“Assalamu’alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahiss sholihiin”
Wildan membuka pintu rumah kontrakan. Khalid yang mendengar salam dari Wildan bingung. Ia ingin menjawab namun ia bingung bagaimana caranya. Ia memandang sekeliling rumah yang sepi tanpa penghuni lain. Ia bertanya dalam hati siapa yang diberi salam oleh Wildan. Ia ingin bertanya siapa yang tinggal bersama Wildan sehingga Wildan perlu mengucap salam saat masuk rumah.
,”Siapa yang di dalam?
“Kenapa?”
Wildan memandang Khalid yang masih menoleh ke sana kemari mencari orang di dalam rumah. Wildan menyalakan lampu ruang tamu lalu menyuruh Khalid duduk. Ia meletakkan topi di atas bufet di sudut ruangan lalu duduk di kursi di depan Khalid.
“Meskipun tidak ada orang, aku yakin di rumah ini ada penghuni lain. Aku mendoakan diriku juga, sebagai penghuni rumah ini. Seperti itulah seharusnya kita saat memasuki rumah.”
Khalid mengangguk. Meski masih bingung dengan berbagai aturan yang diterapkan oleh wildan, teman barunya, ia mencoba untuk memahamii. Khalid memandang sekeliling ruangan. Ruangan sederhana di hadapannya nampak sangat bersih dan rapi walau tidak ada orang lain yang tinggal bersama Wildan. Ia berpendapat bahwa Wildan adalah manusia yang rajin.
“Itu kamarmu yang di sebelah selatan. Insya Allah sudah bersih karena setiap hari kubersihkan. Kau bisa masuk dan mulai tinggal mulai malam ini. Meski sederhana tapi saya kira cukup untuk dijadikan sebagai tempat bermuhasabah, memantaskan diri menjadi hamba yang pantas mendapatkan syafaat Rasulullah kelak ketika kita sudah di akhirat”
“Apa maksudmu?”
Khalid yang memang tidak paham dengan bahasa Wildan mengerutkan keningnya mencoba untuk memahami ucapan Wildan.
“Gunakan kamar itu untuk semua perbuatan yang diridhai Allah.’
Khalid mengangguk. Ia segera bangkit dan menarik kopernya menuju kamar yang pintunya masih tetutup. Wildan mengikuti langkah Khalid. Ia mengambil kunci kamar yang ia gantung di paku di atas bufet lalu menyerahkannya pada Khalid.
“Ok, kau boleh menata pakaianmu dulu. Setelah selesai temui aku di depan. Bantu aku membagikan makanan pada tetangga.”
Tanpa menunggu jawaban Khalid, Wildan meninggalkan Khalid yang melangkah menuju dipan dengan kasur yang masih tergulung. Khalid meletakkan begitu saja kopernya di atas dipan lalu melangkah menuju halaman tanpa menata pakaian di lemari seperti instruksi Wildan padanya. Khalid tidak ingin ketinggalan momen penting. Ia ingin menyaksikan Wildan melakukan apa saat dia selesai berjualan.
Khalid terpana memandang tangan lincah Wildan. Ia memasukkan beberapa bungkus seblak ceker ke dalam tas plastik kecil berwarna hitam. Wildan mengambil plastik warna ungu dan memasukkan beberapa ke dalamnya. Warna plastik yang berbeda, dengan jumlah berbeda. Setelah selesai, Wildan memandang Khalid yang mematung di depan pintu rumah.
“Kau antar ini ke rumah bercat hijau itu!”
Wildan menyerahkan plastik ungu ke tangan Khalid. Khalid mengangguk. Tanpa ragu ia melangkah menuju rumah yang ditunjuk Wildan. Perlahan namun pasti, ia sampai di tempat tujuan. Khalid mengawasi keadaan di dalam rumah yang sepi. Ia ragu untuk mengetuk pintu rumah sederhana di depannya. Setelah berpikir beberapa saat, tangannya ia ulurkan untuk mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati. Belum sempat tangan menyentuh daun pintu, tiba-tiba seorang bocah laki-laki berusia kira-kira tujuh tahun membuka pintu.
“Ini dari Wildan’
Khalid menyerahkan plastik pada sang anak. Sang anak memandang khalid lalu mengangguk. Tangan kanannya ia ulurkan menerima pemberian Khalid lalu pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Khalid ingin mengamuk melihat sikap anak yang tidak bisa berterima kasih pada pemberian orang lain.
Khalid ingin masuk rumah dan mencari si anak namun belum sempat kakinya melangkah ia sudah terpana untuk yang kedua kalinya. Anak yang tadi menerima tas plastik dari Wildan kini keluar sambil membawa wadah besar.
“Eh eh eh,”
Anak berusia sekitar tujuh tahun di depan Khalid kesulitan bicara. Khalid terpana. Anak kecil di hadapannya nampak sangat gugup. Ia nyaris gagal mengucapkan kalimat yang sudah mampir di tenggorokannya.
“Apa maksudnya?”
“Heh heh heh”
Tangan si anak melakukan gerakan tertentu, seolah menyampaikan pesan agar Khalid menyampaikan ucapan terima kasihnya pada Wildan. Bingung dengan jawaban apa yang akan ia lontarkan, khalid segera mengangguk dan meninggalkan anak yang tidak tahu siapa namanya.
“Kau sengaja membuat aku kewalahan dengan bocah laki-laki di rumah itu?’
Khalid duduk di kursi dekat Wildan yang masih menata plastik lain. Wildan memandang Khalid. Ia lupa kalau baru saja menyerahkan plastik warna ungu dan mengantar Khalid pada Ananto. Anak bisu yang tinggal berempat dengan ibu dan kedua adiknya. Awalnya Wildan ingin menyuruh Khalid menyerahkan plastik ke rumah sebelah rumah Ananto. Ternyata ia keliru.
“O jangan khawatir, mereka ada empat orang di dalam. semuanya bisu. Tidak bisa berbicara, baik ibu maupun kedua anaknya. Aku lupa kalau kau belum mengenal mereka. Lain kali akan aku kenalkan. Jangan khawatir, meski bisu, mereka semua orang shalih, insya Allah.”
“Aku tidak peduli.”
Khalid hendak meninggalkan Wildan, namun tangan Wildan segera mencekal lengan Khalid. Khalid awalnya menolak untuk duduk kalau Wildan tidak mengucapkan kalimat jaminan padanya.
“Masih belum selesai. Kali ini aku akan memberikan penawarnya. Aku jamin kau akan senang bila bertemu dengannya. Dia beda dengan tetangga-tetanggaku yang lain. Ini, tolong antar ke rumah itu.”
Kali ini rumah kecil bercat hijau muda. Dengan malas Khalid menerima dan melangkah meninggalkan Wildan. Langkah gontai yang sama sekali tidak menggambarkan kalau dia akan mendapatkan kejutan seperti yang Wildan katakan. Lima menit ia sudah sampai di depan rumah yang dimaksud Wildan. Sekali lagi ia ragu untuk mengetuk. Ia khawatir orang yang ada di dalam adalah orang cacat lagi dan membuatnya semakin marah.
“Permisi.”
Semenit, dua menit, tiga menit belum ada jawaban. Khalid mulai gelisah. Ia ingin meninggalkan rumah itu, namun ia ingat ucapan Wildan bahwa ia akan senang bila bertemu dengan penghuni rumah itu.
“Permisi”
Belum ada jawaban. Ia sudah mulai jengkel. Pandangannya ia tujukan pada Wildan yang melangkah menenteng beberapa plastik dengan berbagai warna menuju rumah lain di sebelah rumah kontrakannya.
“Kau sama sekali tidak peduli dengan penderitaanku sa . . .”
Kalimat Khalid terhenti ketika tiba-tiba di hadapannya muncul seorang gadis bermata elang memakai mukena, berdiri di hadapannya.
“Em, maaf, ada yang bisa aku bantu?” tanya sang gadis lembut. Suaranya yang merdu mampu menghipnotis Khalid. Ia benar-benar terpaku di tempatnya. Khalid takjub melihat gadis bermukena ungu. Ia sangat cantik dan bagi Khalid ini adalah anugerah terindah. Belum pernah ia melihat gadis secantik dan seanggun dirinya.
“Assalamualaikum, ada yang bisa aku bantu?”
“E . . . eh . . . i . . .iya,”
Khalid gagap. Ia kehilangan kata-kata yang akan ia ucapkan. Kata makian untuk Wildan entah pergi kemana. Kata untuk menjawab salam gadis ayu di hadapannya juga tidak tahu kemana. Khalid benar-benar tak bisa berucap. Sikapnya yang seperti itu membuat Dzi, membuka pertanyaannya.
“Ada yang bisa aku bantu?”
“Ini,” khalid menyodorkan plastik warna putih.
“O dari Mas Wildan ya?’
“I . . .iya. dari Wil . . . dan”
“Baiklah, sampaikan terima kasih padanya. Assalamualaikum”
Dzi meninggalkan Khalid. Masuk ke rumah dan menutup pintu segera. Khalid hanya menghela nafas kasar. Ia nampak sangat kecewa dengan apa yang dilakukan tetangga baru yang sudah mampu menyihirnya.
“Ha ha ha, kau kembalilah! Jangan di situ terus! Dia tidak akan membiarkan kamu masuk.” Kalimat Wildan membuyarkan lamunan Khalid. Ia segera melangkah meninggalkan rumah bercat hijau dan menghampiri Wildan.
“Sialan”
“Ha ha ha, kenapa? Rugi ya belum bisa berkenalan? Santai saja, dia tidak akan pergi dari rumah itu kok.”
“Huh terserah.”
Wildan tertawa melihat sikap khalid yang seperti anak kecil merajuk. Khalid yang ditertawakan mengalihkan pandangan ke lain arah. Ia ingin mencari rumah lain yang mungkin bisa membuatnya lepas dari tatapan Wildan yang sedang mengejek dirinya.
“Aku tahu kau kecewa. Kelak suatu saat kau akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.”
“Memangnya siapa dia?”
“Namanya Dzi”
“Dzi?”
“Ya.’
“Hanya Dzi?’
Wildan mengedikkan bahunya. Ia memang sudah mengenal Dzi hampir dua tahun tapi ia sama sekali tidak tahu nama lengkap gadis itu. bagi Wildan, Dzi hanyalah gadis yang pantas untuk dijadikan sebagai teman baik. Ia sering mengobrol dengannya, namun tak banyak yang menyinggu pribadi masing-masing.
“Entahlah. Aku tidak pernah mengobrol lama dan menanyakan nama lengkapnya. Kalau kau penasaran, besok aku tanyakan.”
“Eh, tidak tidak. Jangan!”
Wildan tertawa sekali lagi. ia tidak menertawakan sikap Khalid yang sedang menahan malu. Ia hanya menertawakan wajah pria di hadapannya yang mulai memerah meski hari sudah gelap dan lampu menyala temaram. Ia berfikir wajah memerah menahan malu hanya dimiliki seorang wanita tapi kenyataannya laki-laki juga bisa memiliki wajah yang sama saat malu.
“Yakin nih, tidak mau? Kalau tidak mau ya sudah. Aku malah senang tidak harus bertemu dia.”
“Kenapa? Kau tidak suka melihatnya?”
“Siapa bilang aku tidak suka. Sebagai laki-laki normal, aku pasti sangat menyukainya.”
“Karena dia cantik?”
“HA ha ha, kalau kau hanya memandang wanita karena cantik, kau akan sengsara.”
“Munafik kalau kau tidak suka wanita cantik.”
Wildan masih terpingkal. Ia benar-benar memiliki hiburan malam ini. Biasanya ia hanya sendiri melewati hari. Wildan bahagia kedatangan Khalid membawa warna tersendiri di rumahnya.
“Hei, dengarkan aku dulu! Siapa bilang aku tidak suka wanita cantik?”
“Itu tadi?”
“Yang mana?”
“Kalau hanya memandang wanita karena cantik aku akan sengsara.”
“Bagian mana yang mengatakan aku tidak suka wanita cantik?”
Khalid menggaruk kepalanya. Ia seperti mati kutu di hadapan Wildan. Bagi Khalid, Wildan bukan hanya pintar tapi juga luar biasa. Meski tawanya membuat dia kesal, namun bagi Khalid ia memiliki penilaian lain terhadap laki-laki yang baru saja menolongnya.
“Susah bicara sama kamu.”
“Kenapa?”
“Sudahlah! Jangan dilanjutkan. Aku capek ingin mandi dan istirahat.”
“Jangan istirahat sekarang, sebentar lagi azan isya.”
“Terserah. Aku mau mandi.”
Khalid meninggalkan halaman dengan Wildan yang masih sibuk membersihkan gerobak jualannya. Ia segera membuka kamar dan mengamati bahwa dalam kamar berukuran tiga kali empat itu sama sekali tidak tersedia kamar mandi dalam.
Ia melangkah. Menuju koper lalu membuka dan mengambil handuk serta perlengkapan mandi. kakinya ia ayunkan menuju Wildan yang kini sedang menutup pintu rumahnya.
“Dimana kamar mandi?”
“Di sebelah dapur”
“Dimana dapur?’
“Kau tidak bisa mencari sendiri?”
“Ah baiklah. Aku cari sendiri”
“Begitu lebih baik”
Semua pergi ke tempat tujuan masing-masing. Setengah jam kemudian Wildan sudah siap dengan baju koko dan sarung serta sajadah di sampirkan di pundak. Menghampiri kamar Khalid dan membukanya paksa meski ia tahu pintu kamar itu terkunci dari dalam.
“Buka pintunya!”
Tidak ada sahutan. Wildan mencoba untuk mengetuk lebih keras. Ia tidak mau Khalid tidur sebelum melaksanakan salat isya berjamaah di masjid.
“Aku tahu kau di dalam. Jangan pernah menghindariku karena aku akan terus mengajakmu untuk pergi ke masjid. Jangan sia-siakan masa hidup kita. Kita masih muda tapi siapa yang menjamin usia kita masih lama? Bangun dan ikut aku ke masjid sekarang!”
Ceklek
Khalid sudah berdiri di depan Wildan sambil berkacak pinggang. Wajahnya masih nampak sangat kesal. Khalid mungkin belum bisa melupakan tawa Wildan yang baginya sangat menyebalkan.
“Kau yakin aku mau?”
“Harus yakin. Allah Yang Maha Pembolak balik hati manusia akan membalik hatimu untuk mau mengikutiku ke masjid. Aku bodoh tapi Allah Maha segalanya.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Aku akan tetap berjuang.”
“Kepedean.”
“Ha ha ha, kau ini seperti perempuan saja.”
“Sialan. Pergi sana! Jangan ganggu aku! Aku akan ke rumah temanku.”
“Tidak ada rumah teman kalau kau sudah tinggal di rumah ini. Aku tidak akan mengijinkanmu meninggalkan rumah kalau kau masih belum salat isya. Jam malam di sini sampai jam sembilan.”
Khalid melototkan matanya. Ia sama sekali tidak yakin dengan apa yang diucapkan Wildan tentang jam malam yang diberlakukan di rumah barunya.
“Apa-apaan ini. Aku tidak suka dengan aturan yang kau buat untukku.”
“Kalau tidak mau ya silakan tinggalkan tempat ini! Aku tidak akan toleran dengan orang-orang yang semau sendiri sepertimu”
Wildan meninggalkan Khalid dan menuju masjid tempat biasa dia mengumandangkan azan.
Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.Tek tekSuara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan ora
Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya. “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”“Dua ratus ribu?”“Ya.”“Sehari?
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De
Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu
Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me