“Halo !”
“Taman Kota Jalan Sudirman sekarang!”“Baik”TuuutKhalid memutuskan panggilan sepihak. Sang asisten yang sudah biasa menerima perlakuan seperti itu darinya segera memasukkan ponsel ke saku dan mulai menghidupkan mobil kemudian menuju tempat yang ditentukan.Di taman kota, Wildan hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap laki-laki di hadapannya. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan sikap arogan sang pemuda.Khalid memandang Wildan yang masih tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala.“Kenapa senyum-senyum lagi?”“Tidak apa-apa. Aneh saja ada orang kok arogan sepertimu.”“Biasa aja. Aku bukan orang baik sepertimu.”“Sama saja,orang baik dan orang jahat juga senang kalau diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Kalau tidak manusiawi pasti tidak enak.”“Brisik sekali kau ini. Ah, aku rasanya ingin meninggalkanmu saja kalau saja aku tidak sedang butuh bantuanmu.”“Ha ha ha, kau butuh bantuan apa dariku?”“Carikan aku rumah kontrakan!”“Rumah kontrakan? Kau sedang mencari kontrakan?”“Ya”“Memangnya kau mampu bayar berapa kalau aku berikan rumah kontrakanku sebagian padamu?”“Kau punya kontrakan?”“Jelek-jelek begini aku punya kontrakan, Bro. Aku ngontrak satu rumah,tetapi terlalu besar, maka tidak ada salahnya kalau kita berbagi kan?”“Berapa aku harus membayar?”“Ah, kau boleh bayar setelah kau dapat pekerjaan.”“Ya ,tapi aku kan harus tahu dulu berapa yang harus kubayar? Agar aku bisa menyiapkan uangnya jauh-jauh hari. Kalau kau tidak bilang sekarang ,aku takut kau akan menaikkan biaya kontrakannya.”“Ah, kau ini,kau belum tahu saja kalau aku orang baik ya?”“Tetap saja aku harus waspada, kita teman baru. Belum saling mengenal satu dengan yang lain.”“Oke, baiklah. Aku mengontrak rumah itu satu tahunnya sepuluh juta. Sudah kubayar setengah tahun. Kau bisa bayar separuhnya,dua setengah juta, bagaimana? Deal?”Khalid pura-pura berpikir.“Baiklah, deal” Khalid mengulurkan tangan dan Wildan menerima uluran tangannya erat.“Deal! Thanks, aku jadi bisa menambah modal dagangku.”“Tapi ,belum sekarang aku bisa membayarmu.”“Santai, aku kan sudah bilang kalau kau bisa membayarnya setelah dapat pekerjaan.”“Thanks, Bro. Kau memang manusia baik. Meski baru kenal, aku harus percaya bahwa kau bisa dipercaya.”“Kau akan ikut aku sekarang?”“Ke mana?”“Ya elah, ke mana lagi kalau bukan ke kontrakan?’“Kau tidak melanjutkan berdagangmu? Kelihatannya masih banyak daganganmu.”“Yah, biarlah, nanti bisa dibagi sama tetangga. Mereka selalu menungguku pulang berjualan. Menanti pembagian dagangan yang tidak habis terjual.”“Kau tidak rugi kalau begitu?’“Tidak. Membuat orang senang adalah pahala dan selain itu sangat menyenangkan.”“Kenapa bukan makanan yang belum kau jual? Kenapa harus sisa?”“Kau ini bagaimana? Kalau kuberi barang yang belum kujual, mereka mana mau. Mereka pasti akan membayar padaku. Kalau makanan yang kuberikan setelah aku jualan, mereka akan bahagia dan mengira kalau makananku makanan tak laku.”“Hah!”“Kenapa?”“Masih ada orang begitu ya?”“Tentu saja masih. Kau jangan kaget kalau menghadapi mereka nanti ,ya. Kadang kita tidak habis pikir dengan pola pikir orang-orang kecil.”“Baiklah, aku ikut denganmu.”“Yakin dengan keputusanmu?”“Sangat yakin, tapi aku menunggu temanku dulu di sini,ya?”Belum sempat Wildan menjawab, sebuah mobil sport berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang pemuda tampan turun dan melangkah menghampiri Wildan dan Khalid.“Maaf, Tu. . . .”“Tuan sudah datang?” Khalid memotong kalimat Defandra dan berpura-pura menundukkan kepalanya memberi hormat pada Defandra.“Tu. . . ““Apakah Tuan akan memberikan gaji saya saat ini? Saya mohon maaf, Tuan, tidak bisa maksimal dalam melakukan pekerjaan bulan ini. Saya akan meninggalkan kantor dengan baik-baik.” Defandra menggaruk kepalanya, bingung dengan sikap bosnya mala mini.“Maksudmu apa? Bosmu datang dan mengantarkan gajimu? Kau keluar dari pekerjaanmu? Kenapa? Apa hanya gara-gara kau dipaksa menikah terus kau keluar kerja? Kau ini baper banget. Bagaimana kalau kau kelaparan setelah menganggur?”Defandra memandang Khalid, meminta penjelasan. Namun Khalid mengerlingkan matanya agar dia tak merespon ucapan Wildan secara berlebihan.“Tuan, aku janji akan membimbing Sahal dalam menjalani kehidupannya. Kalaupun dia sudah meninggalkan pekerjaannya, saya janji akan mendampingi kemanapun dia pergi. Insya Allah saya amanah.”“Aku tidak butuh janji dari orang baru sepertimu,” ucap Defandra dingin. Khalid mengacungkan kedua jempolnya di belakang punggungnya. Defandra nampak salah tingkah dengan situasi yang ia hadapi saat ini.“Di mana kau tinggal sekarang?”“A . . . anu Tuan.” Khalid memandang Wildan mencoba memintanya menjawab. Pertanyaan Defandra. Wildan mengangguk. Dengan tenang ia memandang Defandra dengan tatapan teduhnya. Defandra yang mendapat perlakuan aneh dari orang kecil seperti Wildan hanya memicingkan matanya.“Dia akan tinggal bersamaku, Tuan.”“Kau berani menjamin keselamatannya?”“Ah, Tuan ini jangan bercanda. Hanya Allah yang mampu memberikan perlindungan terbaik. Aku tidak berani berjanji kalau aku bisa menjamin keselamatannya karena keselamatan saya sendiri juga tidak bisa saya jamin.”“Lalu mengapa kau mau mengijinkannya tinggal di rumahmu?”“Sebagai seorang manusia yang baik, saya harus memberi pertolongan kepada orang yang sedang dalam kesulitan.“Tapi kau harus berani menjamin keselamatan orang yang kau tolong. Jangan asal memberi pertolongan tanpa mempertimbangkan kemampuanmu.”“Kau menganggap Sahal sebagai seorang anak raja sehingga kau merasa perlu memastikan keselamatannya? Kalau kau menganggap seperti itu seharusnya kau tidak mengeluarkannya dari pekerjaan tempat dia mencari nafkah. Kau harus mempertimbangkan berapa orang dibelakangnya yang menanti uang hasil kerja sebagai sumber kehidupan. Jangan asal pecat saja.”“Ha ha ha, kau ini ironis sekali. Aku bisa melakukan apapun yang aku kehendaki. Kenapa aku harus mendengar kalimatmu? Kau bukan siapa-siapaku.”“Sombong sekali kau ini! Mengapa tidak sama sekali memikirkan nasib anak buahmu?”“Aku memikirkannya!Buktinya, aku menemuinya saat ini. Kalau kau sama sekali tidak menganggap kegiatanku ini sebagai bukan kepedulian, terserah. Aku tidak peduli sama sekali.”“Baiklah,aku terima kehadiranmu. Inisiatifmu dalam memberikan gajinya Sahal aku hargai.’Wildan menatap Khalid yang kini menunduk di hadapannya,“Aku harus maklum pada sikapmu. Kau orang besar,orang kaya yang memiliki segalanya. Tapi di mata Allah, harta bukanlah tolok ukur tinggi rendahnya seseorang. Allah meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat dari mereka yang tidak berilmu. Hanya takwa yang membuat manusia unggul di hadapan Allah. Tapi aku rasa,tidak akan ada gunanya untukku membeberkan apapun. Ah sudahlah! Silakan tinggalkan tempat ini karena aku akan membawa Sahal.’“Kau mengusirku?”“Kalau kau menganggap seperti itu, ok baiklah. Aku mengusirmu.”“Sahal”“I - iya, Tuan.”“Lancang sekali dia,mengapa kau mau berteman dengannya?”“Sa-saya sudah cocok.”“Cocok?”“Ah , itu … Anu tuan ….”“Baik, pergilah dariku sekarang! Jagan sampai kita punya memiliki masalah yang sama karena aku sama sekali tidak akan mengampunimu.”“Iya, Tuan. Baik.”“Ini gajimu.”Defandra melemparkan sebuah amplop sedikit tebal pada Khalid. Khalid menerimanya, dengan kedua tangannya namun Wildan lebih dulu menangkapnya.“Kenapa kau tidak sopan sekali! Caramu memberikan kepada orang lain melebihi memberikan pada pengemis.”Khalid memberi isyarat agar asistennya itu cepat pergi,Defandra pun segera membalikkan tubuh dan meninggalkan Wildan bersama Khalid ,namun Wildan melemparkan amplop coklat ke punggungnya.“Ambil itu! Bawa kembali uangmu atau kau berikan dengan sopan pada Sahal!”Defandra meninggalkan mereka begitu saja, tanpa melakukan apapun, ia pun segera masuk ke dalam mobil.Wildan mengambil amplop coklat yang kini tergelatak di trotoar dan menyerahkannya pada Khalid. Khalid memandang Wildan lalu menunduk.“Ambillah, ini hakmu. Walau cara memberikannya tidak membuatku senang, tapi ini hakmu.”Khalid mengangguk.“Terima kasih. Kau baik sekali padaku.”“Lupakan! Ayo kita pulang! Bantu aku membagikan makanan pada tetangga.”“Baik.”Wildan mendorong gerobaknya diikuti Khalid yang menaiki motor maticnya.Lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah kawasan perumahan,sebelah selatan taman kota.“Nah,ini rumah kontrakanku. Sengaja mencari di sini agar aku bisa fokus pada kegiatan ibadahku. Paling tidak, ketika kita hidup dekat dengan masjid, kita bisa selalu mendapatkan peringatan untuk shalat. Kau seorang muslim?”Khalid mengangguk.“Bagus! Kau akan menjadi mitraku saat shalat subuh di masjid itu.” Khalid mengikuti arah telunjuk Wildan. Memandang masjid dengan desain sederhana di hadapannya.Penyesuaian“Assalamu’alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahiss sholihiin”Wildan membuka pintu rumah kontrakan. Khalid yang mendengar salam dari Wildan bingung. Ia ingin menjawab namun ia bingung bagaimana caranya. Ia memandang sekeliling rumah yang sepi tanpa penghuni lain. Ia bertanya dalam hati siapa yang diberi salam oleh Wildan. Ia ingin bertanya siapa yang tinggal bersama Wildan sehingga Wildan perlu mengucap salam saat masuk rumah.,”Siapa yang di dalam?“Kenapa?”Wildan memandang Khalid yang masih menoleh ke sana kemari mencari orang di dalam rumah. Wildan menyalakan lampu ruang tamu lalu menyuruh Khalid duduk. Ia meletakkan topi di atas bufet di sudut ruangan lalu duduk di kursi di depan Khalid.“Meskipun tidak ada orang, aku yakin di rumah ini ada penghuni lain. Aku mendoakan diriku juga, sebagai penghuni rumah ini. Seperti itulah seharusnya kita saat memasuki
Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.Tek tekSuara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan ora
Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya. “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”“Dua ratus ribu?”“Ya.”“Sehari?
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De
Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu