimu selalu merasa kekurangan. Sedangkan bila kau memiliki sedikit saja nikmat Allah, tapi, kau tahu cara bersyukur akan membuat hatimu tenang. Satu hal yang pasti, Allah akan menambah nikmat dengan lebih banyak.”“Aku tidak mengerti”“Maksudnya tidak mengerti?”“Entahlah”“Aku yakin kau tidak pernah mengaji.”“Mengaji?”“Iya,mengaji. Mempelajari Alquran dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. Dasar untuk setiap langkah yang akan kita ambil agar tidak salah arah.”Khalid diam. Ia sama sekali tidak mengerti bagaimana pola pikir manusia di hadapannya.“Sudahlah, ayo habiskan makananmu! Kau bisa belajar banyak dari apa yang sudah kau lewati dan akan kau lewati nantinya.”“Maksudnya?”Wildan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak sangat frustasi dengan orang baru yang disapanya ini.“Kok malah jadi boomerang,” gumamnya lirih.“Maksudmu”Khalid dan Wildan saling pandang sesaat lalu tertawa bersama. Entah apa yang membuat keduanya bisa tertawa bersama.“Kenapa kau tertawa?”“Kau sendiri kenapa?”“Jangan sekali-kali kau bertanya sebelum menjawab pertanyaanku.”“Kau itu lucu, ditolong malah sukanya mengancam. Memangnya kau siapa di hadapan Allah?”Khalid diam. Ia tidak bisa bicara. Mendengar kata Allah ia memang sangat asing, namun hatinya bergetar saat ini. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dulu, ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang orang lain ucapkan, termasuk kata Allah, Tuhan, atau apalah. Tidak ada yang membuatnya takut sedikitpun.Bersama Wildan orang baru, justru kata Allah membuat dia berkali-kali merasakan bulu kuduknya berdiri.“Sudah, lanjutkan makan. Karena minggat juga memerlukan energi. Ha ha ha”“Apa maksudmu?”“Ha ha ha, jangan sok polos. Aku tahu bagaimana tampang orang pergi dengan pamit atau minggat. Kau membawa koper dan motor dengan tergesa, tidak ada ketenangan. Aku yakin kau pasti takut dikejar keluargamu,kan? Jangan-jangan kau minggat karena menghamili anak orang dan takut dimintai pertanggungjawaban.”“Enak saja! Sukanya menduga-duga, jangan pernah kau tuduh aku seperti itu karena aku pergi justru karena aku dipaksa menikah tapi aku belum siap.”“Ha ha ha, akhirnya kau mau jujur juga.”“Jangan macam-macam kau denganku! Aku bisa saja ….” Khalid menghentikan kalimatnya, takut keceplosan dan penyamarannya terbongkar.“Ha ha ha kenapa tidak kau lanjutkan? Bukannya kau ingin bercerita ? Aku tidak masalah kok jadi tempat curhat kamu. Santai saja, Bro, keep calm,aku bisa dipercaya. Oh,iya perkenalkan namaku Wildan.” Wildan mengulangi perkenalannya dengan mengulurkan tangannya. Khalid menyambut tangan Wildan dan menjabatnya erat.“Aku sudah menyebut namaku.”“Iya. Sahal. Ah, nama yang aneh.”“Aneh gimana?”“Yaaa … aneh aja! Aku tidak menjelaskan anehnya dimana.”Dreett,Khalid segera mengambil ponsel dari sakunya dan segera membuka panggilan.Yuk bantu author dengan like, komen dan subscribe !“Halo !”“Taman Kota Jalan Sudirman sekarang!”“Baik”TuuutKhalid memutuskan panggilan sepihak. Sang asisten yang sudah biasa menerima perlakuan seperti itu darinya segera memasukkan ponsel ke saku dan mulai menghidupkan mobil kemudian menuju tempat yang ditentukan. Di taman kota, Wildan hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap laki-laki di hadapannya. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan sikap arogan sang pemuda.Khalid memandang Wildan yang masih tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala.“Kenapa senyum-senyum lagi?”“Tidak apa-apa. Aneh saja ada orang kok arogan sepertimu.”“Biasa aja. Aku bukan orang baik sepertimu.”“Sama saja,orang baik dan orang jahat juga senang kalau diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Kalau tidak manusiawi pasti tidak enak.”“Brisik sekali kau ini. Ah, aku rasanya ingin meninggalkanmu saj
Penyesuaian“Assalamu’alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahiss sholihiin”Wildan membuka pintu rumah kontrakan. Khalid yang mendengar salam dari Wildan bingung. Ia ingin menjawab namun ia bingung bagaimana caranya. Ia memandang sekeliling rumah yang sepi tanpa penghuni lain. Ia bertanya dalam hati siapa yang diberi salam oleh Wildan. Ia ingin bertanya siapa yang tinggal bersama Wildan sehingga Wildan perlu mengucap salam saat masuk rumah.,”Siapa yang di dalam?“Kenapa?”Wildan memandang Khalid yang masih menoleh ke sana kemari mencari orang di dalam rumah. Wildan menyalakan lampu ruang tamu lalu menyuruh Khalid duduk. Ia meletakkan topi di atas bufet di sudut ruangan lalu duduk di kursi di depan Khalid.“Meskipun tidak ada orang, aku yakin di rumah ini ada penghuni lain. Aku mendoakan diriku juga, sebagai penghuni rumah ini. Seperti itulah seharusnya kita saat memasuki
Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.Tek tekSuara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan ora
Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya. “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”“Dua ratus ribu?”“Ya.”“Sehari?
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De