“Sial!” umpat Selly kesal ketika menyadari ban mobilnya kempes, mana dia buru-buru pagi ini! Ia memukul setir dengan gemas lalu melangkah turun guna memeriksa kondisi ban mobilnya.
Kempes, benar-benar kempes! Selly memijat pelipisnya dengan gemas. Mana setengah jam lagi sosok menyeramkan itu sudah visiting lagi! Ia merogoh iPhone-nya mencoba mencari pertolongan ketika kemudian Pajero putih itu berhenti tepat di belakang mobilnya.
Selly mengerutkan keningnya, siapa itu? Apakah kenal dengan dirinya sampai-sampai ia harus berhenti dan hendak menolong dirinya? Eh ... tapi kata siapa ia hendak menolong Selly? Siapa tahu ia hanya berhenti hendak menerima telepon atau mungkin hendak membuang sampah? Membeli minuman atau koran? Tidak ada yang tahu bukan?
Belum hilang rasa terkejut Selly ketika tahu yang turun dari mobil itu adalah sosok Anggara Tanjaya, dokter bedah senior sekaligus salah satu konsulennya yang tadi ia sebut menyeramkan itu. Sosok dingin dan galak setengah mati yang membuat sosok itu begitu di takuti oleh para koas dan residen bagian bedah.
“Saya tiga puluh menit lagi visiting dan kamu malah berhenti di sini?” tanya sosok itu ketus.
Kalau log book dan nilainya tidak perlu tanda tangan sosok itu, rasanya Selly sudah ingin melepar iPhone itu tepat di jidat laki-laki tiga puluh tujuh tahun yang saat ini sialnya tampak begitu tampan dengan setelan scrub warna biru tuanya. Wajahnya begitu bersih dengan bibir merona merah, manik matanya hitam legam, mennyorotkan tatapan sedingin es dan setajam scalpel
“Ban mobil saya kempes, Dok!” guman Selly lirih sambil menundukkan kepalanya. Tampan sih, cuma sorot matanya itu begitu tajam dan menusuk, membuat Selly tidak berani menatap langsung ke dalam mata itu.
“Ada bawa ban cadangan?” tanya sosok itu dingin.
“Ada, ta-tapi ....”
“Antar anak saya ke sekolah, mobilmu biar saya yang urus. Kita ketemu di rumah sakit!” titahnya tegas sambil menyodorkan kunci mobil.
Selly mengangkat wajahnya menatap wajah dengan rahang tegas berwibawa itu dengan seksama. Dia mau membantu Selly menganti ban mobil Selly yang kempes?
“Kenapa diam? Ayo buruan keburu anak saya telat dan kita sendiri juga telat!” gumannya tegas sambil menjejalkan kunci mobil itu ke dalam tangan Selly.
“Ba-baik Dokter, terima kasih banyak!” Selly buru-buru masuk ke dalam Pajero putih yang nampak begitu bersih dan kinclong. Sama seperti pemiliknya yang selalu berpenampilan bersih dan rapi.
“Felicia diantar kakaknya dulu nggak apa-apa kan?” guman Anggara dari jendela mobil yang diturunkan itu.
“Kenapa, Pa?” protes gadis itu yang tampak tidak nyaman dengan Selly yang sudah duduk di balik kemudi.
“Jadi Kak Selly ini mahasiswi Papa, ban mobilnya kempes, dia nggak bisa ganti, jadi biar Papa yang bantu dan Felicia diantar Kak Selly ke sekolah, oke?”
Felicia tampak menoleh dan menatap Selly dengan seksama. Selly hanya melempar sebuah senyum manis ke arah gadis yang menurut perkiraannya masih berumur empat tahunan itu.
“Iya deh, Papa hati-hati ya!” guman gadis itu kemudian.
“Siap, kamu juga hati-hati ya, Sayang!” Anggara menatap ke arah Selly yang masih kikuk dan grogi setengah mati itu, “Titip anak saya, saya tunggu di rumah sakit!”
“Baik, Dokter. Sekali lagi terima kasih banyak!”
Sosok itu hanya mengangguk, senyum yang merekah itu hanya diberikan pada Felicia, untuk Selly? Jangan harap! Selly bergegas menghidupkan mesin mobil dan membawa mobil itu pergi meninggalkan sosok dokter Anggara dan Honda Jazz putihnya yang kempes ban itu.
Ini kali pertama bukan ia membawa mobil sebesar ini? Keringat dingin sudah menitik dan membasahi dahinya, semoga tidak terjadi apa-apa, hanya itu harapannya.
“Sekolah Felicia di mana, Sayang?” tanya Selly yang sadar bahwa ia tidak tahu di mana sekolah anak konsulennya itu.
“Tadika Putri, Kak. Lurus aja nanti lampu merah belok kiri, sekolahnya kanan jalan.” Jawab bocah itu lugas, membuat Selly tertegun sesaat. Sekecil ini dan sudah bisa dengan baik mengingat dan memberi petunjuk jalan? Astaga hebat, sama bapaknya dikasih makan apa sih?
“Oke siap!” jawab Selly sambil tersenyum, ia harus fokus, ini bukan mobilnya dan jangan lupa pemilik mobil ini adalah penentu kelulusannya! Mana anaknya Selly bawa lagi, bisa habis Selly kalau sampai kenapa-kenapa.
“Kok ban mobil Kakak bisa kempes?” tanya Felicia yang begitu anteng duduk di joknya itu.
“Nggak tahu, kena paku mungkin. Padahal tadi sebelum berangkat Kakak sudah cek dan semua baik-baik saja.”
Tampak gadis itu mengangguk tanda mengerti. Selly hanya melirik sekilas dan tersenyum. Fokusnya kembali pada kemudi di tangannya dan jalanan yang terhampar di hadapannya.
“Kakak besok jadi dokter juga dong berarti?” tanyanya yang mulai nyaman dengan keberadaan Selly.
“Iya nih, doakan kakak selalu lancar pendidikannya ya?” senyum Selly merekah, membayangkan ada gelar ‘dr.’ di depan namanya itu membuat ia semangat setengah mati menjalani semua suka-duka kepaniteraan klinik-nya ini, semua demi gelar dokternya!
“Iya, Kakak yang semangat ya!”
“Pasti dong, kalau Felicia besok pengen jadi apa, Sayang? Jadi dokter juga kayak papa?” obrolan dengan gadis itu sedikit membuatnya sedikit rileks.
“Iya dong, besok Felicia pengen jadi dokter jantung!” jawab sosok itu dengan semangat.
“Lho kok dokter jantung? Kan papa dokter bedah?” Selly tersenyum, dari mana anak ini bisa punya cita-cita jadi dokter jantung?
“Iya, kakek dokter jantung, dan Felicia kepengen kayak kakek nanti.”
Selly mengangguk, rupanya darah murni dokter turun-temurun. Ia menyimak gadis itu yang masih asyik bercerita panjang lebar itu, dalam hatinya, Selly ingin segera sampai di sekolah Felicia, sampai di rumah sakit dan semua baik-baik saja!
***
Anggara memasukkan semua peralatan dan ban yang baru selesai ia ganti itu. Susah memang kalau perempuan yang bawa mobil. Peralatan selengkap ini masih bingung pas bannya kempes.Anggara tersenyum simpul, lengkap juga peralatan yang dibawa koasnya itu. Anggara berani bertaruh bapaknya pasti yang sudah menyiapkan semua ini.
Setelah membersihkan tangan dengan tisu basah yang ada di dashboard mobil, Anggara bergegas masuk dan duduk di belakang kemudi. Matanya tertuju pada tas yang tergolek di jok yang ada di sebelahnya itu. Bukan apa-apa, di tas tertempel id card milik gadis pemilik mobil ini.
“Selly Veronica Hariadi, dokter muda.”
Anggara tersenyum, ya ... panggilan untuk para mahasiswa kepaniteraan klinik adalah dokter muda, meskipun mereka belum benar-benar mendapat gelar dokter mereka. Mereka harus lulus kepaniteraan klinik, UMKPPD, OSCE terlebih dahulu supaya bisa mendapatkan gelar dokter mereka, Anggara sudah melewati itu semua oleh karena itu ia paham betul bagaimana perjuangan para dokter muda ini hingga akhirnya dapat STR dan bisa praktek mandiri.
Anggara menghela nafas panjang, ia melirik arlojinya. Sedetik kemudian ia bergegas menghidupkan mesin mobil dan membawa mobil itu melaju menuju rumah sakit tempat dia bekerja.
Bagaimana dengan gadis kecilnya tadi? Ia harap koasnya itu menjaga dan mengantarnya dengan baik. Karena Felicia adalah satu-satunya harta paling berharga yang Anggara miliki.
“Kakak pamit dulu ya, kamu semangat belajarnya, oke?” Selly mengelus lembut kepala Felicia, ia bahkan turun dan mengantar gadis kecil itu sampai di depan kelasnya. “Siap, Kak! Terima kasih banyak sudah mau antar Felis!” gadis itu mengacungkan jempolnya. Selly hanya mengangguk pelan sambil tersenyum, ia hendak membalikkan badan dan melangkah pergi dari depan kelas gadis itu ketika kemudian sosok dengan seragam batik itu muncul dan tersenyum ke arahnya. “Lho, Felicia diantar siapa ini? Mama ya?” Selly sontak melonggo, mama? Jadi wanita – yang pasti – adalah guru dari Felicia itu mengira bahwa dia adalah mama dari Felicia? Gila! Memang sih dia tahu betul bahwa konsulennya itu adalah duda, namun masalah siapa isterinya, kenapa mereka berpisah, itu Selly sama sekali tidak tahu. “Bu-bukan, Bu! Saya bukan mamanya Felicia,” ujar Selly sambil nyengir lebar. Punya suami kayak dokter Anggara? Bisa gila dia nanti! “Oh saya kira mamanya Felicia, la
“Selly ikut asistensi, saya tunggu di OK!” perintah sosok itu tegas kemudian dengan santainya melangkah meninggalkan Selly dan beberapa teman koasnya yang lain. Selly masih terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap kepergian laki-laki itu yang tengah melangkah ke OK yang ada di gedung sebelah lantai yang sama. Ia kemudian menatap teman-temannya satu persatu, kenapa dia lagi sih yang harus ikut masuk ke OK? Perasaan dari lima orang temannya yang saat ini koas di bagaian bedah, rekor Selly mengasistensi chief residen atau dokter bedah lebih banyak dibandingkan teman-temannya yang lain. “Kok gue lagi sih?” desis Selly nelangsa. “Sudah sono pergi, laris amat sih elu jadi asistensi?” cibir Yosi dengan muka penuh kemenangan, kalau asistensi yang lain dia masih oke, tapi kalau sosok itu ... ah seperti mimpi buruk! Dan tampaknya mimpi buruk itu menghampiri Selly. “Cepetan siap-siap sono, ntar dia ngamuk berabe, Sel!” Dant
Operasi sudah selesai, pasien sudah dipindah ke ruang pulih sadar untuk observasi lebih lanjut sebelum pasien bisa kembali ke bangsal rawat inapnya. Akhirnya selesai juga sesi menegangkan hari ini. Ikut asistensi di OK saja sudah sangat menegangkan, ditambah penata bedahnya adalah sosok dokter Anggara Tanjaya! Ruang operasi jadi makin horor macam ruang jenazah! Selly mencuci tangannya bersih-bersih, ia hendak melangkah keluar ketika kemudian Adit muncul dan mengekor di belakangnya. "Sel, udah makan?" tanya sosok itu sambil menjejerkan langkahnya di samping Selly. "Belum nih, Bang. Kenapa?" Selly mengerutkan keningnya, biasanya kalau kayak gini bentuk modus dari abang-abang residen pada para koas. "Temenin Abang makan yuk, Abang yang traktir kamu deh, yuk ah ... mau makan apa?" Selly tampak berpikir sejenak, sudah jam makan siang juga bukan? Rasanya tidak ada ruginya mengiyakan ajakan residen bedanya satu ini. Lumayan makan siang gratis.
Sudah waktunya pulang, tidak ada cito dan lain sebagainya, jadi Anggara sudah bisa langsung kembali kerumah. Ia sudah rindu dengan gadis kecilnya itu. Entah apa nanti yang ia ceritakan perihal kegiatannya di sekolah, yang jelas obat lelah dan letih Anggara cuma itu. Dengan santai ia melangkah menuju parkiran. Suasana poli rawat jalan sudah sepi, bangsal rawat inap yang ramai banyak orang berlalu-lalang, jam besuk sudah dibuka. Anggara tertegun ketika mendapati Honda Jazz putih itu masih terparkir di sebelah mobilnya. Sebuah senyum mengembang di wajah Anggara. Mobil itu bukan yang tadi pagi ia kendarai? Yang ia ganti ban belakangnya karena kempes? Sontak ia teringat dengan sang pemilik mobil, kenapa wajah itu terus terngiang di dalam pikiran Anggara? Anggara menghela nafas panjang, ia menggelengkan kepalanya sambil memijit pelipisnya dengan gemas. Ada apa dengan dirinya ini? Kenapa ia jadi seperti ini? Ia bergegas masuk ke dalam mobilnya sendiri. Tangannya me
"Papa sudah mandi?" tanya Felicia ketika ia melonggok ke dalam kamar sang papa. "Sudah Sayang, sini Papa pengen peluk kamu!" Anggara tersenyum, ia merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk merengkuh tubuh itu kedalam pelukannya. Sontak Felicia berlari dan jatuh ke dalam pelukan sang papa, sebuah pelukan terhangat dalam hidupnya. Anggara merasa semua lelah dan letihnya sirna seketika ketika tubuh mungil ini bermanja-manja padanya seperti ini. "Papa capek nggak?" tanya Felicia sambil menatap manik mata sang papa. "Capek Papa hilang tiap lihat kamu, memang kenapa?" Angara membawa gadis itu dalam gendongannya. "Main ke mall yuk, Pa. Beli camilan buat besok ada acara di luar kelas," renggek Felicia manja. "Acara apa?" Anggara tampak mengerutkan keningnya. "Ahh ... masa lupa sih? Mau main ke itu sekolah anak-anak kurang beruntung, difabel namanya kalau nggak salah." Astaga, saking sibuknya dengan pekerjaan, Anggara sampai l
Anggara bergegas kembali melanjutkan belanjanya, ia sudah memasukkan beberapa camilan dan snack kesukaan anak-anak untuk besok dibawa Felicia kunjungan ke sekolah luar biasa. Beberapa cokelat dan susu UHT pun tak lepas dari bidikan Anggara, rasanya nanti ia perlu beli plastik untuk mengemas makanan-makanan kecil itu bukan? Ahh ... sebuah ide yang sangat mendadak sekali, semoga waktunya cukup untuk merealisasikannya. "Pah, makan es krim yuk! Pengan sundae-nya McD," renggek Felicia sambil memasang puppy eyes andalannya. "Boleh, bayar dulu ya tapi," Anggara tersenyum, apa sih yang tidak untuk gadis kesayangannya itu? Ia membawa trolley-nya ke kasir, hanya ada tiga pos kasir yang buka dari belasan pos kasir yang ada di hypermart itu membuat antrian sedikit panjang. Anggara menghela nafas, rasanya ia harus sedikit bersabar hingga kemudian bisa menyelesaikan kegiatan belanjanya ini. Felicia sibuk menyusun kotak-
"Sekalian saja, Mbak!" Anggara menyodorkan kembali debit card-nya kepada petugas kasir. "Eh ... Tunggu, Dokter ... Anda ....." "Sudah, jangan membantah!" Anggara memberi kode pada Selly untuk tidak protes, ia sendiri sudah menyusun plastik belanjanya di trolley. Selly menghela nafas panjang, sebanyak ini dan konsulennya yang bayar? Astaga, akan ada tragedi macam apa setelah ini? Ia yakin bahwa belanjaannya itu akan habis dua ratus ribu lebih. "Dokter sa-saya ...." "Sudah, saya ikhlas, jangan khawatir." Potong Anggara singkat. Kembali Selly hanya menghela nafas panjang, ia melirik Felicia yang sedang asyik dengan cokelat di tangannya itu. Belanjaannya sedang di hitung. Mulai dari pembalut, sabun cuci muka, body lotion dan tak lupa cemilan-cemilan serta mie instan yang jumlahnya lumayan banyak itu sudah menyentuh angka dua ratus lima puluh ribu, mampus! Tampak Selly garuk-garuk kepala, ia jadi tidak enak dengan sosok ko
"Saya dan Kevin satu alumni, saya beberapa kali main kerumah kamu, orangtua kita teman baik, kenapa saya nggak pernah melihat kamu?" tanya Anggara yang begitu penasaran.Selly menatap Anggara dengan tatapan tidak percaya, sedetik kemudian ia tersenyum dan menghela nafas panjang."Kalau Dokter satu angkatan dengan kakak saya, berarti benar Dokter tidak kenal atau tidak lihat saya, sejak kecil saya ikut Tante saya, karena beliau kehilangan suami dan anaknya sekaligus dalam sebuah kecelakaan. Beliau minta saya ikut bersamanya sebagai obat kesepian dan kepedihan atas tragedi yang menimpa keluarganya, Dokter."Anggara tampak mengangguk tanda mengerti, pantas dia sama sekali tidak pernah melihat sosok Selly ketika dulu mampir kerumah Kevin untuk sekedar belajar bersama ketika mau ujian blok atau persiapan diskusi ilmiah, jadi ceritanya seperti itu?"Jadi kamu ikut tantemu?" Anggara tampak mengulangi pertanyaannya itu, seo