Khalid masih terpana menyaksikan mobil yang kini parkir dan berjajar di depan masjid. Ia melihat keluarga yang tadi duduk di ruang VVIP restoran AD datang menemuinya. Wildan dan Khalid saling pandang.
“Apakah kau masih ingin menolak permintaan orang tuamu kalau saat ini mereka memintamu menikahi Saifi, khalid?”
Wildan menatap Khalid yang kini menegang. Khalid benar-benar tidak habis pikir dengan kegigihan keluarganya memaksa dirinya menikah.
“Aku akan tetap menolak, Wildan. Aku sudah mengusulkan kepada MAma agar menungguku menemui Dzi dulu dan mengatakan semua perasaanku. kalau Dia sudah tidak mau denganku, aku baru bisa menerima Saifi. Kalau Dzi belum kutemukan aku merasa sangat tidak nyaman karena aku merasa mengkhianatinya.”
Tuan Raharja dan semua yang hadir di sana tersenyum. mereka tahu betapa gigihnya Khalid memperjuangkan cintanya. Tuan Raharja dan Nancy mendekati Khalid lalu mengelus kepala anaknya.
“Apakah kau
“Pokoknya Mama ingin kamu segera menikah,titik!”Khalid yang sedang mengerjakan laporan mengalihkan pandangan dari laptop lalu menatap mamanya sambil menghela napas panjang.“Mencari menantu yang baik juga bukan hal mudah, Ma. Aku tidak mau memiliki nasib seperti Kakak. Gagal di tengah jalan dan membuat anak-anaknya menjadi korban. Aku mau mempunyai istri yang bisa menjadi panutan bagi anak-anakku kelak.”“Tidak ada alasan lagi, Khalid! Usiamu sudah hamper tiga puluh tahun, mau menunggu sampai kapan lagi? Mama beri kamu waktu enam bulan, jika dalam waktu enam bulan kamu tidak membawa calon istri ke hadapan mama, kamu harus mau menikah dengan gadis pilihan mama!”Khalid hanya diam, ia tau tidak ada gunanya membantah perkataan Nancy, mamanya.“Khalid ke kamar sebentar, Ma. Pusing rasanya mendengarkan omelan Mama.” Belum sempat Khalid melangkah, Nancy sudah menghadangnya di pintu. Kedua matanya tampak melotot ma
2. Meninggalkan Rumah UtamaKhalid masih berputar-putar mengelilingi kota. ia segera menghentikan laju kendaraannya setelah mencapai taman kota. “Selamat malam, Mas.” Seorang penjaja makanan menghampirinya. Khalid terpana menyaksikan laki-laki di hadapannya, penjaja makanan itu tersenyum dengan ramah.Ia pun memarkirkan gerobak dagangannya tak jauh dari motor Khalid yang terparkir di trotoar. Tempat parkir itu dibuat khusus untuk para pengunjung alun-alun utama. Khalid masih mengawasi gerak-gerik sang penjaja makanan yang kini sedang meracik dagangannya di dua buah piring dengan cekatan. “Ayolah duduk di sini!” ajaknya sambil menyiapkan tikar dan meletakkan kedua piring di atasnya. Khalid masih menatap sang penjual dengan tak berkedip. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana pola pikir laki-laki di hadapannya. Ia bahkan sama sekali tidak terlihat takut, padahal mereka baru pertama kali bertemu.“Luar biasa,” gumamnya. Penjaja maka
“Halo !”“Taman Kota Jalan Sudirman sekarang!”“Baik”TuuutKhalid memutuskan panggilan sepihak. Sang asisten yang sudah biasa menerima perlakuan seperti itu darinya segera memasukkan ponsel ke saku dan mulai menghidupkan mobil kemudian menuju tempat yang ditentukan. Di taman kota, Wildan hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap laki-laki di hadapannya. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan sikap arogan sang pemuda.Khalid memandang Wildan yang masih tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala.“Kenapa senyum-senyum lagi?”“Tidak apa-apa. Aneh saja ada orang kok arogan sepertimu.”“Biasa aja. Aku bukan orang baik sepertimu.”“Sama saja,orang baik dan orang jahat juga senang kalau diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Kalau tidak manusiawi pasti tidak enak.”“Brisik sekali kau ini. Ah, aku rasanya ingin meninggalkanmu saj
Penyesuaian“Assalamu’alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahiss sholihiin”Wildan membuka pintu rumah kontrakan. Khalid yang mendengar salam dari Wildan bingung. Ia ingin menjawab namun ia bingung bagaimana caranya. Ia memandang sekeliling rumah yang sepi tanpa penghuni lain. Ia bertanya dalam hati siapa yang diberi salam oleh Wildan. Ia ingin bertanya siapa yang tinggal bersama Wildan sehingga Wildan perlu mengucap salam saat masuk rumah.,”Siapa yang di dalam?“Kenapa?”Wildan memandang Khalid yang masih menoleh ke sana kemari mencari orang di dalam rumah. Wildan menyalakan lampu ruang tamu lalu menyuruh Khalid duduk. Ia meletakkan topi di atas bufet di sudut ruangan lalu duduk di kursi di depan Khalid.“Meskipun tidak ada orang, aku yakin di rumah ini ada penghuni lain. Aku mendoakan diriku juga, sebagai penghuni rumah ini. Seperti itulah seharusnya kita saat memasuki
Kumandang azan telah berlalu beberapa menit yang lalu. Para jamaah sudah hadir, bahkan sudah siap memenuhi barisan shaf. Berkali-kali Wildan mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk masjid dan halaman, menanti seorang yang ia harapkan bisa berubah menjadi lebih baik dengan mau datang memenuhi lubang shaf pertama yang masih tersisa satu orang.“Ya Tuhan, kalau memang Engkau menyayanginya, engkau akan menggerakkan hati teman baruku dan mengajaknya untuk hadir di majelismu kali ini. Bukan pergi meninggalkan kontrakan dan berkumpul dengan teman-temannya yang entah seperti apa.” Gumam Wildan.Tek tekSuara kentongan dibunyikan dua kali pertanda sang kiai datang dan siap memimpin shalat. Wildan segera berdiri. Dengan gontai ia melangkah mendekati tempat dimana pengeras suara berada dan melakukan iqamat.Semua jamaah bersiap merapatkan barisan. Sesekali Wildan menoleh ke pintu berharap Khalid hadir. Namun ia harus kecewa karena yang datang bukan ora
Selepas Isya, Wildan duduk di kursi ruang tamu, menghitung perolehan hasil berdagangnya hari ini. Khalid yang baru saja keluar kamar segera bergabung, memandang Wildan yang masih serius mengumpulkan uang receh dan uang kertas sesuai nominal. Khalid menatap Wildan sedih. Ia sama sekali tidak pernah berpikir kalau di dunia ini masih ada orang yang mengelola uang receh. Kalau ia ingat kehidupannya yang serba ada, ia menjadi malu. Ia bahkan jarang menghitung berapa uang yang sering ia hamburkan untuk berfoya-foya. Membeli barang-barang yang tidak ia butuhkan, mentraktir makan teman-teman dan entah apalagi kegiatannya dengan uangnya. “Berapa biasanya kau dapatkan sehari dari berjualan?’ tanya Khalid sambil duduk di hadapan Wildan.“Tidak pasti. Kadang dua ratus, kadang lebih, kadang kurang.”“Dua ratus ribu?”“Ya.”“Sehari?
Khalid masih duduk di kursinya, mencoba membuka email dari ponselnya. Ia sengaja tidak membawa laptopnya demi menghindari kecurigaan Wildan tentangnya. Khalid benar-benar menikmati hidup sebagai manusia biasa bersama dengan orang biasa. Ia sama sekali tak menunjukkan pada siapapun tentang siapa jati dirinya yang sebenarnya.“Tuan tidak ke kantor lagi hari ini?”Pesan dari Defandra. Khalid menggeleng. Walau ia tahu Defandra tidak bisa melihatnya, ia tetap saja mengetikkan jawaban sambil menggeleng.“Tidak. Kau handle dulu semuanya. Aku sudah menikmati hidupku di sini. Laki-laki itu benar-benar baik. Dia sama sekali tidak membuatku kerepotan untuk menjelaskan siapa aku yang sebenarnya.”Defandra mendesah. Ia sedih dengan nasib dirinya yang menjadi bujang lapuk karena terlalu patuh pada Khalid. Bos yang keras kepala dan semau sendiri.“Tapi tadi Nyonya besar ke kantor, Tuan.”“Ada apa?”
“Mas Arka?”“Iya, Mbak. Assalamualaikum”“Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh. Bagaimana kabar Mas? Lama tidak bertemu.”“Alhamdulillah saya baik, Dik. Dik Dzi apa kabar?’“Alhamdulillah saya juga baik, Mas. Kapan pulang?”“Ah, diumah sendiri masa ditanya kapan pulang?”“E maksudku, Mas Arka kapan datang?”“Baru saja.”“Yaa Allah, susah ya bicara sama orang hebat. Bahasa apapun jawabannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.” Dzi menunduk. Ia mulai kebingungan mendengar jawaban Arka yang benar-benar membingungkan. Salim yang memandang Dzi frustasi hanya menggelengkan kepala sambil memukul lengan Arka.“Jangan membuat Mbak Dzi salah tingkah begitu. Kasihan dia.”“Ha ha ha, maaf. Bukan maksud Mas menggoda. Mas pulang kemarin.” Dzi mengangguk. Ia sudah tidak berniat melanjut