Share

5. Teman Baru

Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.

“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.

Tek tek

Suara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.

Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan orang yang ia harapkan.

“Allahu akbar”

Sang imam sudah memulai memimpin jalannya shalat diikuti oleh semua jamaah. Wildan memulai shalat mengikuti gerakan-gerakan imam. Ia khusu’ fokus pada Allah Yang Maha Sempurna, menyembah Sang pencipta.

Setelah selesai berdikir, Wildan mengedarkan pandangannya sekali lagi, berharap ada sosok laki-laki yang sangat ia harapkan kehadirannya di sana bersamanya.

“Hah,” ia mendesah kecewa. Khalid tidak datang seperti apa yang ia harapkan.

“Tadi ada yang datang mengantar seblak ke rumah, siapa dia, Mas? Apa saudaramu? Kenapa sekarang tidak ikut ke masjid?” tanya Karyo, tetangga kontrakan. Laki-laki paruh baya itu mengamati wajah Wildan yang tak biasa.

“Dia belum berkenan datang, Pak. Kita doakan semoga besok-besok Allah membukakan pintu hatinya dan mau bersama kita melengkapi barisan ini.” Sahut Wildan lesu.

Karyo mengangguk dan mengatakan aamiin. Orang-orang di sekeliling mereka juga melakukan hal yang sama. Mengangguk dan mengaminkan ucapan Wildan. Mereka sudah paham mengapa orang jarang mau ke masjid. Mereka terbiasa nyaman di rumah. Andai semua laki-laki tahu setiap langkah menuju masjid dihitung pahala. Satu langkah sama dengan sepuluh derajat. Semakin jauh jarak rumah dengan masjid maka semakin banyak pahala yang didapat. Tapi bukan hal rahasia lagi. perjalanan paling sulit dan paling jauh adalah perjalanan menuju masjid. Itu terjadi karena memang berat. Perlu kesadaran tersendiri untuk bisa sadar akan hal itu.

“Jualannya kok tidak pernah habis to, Mas? Bapak kira banyak pelanggan yang selalu menanti kedatangan Mas. Tapi setiap hari Mas selalu memberi makanan pada kami sehabis jualan.” Wildan tersenyum.

“Alhamdulillah saya selalu senang untuk membagi makanannya, Pak Karyo. Itung-itung untuk sedekah. Walau katanya sedekah harus memakai bahan terbaik, tapi saya memang masih baru bisa memberi barang sisa setiap hari. Semoga Allah mencatat semua amal ibadah saya dan kelak bisa bertemu di akhirat, Pak.”

“Bukan makanan sisa, Mas. Mas memberikan makanan yang terbaik juga. Semoga Allah membalas dengan balasan terbaik.”

“Aamiin.”

“O iya, Mas, kok teman Mas ada di depan masjid dan tidak masuk?”

Wildan mendesah. Ada beban yang tiba-tiba hadir di kepalanya. Ia alihkan pandangan keluar, mencoba mengalihkan perhatian Karyo agar tidak mendesaknya menjawab pertanyaannya. Ekor matanya menangkap dua orang, laki-laki dan perempuan sedang berdiri di halaman masjid.

“Dzi?’ gumamnya. Karyo yang mendengar gumaman Wildan ikut menoleh.

“Mbak Dzi cantik sekali memang ya, Mas. Tidak heran kalau banyak lelaki yang tertarik padanya”

Wildan terpana memandang Karyo yang salah paham. Ia mengira Wildan jatuh cinta juga pada Dzi, gadis yang kini sedang berbincang dengan laki-laki di halaman masjid.

“He he he, bukan hanya karena cantik, Pak. Saya kira semua orang memiliki alasan tersendiri mengapa memilih dekat dengan Dzi. Dia lembut dan baik hati. Tapi siapa laki-laki yang bersamanya?”

Karyo menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran dengan Wildan yang seolah tidak mengenal sang lelaki yang sedang sibuk mengobrol meski lawan bicaranya sudah nampak sangat jengah.

“Bapak mengenalnya?”

“Dia kan teman Mas Wildan yang mengantar makanan ke rumah Antoni tadi. Masa Mas Wildan lupa sih.”

“Masya Allah. Apakah benar dia Sahal?’

“Sahal? Siapa Sahal?’

“Ya laki-laki temanku itu namanya Sahal. Mari, Pak, saya pulang dulu ingin memastikan kalau benar yang bersama Dzi adalah Sahal.”

“Mas cemburu ya?’ goda Karyo. Wildan tersenyum lalu menggeleng.

“Tidak cemburu, tapi hanya ingin tahu, Pak. Mari, Assalamualaikum”

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh.”

Wildan meninggalkan masjid, menuju halaman dan memandang sekeliling. Mencari dua sosok yang sejak tadi ingin ditemuinya, namun gagal. Sang lelaki sudah tidak ada di tempat sedangkan dzi, gadis yang sejak dulu ia sukai sedang melangkah meninggalkannya.

Wildan mendesah. Pandangan ia edarkan ke rumahnya, mencari sosok Khalid, barangkali masih berjalan menuju rumah atau setidaknya kini sudah membuka pintu rumah, namun nihil. Tidak ada satu laki-lakipun yang berjalan di hadapannya.

Sampai di rumahnya, Wildan segera membuka pintu dan mengucapkan salam. Langkahnya ia arahkan ke kamar Khalid. Mencoba memastikan kalau teman barunya benar-benar baru saja pulang dari masjid.

Tok tok tok

Wildan mengetuk pintu, mencoba mengusik penghuni kamar yang baru yang kini sedang berbaring setelah melepas pakaian dan mengganti dengan kaos santai.

“Apakah kau di dalam, Sahal?”

“Masuklah!” suara Khalid membuyarkan lamunan Wildan. Tanpa menunggu perintah dua kali, Wildan membuka pintu lalu melangkah masuk. Mencoba memandang sekeliling kamar. Wajah Khalid nampak seperti orang baru bangun tidur. Bukan orang yang baru saja dari masjid. Wildan memandang wajah Khalid seksama membuat Khalid menatap Wildan heran.

“Ada yang aneh dengan wajahku?”

“Tidak.”

“Kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?”

Wildan menggeleng. ia tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Ia mulai meragukan ucapan Karyo tentang laki-laki yang  mengobrol dengan Dzi.

“Apakah kau baru saja tidur?”

“Seperti yang kau lihat.” Sahut Khalid santai. Ia mengucek matanya untuk membuat Wildan lebih percaya bahwa dirinya memang baru bangun dari tidur meski ia belum tidur sama sekali. Khalid merebahkan tubuhnya kembali. Ia sengaja membelakangi Wildan untuk mengelabui teman barunya yang nampak sangat kebingungan.

Khalid yang memang baru pulang dari masjid tidak ingin memberitahu Wildan. Ia tahu Wildan tidak akan mempercayai apa yang dia ucapkan.

“Benarkah?”

“Ada apa sebenarnya?”

“Ah, tidak. Kau memang seperti orang yang baru saja tidur. Maaf kalau mengganggu. Tapi  . . . “

Wildan menjeda kalimatnya. Ia tidak ingin mlanjutkan kalimatnya karena ia tahu Khalid akan marah. Ia akan mengulur kesabarannya hingga Tuhan memberinya kesempatan mengobrol berdua dengan Khalid.

“Tapi apa?”

“Tidak apa-apa. lupakan!”

“Aku sama sekali tidak peduli kalau kau memang salah paham denganku. Tidak ada pengaruhnya juga untukku dan kehidupanku. Walau kau sudah memberikan kamar ini untuk kutempati, tapi kau juga harus ingat bahwa aku memiliki separuh hak atas rumah ini, bukan?”

“Ah, bukan itu maksudku. Lupakan! Aku sama sekali tidak menginginkan kau salah paham karena rumah ini. Aku membantumu juga karena rasaku mengatakan kau orang baik. Tapi . . . mengapa kau tidak mau kuajak ke masjid?’

“Aku akan melakukan semuanya dengan kesadaran sendiri, bukan karena ajakanmu.”

“Ok, baiklah. Aku tidak akan mengganggumu. Kau sudah salat?”

“Sudah.”

“Kalau begitu, aku akan keluar. Maafkan kesalahpahaman ini!”

Wildan melangkah meninggalkan kamar Khalid. Perasaannya campur aduk, antara percaya Khalid baru saja tidur dan penampakan laki-laki mirip Khalid di halaman masjid bersama Dzi.

“Ah, aku akan mencari tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. Tapi untuk apa? Apa itu penting untukku? Tidak. Aku tidak akan melakukan perbuatan sia-sia. Aku yakin siapapun dia, dia tidak akan mengganggu Dzi dan membuat hdupnya tidak tenang karenanya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status