Share

8. Pekerjaan Baru

“Mas Arka?”

“Iya, Mbak. Assalamualaikum”

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”

“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’

“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”

“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”

“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”

“Baru saja.”

“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.

“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”

“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjutkan percakapannya dengan Arka.

Salim yang melihat wajah Dzi memerah segera mengambil tindakan.

“Ayo kita lanjutkan! Pekerjaan kita masih banyak.”

“Apakah tidak bisa sebentar lagi, Ayah?” tolak Arka.

“Kasihan Mbah Dzi kalau terus kau ganggu seperti itu. Dia juga harus pergi ke kampusnya. Kalau kita terus di sini, dia akan terlambat berangkat.”

“Baiklah, Ayah. Dik, Mas pergi dulu ya. Maaf apabila membuat Dik Dzi kebingungan.”

“Labbaik, Mas. Tidak apa-apa, mohon maaf karena saya harus kembali ke rumah. Assalamualaikum”

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh”

Dzi meninggalkan Salim dan Arka yang masih memandang kepergiannya. Ia merasa sangat malu mendapatkan perlakuan dari laki-laki yang sejak dia datang sudah membuatnya selalu salah tingkah.

Sementara di tempat rahasianya, Khalid segera menemui Defandra yang sudah menunggunya sejak lama.

“Kau selalu tidak bisa kuandalkan saat menghadapi Mama, Ndra. Aku kecewa padamu.”

Defandra menarik nafas kasar. Ia tahu selama berhadapan dengan Nancy ia sama sekali tak berdaya.

“Maafkan aku Tuan.”

“Apa yang dikatakan Mama tadi?”

“Nyonya besar akan mempertemukan Tuan dengan gadis pilihannya.”

“Apa?”

“Sebenarnya tadi saya sudah menolak untuk mencari Tuan Muda, tapi Nyonya memaksa saya untuk segera berangkat. Nyonya juga bilang kalau Tuan besar juga sudah merestui dan menyetujui kalau Tuan dan gadis itu menjadi suami istri.”

“Tidak, Ndra. Aku tidak mau dijodohkan dengan gadis manapun. Aku sedang berusaha untuk mendekati gadis yang menjadi tetangga baruku. Aku yakin dia gadis baik. Dia tidak memandangku sebelah mata ketika aku mengatakan kalau aku menganggur.”

“Apakah itu bukan karena dia sebenarnya tahu siapa sebenarnya Tuan Muda?”

“Tidak, Ndra. Aku bahkan menggunakan nama palsu. Bukan nama sebenarnya.”

“Tapi Tuan tetap harus waspada siapa tahu dia hanya basa basi saja.”

“Kau meragukan kemampuanku, Ndra?”

“Bukan begitu. Aku tahu kemampuan Tuan kalau dalam urusan bisnis, tapi tidak dalam urusan cinta. Buktinya sampai sekarang Tuan belum pernah memiliki kekasih.”

“Itu bukan sebagai bukti kedangkalan kemampuanku, Ndra. Aku hanya tidak mau menerima gadis yang hanya melihat kekayaan sebagai tolok ukur.’

“Ironis ya Tuan. Tuan yang pria kaya raya harus kesulitan mencari jodoh. Sedangkan aku yang jauh di bawah Tuan Muda, alhamdulillah sudah  . . .”

“Kau lanjutkan kalimatmu, maka mulai saat ini kau berhenti menjadi asistenku.”

“Ha ha ha, jangan Tuan. Bagaimana aku bisa menafkahi keluargaku kalau aku dipecat.”

“Memang siapa yang kau nafkahi? Dia belum menjadi istrimu masa kau menafkahinya.”

“Apakah Tuan lupa kalau aku memiliki ibu dan dua orang adik perempuan? Aku harus membuat hdup mereka nyaman, Tuan.”

“Baiklah. Sekarang kau laksanakan tugasku.”

“Tugas? Tugas apalagi Tuan? Selama ini selalu aku yang melaksanakan tugas kan?”

“Fandraaaa, kau benar-benar ingin dipecat?”

“Katakan apa yang harus aku lakukan, Tuan.” Fandra menyerah. Tidak ada pilihan lain selain itu.

“Kenapa dari tadi tidak begitu?’

“Kan kalau bisa menawar lebih baik menawark, Tuan.”

“Selalu tawar menawar. Kau bekerja padaku, bukan melakukan perdagangan.”

“Baiklah. Katakan padaku apa tugas baruku.”

Khalid segera mengambil ponselnya, mengirim beberapa pesan ke ponsel Defandra. Defandra yang sejak tadi menunggu perintah hanya dapat mendesah. Tugas yang sebenarnya ringan, namun baginya sangat berat.

“Bagaimana?”

“Aku tahu Tuan tidak menerima penolakan. Makanya tidak ada pilihan lain selain mengiyakan dan menerima tugas ini.”

“Kalau begitu segera laksanakan sekarang dan laporan aku tunggu sampai tengah malam.”

“Akan kucoba, Tuan.”

“Bukan dicoba tapi laksanakan!”

“Baik  aku laksanakan. Tapi apa yang akan aku terima kalau aku berhasil melaksanakan misi ini?’

“Kau mau berapa?’

“Aku ingin mobil sport yang sekarang kunaiki”

“Kau!”

“HA ha ha itupun kalau Tuan tidak keberatan.”

“Ambil saja. Walau aku masih suka, tapi untukmu tidak masalah.”

“Terima kasiiiih” ucap Defandra dengan suara manja layaknya wanita. Khalid melemparkan gelas yang sedang ia pegang. Dengan cekatan, Defandra menangkapnya segera sambil berjoged dan meninggalkan sang bos sendiri di ruangan itu.

“Aku pergi”

“Pergi saja jangan kembali ke sini!”

“Tuan yakin?”

“Sangat yakin. Aku akan pulang ke Mama sekedar membuatmu aman.”

“Kenapa harus demi aku, Tuan? Tuan sama sekali tidak penasaran dengan gadis yang akan dikenalkan Nyonya Besar?”

“Shit. Kau selalu saja menggodaku.”

“Baiklah, aku akan pergi. Jangan pernah ganggu aku Tuan. Awas saja kalau sampai mengganggu pekerjaanku.”

“No, Never”

Defandra dan Khalid meninggalkan tempat pertemuan tersebut. Defandra menuju tempat tugas barunya, sedang Khalid menuju rumah utama.

Ditempat lain, di pangkalan tempat Wildan berjualan, ia sedang sibuk melayani para pembeli. Tubuhnya penuh dengan peluh. Sesekali ia menyekanya dengan handuk yang sengaja ia sampirkan di leher.

“Mas, seblak ceker dua” dua orang gadis duduk di kursi kosong dekat dengan pohon Karsen.

“Ya, tunggu sebentar ya, Mbak.”

“Ya”

Wildan segera menyiapkan bumbu dan bahan-bahan seblak ceker, seperti pesanan dua pelanggan barunya.

Setelah menyelesaikan semuanya, ia segera menghidangkan kepada mereka.

“Es teh jeruknya dua ya Mas.”

“Baik. Mohon tunggu sebentar.”

“Senantiasa sabar.” Ucap salah satu sang gadis menggoda Wildan. Wildan mengangguk lalu meninggalkan sang gadis dan membuat pesanan. Begitu seterusnya ia melayani pelanggan-pelanggannya dengan sabar.

“Aku tadi kok lupa tidak mengajak Sahal untuk ikut jualan ya. Ah, bukankan dia sudah setuju akan membantuku berjualan. Jangan-jangan dia tadi tidur lagi selepas subuh.”

Dreeet

Sebuah pesan masuk.

“Mas Wildan, tolong aku buatkan tiga seblak spesialnya ya. Ada dua temanku yang ingin mencoba seblakmu.”

“Nomor baru.” Wildan tidak langsung membalas. Beberapa kali ia menerima pesan dari nomor baru dulu, dan beberapa kali pula ia ditipu. Meminta dibuatkan dua atau tiga seblak spesial tapi setelah dibuatkan justru sang pemesan tak kunjung datang.

“Kau datang saja langsung ke pangkalan baruku. Aku takutnya makanan sudah dingin kau belum datang.” Sahutnya beralibi. Si pengirim pesan mengiyakan. Wildan menarik nafas dalam. Lega karena tidak harus bersusah payah untuk meyakinkan sang pemesan bahwa dia harus datang sendiri ke tempatnya berjualan.

“Mas.”

Wildan yang sedang menyiapkan bumbu untuk seblak spesial segera menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum mendapati sang pemilik suara lembut yang kini berdiri menatapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status