Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya.
“Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.
“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”
“Dua ratus ribu?”
“Ya.”
“Sehari?
Wildan mengangguk. Ia tidak bersuara karena fokusnya sedang ada pada hitungan koin yang sudah ia ikat dengan plester dalam jumlah tertentu.
“Apakah kau tidak ingin bekerja?’
“Aku sudah bekerja. Mau kerja apa lagi?”
Khalid menggeleng. ia lupa pada kondisinya sekarang. Ia ingin menawarkan pekerjaan pada Wildan untuk sebuah posisi bagus di perusahaannya namun ia urungkan.
“Kerja yang lebih menghasilkan uang banyak lah.”
“Maksudmu menjadi karyawan? Sepertimu?”
“Ya. Menjadi karyawan kan kelihatan lebih keren daripada mendorong gerobak dorong setiap hari.”
Akhirnya Khalid mengalah. Ia lebih suka ketika Wildan mengatakan dirinya sebagai karyawan tanpa harus berpura-pura.
“Biarkan saja aku tidak keren asalkan posisiku saat ini adalah bos. Walau hanya bos kecil ha ha ha. Bos yang penghasilan hariannya hanya ratusan ribu rupiah. Aku ikhlas kok jadi bos kecil. Daripada jadi karyawan, setiap hari tenaga dikuras, diforsir sedemikian rupa tapi penghasilan nyaris sama.”
“Setidaknya kau bisa sedikit lebih beehemat tenaga, Wildan. Tenagamu bisa kau simpan lebih lama, kalau kau mau.”
“Lalu aku akan bekerja dimana? Aku sudah enak dan nyaman dengan kondisiku saat ini. Jangan kau usik aku. Aku tidak akan tergoda dengan bujuk rayu karyawan yang sudah keluar dari perusahaan. Ha ha ha. Kalau kau ingin berdagang, aku bisa mengajarimu.
“Dagang ya? Dagang apa?”
“Sesuaikan dengan skill dan hobimu saja. Kalau suka memasak seperti aku, dagang makanan, kalau tidak ya dagang apapun lah. Asalkan tidak menganggur. Selain tidak enak, menganggur juga membuat kita menjadi malas.”
“Aku ingin seperti ini dulu, Dan. Biarlah menganggur dulu yang penting hatiku tenang.’
“Mana ada menganggur tenang. kamu akan semakin malas kalau terus-menerus menganggur.”
Khalid memandang Wildan. Ia ingin sekali tertawa mendengar ucapan Wildan. Tapi kalau dia tertawa Wildan pasti akan curiga dengan penyamarannya. Bisa saja Wildan akan mencari tahu siapa dirinya sebenarnya.
“Ya tidak terus menerus juga. Aku akan berusaha mencari perusahaan baru untuk bekerja.”
“Sambil mencari kerja, kau bisa membantuku nanti aku kasih imbalan.”
“Boleh juga usulmu. Aku akan memepertimbangkan lagi.”
“Yakin mau? Tidak keren lho.”
Khalid mengangguk sambil menggaruk kepalanya. Ia sebenarnya malu kalau harus mengikuti Wildan. Berjualan keliling dengan berjalan kaki pasti sangat melelahkan.
“HA ha ha, kau bilang aku harus bergerak, bekerja, jangan menganggur kan? Kenapa jadi kamu yang ragu?”
“Ya karena ragu saja. Orang sekeren kamu mau menjadi orang suruhanku?”
“Asalkan aku bisa dapat uang kan?”
“YA jangan begitu. Kau bekerja karena untuk beribadah. Mencari nafkah setidaknya untuk menyiapkan kehidupan saat ini demi kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.”
“Bimbing aku ya, supaya aku bisa sepertimu. Istiqomah memegang prinsip yang benar”
Wildan mengangguk penuh semangat. Ia melanjutkan kegiatannya, menghitung uang hasil berjualan dan memasukkan ke dalam beberapa tempat.
“Ah, kau jangan berlebihan. Aku bukan orang yang istiqamah juga. Kadang kala aku juga bisa lemah.”
“Yah, selemah apapun kondisimu, kayaknya aku yakin kalau kau selalu menempuh jalan yang terbaik untuk solusimu.”
“Darimana kamu tahu?”
“Feeling”
“Feeling yang bagaimana?”
“Yaa feeling aja, bisa dirasakan tapi susah dijelaskan”
Wildan mengambil buku catatan. Mencatat jumlah uang yang di kaleng roti berbentuk silinder lalu beralih pada kaleng roti berbentuk kubus dan uang kertas lima puluh ribu dan seratus dalam amplop coklat. Khalid terus memerhatikan Wildan. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa Wildan melakukan itu semua.
“Kenapa memandangku seperti itu?”
“Aneh saja. Kau memisahkan uangmu di tempat berbeda.”
“Kaleng silinder untuk infak. Kaleng kubus untuk simpanan, kalau jumlahnya sudah banyak kutukar di warung atau pom bensin. Sebagai tambahan investasi untuk mengembangkan jualan dan buat biaya kuliahku.”
“Kau masih kuliah?”
“S2.”
“Wah hebat kamu. Tapi kalau kau sarjana, mengapa harus jualan keliling? Tidak tertarik kerja di perusahaan gitu?”
Wildan menggeleng sekali lagi.
“Tidak. Kalau kau memandangku sebagai seorang pedagang kaki lima seperti ini dan penghasilanku tak seberapa tak apalah. Asalkan halal dan toyyib aku ikhlas menerima. Yang penting bagiku adalah kerja dan dapat penghasilan, terlepas dari bagaimana aku endapatkannya, aku tak begitu ambil pusing. Apalagi terhadap pandangan orang.”
“Kamu kan orang berpendidikan, Dan. Masa iya tidak ingin dipandang sebagai orang yang mampu memiliki kehidupan lebih baik.”
Wildan tertawa lalu menggeleng pelan. Ia sandarkan tubuh lelahnya di sandaran sofa. Matanya memandang langit-langit rumahnya, mencoba menenangkan perasaannya agar tidak emosi pada penilaian Khalid padanya.
“Aku kuliah hanya untuk menuntut ilmu, bukan untuk agar aku dapat ijasah dan mendapatkan pandangan apa-apa dari manusia. Orang berilmu ditinggikan derajatnya oleh Allah. Sudah itu saja. Kau boleh heran denganku atau tidak up to you. Aku tidak ambil pusing sama sekali, yang penting aku punya waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah dengan khusu’ tanpa terbebani waktu kerja yang terikat seperti di kantoran.”
“Kau tidak ingin memiliki karyawan dan mengembangkan usaha?”
“Ingin”
“Lantas mengapa tidak kau lakukan?”
“Hah, sementara seperti ini sudah cukup. Aku sudah bersyukur Allah menyayangiku dengan sempurna.”
“Aneh. Biasanya manusia akan lebih memilih untuk dipandang mewah oleh manusia. Dia mengejar apapun demi bisa dikatakan sebagai orang hebat dan memiliki derajat dan pangkat.”
“Itu mereka, bukan aku. Ah sudahlah. Yang jelas saat ini aku ingin fokus pada daganganku. Kau bisa membantuku menyiapkan bahan-bahan untuk esok kan?”
“Apa?”
“Kau blender cabai di dapur. Aku akan menyiapkan bumbu agar besok bisa segera berjualan lebih pagi.”
“Ap . . . apa maksudnya? Aku blender cabai?’ tanya Khalid gugup. Di rumahnya, ia sama sekali tidak pernah memegang alat-alat apapun. Jangankan memblender cabai, melihat alat untuk memblender saja ia tidak pernah. Tapi kali ini, tidak ada pilihan lain selain menurut.
Wildan melangkah ke dapur setelah menyimpan wadah berii uang di kamarnya. Khalid mengikuti langkah Wildan menuju dapur, lalu duduk di kursi tak jauh dari temannya. Wildan nampak sibuk menyiapkan segala sesuatu lalu meletakkan blender di depan Khalid.
“Ambil cabainya di kulkas!”
Khalid mengangguk. Ia segera melangkah menuju kulkas satu pintu yang terletak di sudut ruangan, membuka pintunya dan melihat isinya. Ia terpana memandang isi kulkas yang nyaris kosong. Hanya ada beberapa benda di sana. Tidak seperti kulkas di apartemen dan rumah utama yang selalu terisi penuh dengan makanan.
“Mana cabainya?’
Wildan memandang kulkas dan tersenyum. Ia mendekat, lalu mengulurkan tangan mengambil sesuatu yang ia bungkus dengan koran lalu menyerahkannya pada Khalid.
“Ambillah!”
“Tapi aku . . .”
Khalid menggaruk kepalanya. Ia menoleh ke arah kulkas dua pintu di sudut ruangan. Perlahan ia melangkah, mendekati kulkas dan membukanya.
“Kenapa ragu?”
“Aku tak pernah memblender.”
“Ha ha ha, baiklah. Ikuti aku! Aku akan mengajarimu supaya besok kau bisa lebih cekatan.”
“Yang pertama cuci cabai, lalu masukkan ke dalam blender ini. Tambahkan air sedikit, lalu tutup dan kau nyalakan tombol on seperti ini.
Blender berdering, nyaring memekakkan telinga membuat Khalid sedikit memundurkan tubuhnya. Wildan yang tahu kalau Khalid terkejut segera mematikan blendernya dan menyerahkan pekerjaannya pada Khalid.
“Kau lanjutkan! Jangan lama-lama. Walaupun belum halus, coba untuk mematikan setiap lima menit ya. Aku tidak mau blenderku rusak. Belum ada uang untuk menggantinya.”
Demi Tuhan Khalid ingin mengatakan kalau dia lebih baik mengganti blender Wildan yang rusak daripada harus bekerja keras membuat dirinya susah.
“Baiklah. Aku akan menuruti semua arahanmu.”
“Harus itu. Kau harus mengikuti arahanku kalau tidak . . .”
“Kalau tidak kenapa?”
“Kau akan merusak dan merugikanku.”
“Aku bisa ganti rugi.”
“Ah, jangan berfikir kau akan ganti rugi, ganti rugi. Yang ada nanti uangmu akan habis. Kau harus berhemat, jangan sampai kau hanya menumpang saja di sini karena tidak memiliki uang.”
“Baiklah, Tuan Raja.”
“Aku bukan raja.”
“Kau bilang kau bos kecil kan?’
“Hanya bos kecil. Bukan raja.”
“Ok, baiklah Boss.”
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut
“Aku tadi yang memesan lewat wa, Mas.” Kata sang gadis sambil memandang dua orang temannya yang kini sudah mengambil tempat duduk.“Kau tidak bekerja, Nda?” tanya Wildan sambil menyiapkan hidangan.“Ini dalam rangka sedang istirahat, Mas. Kalau tidak bekerja terus aku mau makan apa? Aku tidak bisa diam saja sambil mengharap pemberian orang tua. Kalau Mas Wildan enak bisa jualan. Setidaknya bisa setiap hari dapat duit.”“Kau juga bisa kalau mau.”“Belum ada modalnya, Mas.”“Kalau modal mah bukan yang utama, Nda. Asalkan kau punya tekad yang kuat, modal lima ratus pasti bisa.”Nah itu dia. Lima ratus itu duit darimana coba, Mas. Aku saja kerja hanya dapat tiga sampai empat juta sebulan. Buat makan harian, aku harus menghabiskan seratus ribu sehari. Coba tinggal berapa uangku, Mas”Wildan menggaruk kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan pola pikir Nand
“Nandaaaa, “ seru Bekti sambil mencubit pinggang Nanda. Sontak saja Nanda menjerit.“Apaan ih cubit-cubit. Sakit tau?” bentak Nanda. Ia mengusap bekas cubitan Bekti sambil meringis menahan sakit.“I . . .itu pangeran tampan sekali” seru Winda dan Bekti bersama-sama. Wildan dan Nanda yang mendengar penuturan kedua gadis di hadapannya segera menolehkan kepalanya memandang pria tampan yang baru datang.“Ih apaan sih kalian. Norak banget ah.”“Biarin norak asal tuh pangeran jatuh cinta ke aku, Ndaa. Ck ck ck, cakep banget.”“Selamat siang”“Eh si . . .siang, Tuan.” Sahut Nanda mendahului teman-temannya.“Aku mencari Sahal.’Nanda dan kedua sahabatnya saling pandang. Sedang Wildan yang sudah mengetahui siapa laki-laki di hadapannya hanya diam.“Sahal? Siapa dia?”“Aku tidak tahu dia kemana.”De
Di sebuah gasebo dekat dengan sebuah rumah sehat Al Fitrah, seorang gadis sedang menghadap laptopnya, menyiapkan beberapa proposal pengajian remaja dan bakti sosial. Gasebo indah yang menjadi tempat favorit Dzi menghabiskan waktu saat di Al Fitrah.“Assalamualaikum”Seorang laki-laki menghampiri Dzi yang masih asik menyusun kalimat.“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.,” Dzi menghentikan kegitannya, lalu menoleh ke arah sumber suara.“Mas Sahal?’ “Dik Dzi? Kenapa di sini? Siapa yang sakit?”Dzi tersenyum. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan bertemu dengan Sahal. Laki-laki yang menjadi tetangga barunya.“Tidak ada yang sakit, Mas. Saya hanya senang kalau duduk di sini. Itu saja. Mas sendiri mengapa ke sini? Siapa yang sakit?”“Papa.”“O, sakit apa?”&ldqu
Sampai di ruang perawatan, Raharja dipindahkan ke dipan.“Alhamdulillah, akhirnya Papah bisa berbaring.”“Iya, Mah. Setidaknya ini bisa membuat Papah lebih rileks bisa mengendorkan otot-otot Papah yang kencang.”“Mana Saifi ya, Pah? Mamah yakin dia yang sudah berjuang untuk ini.”“Semoga dia segera masuk Mah. Dia anak baik.”“Iya, Pah. Kalau saja Khalid anak nakal itu tidak pergi, dia pasti bisa berkenalan dengan Saifi hari ini. Tapi kebiasaan anakmu selalu pergi tanpa pamit padaku.”“Kamu juga tidak boleh terlalu memaksakan kehendakmu sendiri. Belajarlah untuk menjadi seorang ibu yang lemah lembut.”“Inginnya sih lemah lembut, Pah. Tapi rasanya susahnya luar biasa. Anakmu selalu saja punya alasan untuk membuat Mamah marah.”“Memang mudah untuk marah Ibu. Tapi Allah lebih suka orang yang bijaksana yang mampu mengendaikan emosinya tanpa harus membabi buta”“Saifi? Kamu sudah datang, Nak?”“Iya, Bu. Tadi saya menghubungi bagian terapi dan meminta me
Sepeninggal Dzi, Khalid masuk ke ruangan dan bergabung dengan Nancy dan Raharja yang sudah menyelesaikan terapinya. Raharja nampak berkeringat deras. Ia duduk di kursi dekat dengan Nancy yang kini sedang mengupaskan buah untuknya.“Bagaimana, Pah? Apakah Papah sudah lebih baik sekarang?’ tanya Khalid sambil memandang Fatah dan Widodo yang duduk terpisah.“Seperti yang kamu lihat. Papah sudah bisa berjalan tanpa kursi roda lagi.”“Tapi Papah harus berhati-hati. Jangan terlalu gegabah, Pah. Agar Papah tidak kambuh lagi.”“Papah sudah sehat dan baikan. Kau tidak perlu khawatir. Papah baik-baik saja.”“Khalid heran mengapa Papah sekarang keras kepala sekali. Apakah mereka yang mengajari Papah seperti ini?”“Kau yang keras kepala. Kecil-kecil sudah berani pada Papahmu. Kau kemana saja? Kenapa pergi-pergi terus tanpa pamit? Apakah kau sama sekali tidak ingin mendampingi Papah terapi?” ucap Nancy sambil bersungut-sungut. Ia jengkel memandang anak semata
Khalid masih memikirkan apa yang dikatakan oleh sang Mama mengenai gadis bernama Saifi. Pikirannya kalut. Ia sama sekali tidak bisa berfikir jernih.“Ah, mengapa Mamah selalu saja membuatku gila?” gumam Khalid sambil meremas rambutnya. Kakinya ia langkahkan menjauh dari rumah utama. Entah berapa lama ia sibuk dengan pikiran-pikiran dan bayangannya.“Tuhan. Andai aku boleh memilih antara menuruti keinginan Mamah dan keinginan hatiku, aku ingin menuruti keinginan hatiku karena aku tahu sumber kebahagiaanku. Tapi . . . kalau aku mengingat semua kebaikan Mamah padaku, aku memang berat untuk menolak.”Khalid masih melangkah tanpa tahu kemana kakinya berjalan meninggalkan rumahnya. Hingga dimenit yang entah keberapa, dia mencapai sebuah taman. Matanya ia edarkan, menatap sekeliling dimana disana banyak sekali anak-anak sedang bermain menanti datangnya senja, ah lebih tepatnya menikmati senja bersama kedua orang tua atau entah siapa.