Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.
“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.
Tek tek
Suara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.
Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan orang yang ia harapkan.
“Allahu akbar”
Sang imam sudah memulai memimpin jalannya shalat diikuti oleh semua jamaah. Wildan memulai shalat mengikuti gerakan-gerakan imam. Ia khusu’ fokus pada Allah Yang Maha Sempurna, menyembah Sang pencipta.
Setelah selesai berdikir, Wildan mengedarkan pandangannya sekali lagi, berharap ada sosok laki-laki yang sangat ia harapkan kehadirannya di sana bersamanya.
“Hah,” ia mendesah kecewa. Khalid tidak datang seperti apa yang ia harapkan.
“Tadi ada yang datang mengantar seblak ke rumah, siapa dia, Mas? Apa saudaramu? Kenapa sekarang tidak ikut ke masjid?” tanya Karyo, tetangga kontrakan. Laki-laki paruh baya itu mengamati wajah Wildan yang tak biasa.
“Dia belum berkenan datang, Pak. Kita doakan semoga besok-besok Allah membukakan pintu hatinya dan mau bersama kita melengkapi barisan ini.” Sahut Wildan lesu.
Karyo mengangguk dan mengatakan aamiin. Orang-orang di sekeliling mereka juga melakukan hal yang sama. Mengangguk dan mengaminkan ucapan Wildan. Mereka sudah paham mengapa orang jarang mau ke masjid. Mereka terbiasa nyaman di rumah. Andai semua laki-laki tahu setiap langkah menuju masjid dihitung pahala. Satu langkah sama dengan sepuluh derajat. Semakin jauh jarak rumah dengan masjid maka semakin banyak pahala yang didapat. Tapi bukan hal rahasia lagi. perjalanan paling sulit dan paling jauh adalah perjalanan menuju masjid. Itu terjadi karena memang berat. Perlu kesadaran tersendiri untuk bisa sadar akan hal itu.
“Jualannya kok tidak pernah habis to, Mas? Bapak kira banyak pelanggan yang selalu menanti kedatangan Mas. Tapi setiap hari Mas selalu memberi makanan pada kami sehabis jualan.” Wildan tersenyum.
“Alhamdulillah saya selalu senang untuk membagi makanannya, Pak Karyo. Itung-itung untuk sedekah. Walau katanya sedekah harus memakai bahan terbaik, tapi saya memang masih baru bisa memberi barang sisa setiap hari. Semoga Allah mencatat semua amal ibadah saya dan kelak bisa bertemu di akhirat, Pak.”
“Bukan makanan sisa, Mas. Mas memberikan makanan yang terbaik juga. Semoga Allah membalas dengan balasan terbaik.”
“Aamiin.”
“O iya, Mas, kok teman Mas ada di depan masjid dan tidak masuk?”
Wildan mendesah. Ada beban yang tiba-tiba hadir di kepalanya. Ia alihkan pandangan keluar, mencoba mengalihkan perhatian Karyo agar tidak mendesaknya menjawab pertanyaannya. Ekor matanya menangkap dua orang, laki-laki dan perempuan sedang berdiri di halaman masjid.
“Dzi?’ gumamnya. Karyo yang mendengar gumaman Wildan ikut menoleh.
“Mbak Dzi cantik sekali memang ya, Mas. Tidak heran kalau banyak lelaki yang tertarik padanya”
Wildan terpana memandang Karyo yang salah paham. Ia mengira Wildan jatuh cinta juga pada Dzi, gadis yang kini sedang berbincang dengan laki-laki di halaman masjid.
“He he he, bukan hanya karena cantik, Pak. Saya kira semua orang memiliki alasan tersendiri mengapa memilih dekat dengan Dzi. Dia lembut dan baik hati. Tapi siapa laki-laki yang bersamanya?”
Karyo menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran dengan Wildan yang seolah tidak mengenal sang lelaki yang sedang sibuk mengobrol meski lawan bicaranya sudah nampak sangat jengah.
“Bapak mengenalnya?”
“Dia kan teman Mas Wildan yang mengantar makanan ke rumah Antoni tadi. Masa Mas Wildan lupa sih.”
“Masya Allah. Apakah benar dia Sahal?’
“Sahal? Siapa Sahal?’
“Ya laki-laki temanku itu namanya Sahal. Mari, Pak, saya pulang dulu ingin memastikan kalau benar yang bersama Dzi adalah Sahal.”
“Mas cemburu ya?’ goda Karyo. Wildan tersenyum lalu menggeleng.
“Tidak cemburu, tapi hanya ingin tahu, Pak. Mari, Assalamualaikum”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh.”
Wildan meninggalkan masjid, menuju halaman dan memandang sekeliling. Mencari dua sosok yang sejak tadi ingin ditemuinya, namun gagal. Sang lelaki sudah tidak ada di tempat sedangkan dzi, gadis yang sejak dulu ia sukai sedang melangkah meninggalkannya.
Wildan mendesah. Pandangan ia edarkan ke rumahnya, mencari sosok Khalid, barangkali masih berjalan menuju rumah atau setidaknya kini sudah membuka pintu rumah, namun nihil. Tidak ada satu laki-lakipun yang berjalan di hadapannya.
Sampai di rumahnya, Wildan segera membuka pintu dan mengucapkan salam. Langkahnya ia arahkan ke kamar Khalid. Mencoba memastikan kalau teman barunya benar-benar baru saja pulang dari masjid.
Tok tok tok
Wildan mengetuk pintu, mencoba mengusik penghuni kamar yang baru yang kini sedang berbaring setelah melepas pakaian dan mengganti dengan kaos santai.
“Apakah kau di dalam, Sahal?”
“Masuklah!” suara Khalid membuyarkan lamunan Wildan. Tanpa menunggu perintah dua kali, Wildan membuka pintu lalu melangkah masuk. Mencoba memandang sekeliling kamar. Wajah Khalid nampak seperti orang baru bangun tidur. Bukan orang yang baru saja dari masjid. Wildan memandang wajah Khalid seksama membuat Khalid menatap Wildan heran.
“Ada yang aneh dengan wajahku?”
“Tidak.”
“Kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?”
Wildan menggeleng. ia tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Ia mulai meragukan ucapan Karyo tentang laki-laki yang mengobrol dengan Dzi.
“Apakah kau baru saja tidur?”
“Seperti yang kau lihat.” Sahut Khalid santai. Ia mengucek matanya untuk membuat Wildan lebih percaya bahwa dirinya memang baru bangun dari tidur meski ia belum tidur sama sekali. Khalid merebahkan tubuhnya kembali. Ia sengaja membelakangi Wildan untuk mengelabui teman barunya yang nampak sangat kebingungan.
Khalid yang memang baru pulang dari masjid tidak ingin memberitahu Wildan. Ia tahu Wildan tidak akan mempercayai apa yang dia ucapkan.
“Benarkah?”
“Ada apa sebenarnya?”
“Ah, tidak. Kau memang seperti orang yang baru saja tidur. Maaf kalau mengganggu. Tapi . . . “
Wildan menjeda kalimatnya. Ia tidak ingin mlanjutkan kalimatnya karena ia tahu Khalid akan marah. Ia akan mengulur kesabarannya hingga Tuhan memberinya kesempatan mengobrol berdua dengan Khalid.
“Tapi apa?”
“Tidak apa-apa. lupakan!”
“Aku sama sekali tidak peduli kalau kau memang salah paham denganku. Tidak ada pengaruhnya juga untukku dan kehidupanku. Walau kau sudah memberikan kamar ini untuk kutempati, tapi kau juga harus ingat bahwa aku memiliki separuh hak atas rumah ini, bukan?”
“Ah, bukan itu maksudku. Lupakan! Aku sama sekali tidak menginginkan kau salah paham karena rumah ini. Aku membantumu juga karena rasaku mengatakan kau orang baik. Tapi . . . mengapa kau tidak mau kuajak ke masjid?’
“Aku akan melakukan semuanya dengan kesadaran sendiri, bukan karena ajakanmu.”
“Ok, baiklah. Aku tidak akan mengganggumu. Kau sudah salat?”
“Sudah.”
“Kalau begitu, aku akan keluar. Maafkan kesalahpahaman ini!”
Wildan melangkah meninggalkan kamar Khalid. Perasaannya campur aduk, antara percaya Khalid baru saja tidur dan penampakan laki-laki mirip Khalid di halaman masjid bersama Dzi.
“Ah, aku akan mencari tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. Tapi untuk apa? Apa itu penting untukku? Tidak. Aku tidak akan melakukan perbuatan sia-sia. Aku yakin siapapun dia, dia tidak akan mengganggu Dzi dan membuat hdupnya tidak tenang karenanya.”
Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya. “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”“Dua ratus ribu?”“Ya.”“Sehari?
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De
Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu
Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me
Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras. Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.“Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata