Share

7. Kabar dari Mama

Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya.  Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.

“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”

Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.

“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”

Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.

“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”

“Ada apa?”

“Nyonya mencari Tuan. Katanya Tuan besar sakitnya semakin parah. Minta segera mendapatkan menantu.”

Khalid berdecak kesal. Ia tahu mamanya hanya mencari alasan agar dirinya mau menerima perjodohan yang sudah diatur mamanya dengan gadis yang entah siapa.

“Ada-ada saja Mama. Apakah Mama yakin kalau aku menikah sakit Papa segera sembuh?’

“Entahlah, Tuan. Pokoknya aku sampai lelah menjelaskan pada Nyonya yang selalu bertanya dan mengorek informasi terus.”

“Awas saja kalau kau sampai membocorkan rahasiaku. Katakan pada Mama kalau aku sudah punya gadis incaran. Gadis baik yang akan membuat Mama bangga dan bahagia.”

Defandra mengangguk. Entah benar atau tidak kalimat yang diucapkan Khalid, ia tetap berharap bahwa Bosnya akan benar-benar menjadi manusia normal yang mau bekerja di kantornya.

“Tuan bicara saja sendiri pada Nyonya besar. Jangan suruh aku untuk berbohong.”

“Siapa pula yang menyuruhmu berbohong. Aku benar-benar menemukan gadis baik.”

“Baiklah baiklah, aku percaya Tuan pasti akan menemukan gadis baik. Secara Tuan adalah pria dewasa yang tampan dan mapan. Sangat mudah untuk menemukan gadis sesuai kriteria Tuan.”

“Hei dodol, sekarang penampilan dan tampangku tidak lagi menunjukkan pria mapan. Kau lupa aku pakai apa? Motor matic. Itu saja butut banget. Jangan-jangan kau sengaja membelikan aku sepeda motor butut agar aku tak laku-laku ya?”

“Susah ya ngomong sama orang kaya. Dibelikan bagus katanya aku membuat Tuan jadi rebutan cewek, giliran dibelikan yang butu malah menuduh aku ingin membuat Tuan tidak laku-laku.”

“Sudahlah. Aku akan tetap di sini menjadi diriku seperti saat ini. Aku akan mengecek bagaimana gadis itu memandangku kalau aku jadi laki-laki miskin.”

Defandra hanya membaca pesan Khalid. Ia tersenyum-senyum sendiri. Tangannya ingin mengetik kalimat jawaban, namun belum sempat menyentuh keyboard, sebuah wajah muncul di hadapannya.

“Jadi pekerjaanmu hanya main hape dan senyum-senyum sendiri begitu, Dra? Pantas saja kau tak menemukan Khalid dengan cepat. Cepat kau keluar dan katakan pada Khalid kalau dia harus segera pulang karena Mama sudah menemukan gadis yang baik yang akan menjadi istrinya.” Defandra tersentak. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nancy sang Nyonya besar sudah masuk ruangan sejak tadi dan mengamati kegiatannya. Defandra segera berdiri dan menundukkan badannya memberi hormat kepada sang majikan.

“Untung saja hanya pesan.” Gumam Defandra.

“Apa maksudnya?’

“Ti . . . tidak, Nyonya.”

“Jadi kau keberatan kalau aku menyuruhmu menyampaikan pesanku pada anakku?”

“Bu . . . bukan begitu, Nyonya.”

“Sekarang keluarlah! Cari anakku sampai dapat. Hari ini juga dia harus datang ke rumah utama dan menemuiku beserta papanya.”

“Baik, Nyonya.” Defandra masih berdiri di tempatnya semula, membuat Nancy semakin marah. Ia segera melangkah mendekat lalu menarik tangan Defanfra.

“Cepat pergi sekarang! Aku sudah tidak sabar memandangmu yang berdiri seperti patung.”

“Apa tidak apa-apa kalau Nyonya saya tinggal?’

“Memangnya aku ini siapa sehingga kau khawatir padaku? Kau lupa siapa aku?”

“Bu . . . bukan begitu maksud saya, Nyonya. Saya hanya takut dikatakan tidak sopan. Itu saja.”

“Pergilah!” Nancy melemah. Ia tidak ingin memperpanjang masalah. Rasa pusing mulai menyerangnya.

“Baik Nyonya.” Defandra segera meninggalkan Nancy yang masih mencoba mempertahankan tubuhnya.

Sampai di parkir mobilnya, Defandra segera masuk. Ia mengirim pesan pada Khalid untuk segera menemuinya di tempat rahasia mereka berdua.

Khalid segera keluar kamar. Ia ingin sekali menghindari Defandra kalau saja ia tidak mendengar bahwa Nancy sang Mama mencarinya dan memintanya menemuinya di rumah utama.

Hari masih pagi, namun di rumah kontrakannya sudah sangat sepi. Wildan sudah berangkat berjualan sejak pukul delapan.

“Kalau saja aku bisa menghindar.” Gumam Khalid sambil menaiki motornya dan menyalakan segera. Ia melajukan maticnya pelan, apalagi saat dia melintas di rumah Dzi. Gadis baru yang sudah membuatnya penasaran.

“Mau berangkat kerja, Mas?” Tanya Dzi yang sedang menyapu halaman masjid. Khalid menghentikan motornya lalu membuka helm dan tersenyum.

“Aku menganggur sekarang, Dik.”

Dzi terpana mendengar jawaban Khalid. Ia menyesal telah bertanya tentang pekerjaan pada pria yang baru dikenalnya. Terlalu menyesal dengan kalimatnya, Dzi menunduk. Khalid yang melihat Dzi hanya tersenyum

 “Dik Dzi tidak kerja atau kuliah?”

Khalid mengalihkan pembicaraan untuk menghilangkan rasa bersalah gadis itu. berhasil. Wajah Dzi yang awalnya muram, kini menjadi sumringah.

“Saya kuliah siang. Insya Allah segera berangkat kalau menyapunya sudah selesai.”

“Memangnya kuliah dimana?”

“Di UNOC.”

“Wah, hebat dong. UNOC adalah Universitas Orang Cerdas. Jarang-jarang yang bisa masuk sana lho. Kalau bukan orang cerdas mana bisa masuk UNOC”

“Ah, biasa saja, Mas. Hanya kebetulan waktu ujian masuk bisa mengerjakan. Akhirnya lulus seleksi.”

“Kamu selalu merendah.”

“Tidak merendah. Tapi memang beruntung saja”

“Ya sudah kalau begitu, Dik. Mas pergi dulu ya, assalamualaikum”

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh”

Khalid tersenyum lalu melanjutkan perjalanannya menuju tempat rahasianya sedang Dzi yang sejak tadi menyapu dan membersihkan halaman masjid segera melanjutkan pekerjaannya.

“Mbak tidak bekerja? Mengapa jam segini masih sibuk di masjid?’ suara laki-laki mengejutkan Dzi yang sedang memasukkan sampah di tong sampah.

“Eh, Pak Salim. Sudah sampai sini, Pak?”

“Iya, Mbak. Kebetulan tadi dibantu oleh Arka. Anak Bapak yang baru pulang dari Kairo. Arka mengambil sampah di komplek dan Bapak mengambil di sini. Nanti kita bertemu di mobil”

“Mas Arka pulang, Pak Salim? Apakah kuliahnya sudah selesai?”

“Belum, Mbak. Hanya kangen katanya.”

“O, saya kira sudah selesai.”

“Tinggal menunggu ujian akhir dia bilang. Daripada di sana menganggur, dia memilih pulang untuk membantu Bapak mengambil sampah dari komplek ke komplek.”

“Hebat ya, Mas Arka. Anak kuliahan tapi mau mengambil sampah.”

Salim tertawa mendengar kalimat Dzi.

“Mbak sendiri juga mahasiswa tapi mau juga menjadi marbot masjid.”

“Kalau ini beda ceritanya Pak Salim. Saya kan hanya membantu Pak Soleh saja.”

“Ya sama, Mbak. Intinya kalian sama-sama mau berkorban menjadi tenaga dimana banyak orang tidak mau melakukannya bahkan cenderung menghindari.”

“Mereka menghindari karena tidak tahu saja bagaimana rasanya berbakti pada lingkungan. Kalau mereka tahu, mereka pasti akan berebut untuk melakukannya.”

Salim tersenyum mendengar pendapat Dzi. Gadis di hadapannya memang beda dengan gadis-gadis lain. Ia berpenampilan sederhana dan bersikap lembut kepada siapapun.

“Apapun itu, pokoknya Bapak salut dengan Mbak Dzi. Selama ini Mbak berjuang seorang diri menghidupi kehidupan Mbak. Jarang-jarang ada gadis seperti Mbak Dzi.”

“Bapak jangan berlebihan memujinya.” Tolak Dzi dengan wajah tersipu.

“Ha ha ha, kalau gadis baik memang tidak pernah suka kalau ada orang memuji,” Seorang laki-laki menghentikan percakapan Salim dan Dzi. Mereka menoleh, menuju sumber

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status