Share

Ice Cream

"Sekalian saja, Mbak!" Anggara menyodorkan kembali debit card-nya kepada petugas kasir.

"Eh ... Tunggu, Dokter ... Anda ....."

"Sudah, jangan membantah!" Anggara memberi kode pada Selly untuk tidak protes, ia sendiri sudah menyusun plastik belanjanya di trolley.

Selly menghela nafas panjang, sebanyak ini dan konsulennya yang bayar? Astaga, akan ada tragedi macam apa setelah ini? Ia yakin bahwa belanjaannya itu akan habis dua ratus ribu lebih.

"Dokter sa-saya ...."

"Sudah, saya ikhlas, jangan khawatir." Potong Anggara singkat.

Kembali Selly hanya menghela nafas panjang, ia melirik Felicia yang sedang asyik dengan cokelat di tangannya itu. Belanjaannya sedang di hitung. Mulai dari pembalut, sabun cuci muka, body lotion dan tak lupa cemilan-cemilan serta mie instan yang jumlahnya lumayan banyak itu sudah menyentuh angka dua ratus lima puluh ribu, mampus! Tampak Selly garuk-garuk kepala, ia jadi tidak enak dengan sosok konsulennya itu.

"Totalnya dua ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah, Bapak!" lapor sang kasir pada Anggara.

Anggara hanya mengangguk, ia kembali fokus pada iPhone di tangannya. Sementara Selly masih dag-dig-dug merasa nggak enak pada sosok itu. Hampir tiga ratus ribu, kan, total belanjaannya? Dan dibayar semua oleh sosok yang ia anggap menyebalkan dan sedikit songgong itu.

"Jadikan satu saja di sini!" perintah Anggara pada petugas packer yang membantu kasir mengemas semua belanjaan Selly.

"Baik, Pak."

Selly sang pemilik belanjaan hanya melongo di tempatnya berdiri. Sementara Anggara sibuk dengan iPhone, sang kasih sibuk mengecek layar dan mesin EDC dan Felicia masih sibuk dengan cokelat miliknya.

"PIN-nya, Bapak," sang kasir menyodorkan mesin EDC itu ke hadapan Anggara, dengan cepat Anggara menekan tombol mesin EDC, lalu dengan sekali tekan sang kasir mengeluarkan kertas print out EDC sebagai bukti pembayaran.

Lembaran kertas putih keluar dari printer monitor sang kasir, cukup panjang mengingat belanjaan Selly tidak sedikit. Sang kasir melipat kertas itu lalu menyerahkannya pada Anggara berserta kertas print out EDC tadi.

"Terima kasih banyak, kami tunggu kedatangannya kembali, Bapak-Ibu," sang kasir tersenyum ramah, dibalas anggukan kepala oleh Anggara.

Anggara mendorong trolley yang penuh belanjaan mereka berdua, sementara Selly melangkah sambil menggandeng Felicia.

"Dok, terima kasih banyak, saya malah jadi merepotkan," guman Selly lirih.

"Ah santai saja, nggak masalah."

Selly tersenyum kecut, baik juga ya ternyata si songgong ini. Namun sikapnya tetap saja ya? Cuek bebek, dingin, ketus dan tidak tampak ramah.

"Kak Selly rumahnya di mana sih?" tanya Felicia dengan mulut penuh cokelat.

"Di Jakarta sana Sayang, di sini kakak tinggalnya di apartemen." Selly tersenyum melihat cokelat yang belepotan di sudut bibir Felicia, tangannya terulur membersihkan sisa-sisa cokelat di sudut bibir itu.

"Kapan-kapan Felis boleh main ke sana? Ke tempat Kakak?"

"Boleh dong, kabari kakak dulu tapi, takutnya ada jadwal jaga di rumah sakit, oke?" Selly tersenyum, boleh asal cuma anaknya yang main ke tempat dia, bapaknya? Tidak perlu!

"Oke siap! Nanti biar diantar papa ke sana kalau Felis ingin main ke apartemen kakak."

"Ayo!" Pintu lift terbuka, Anggara mempersilahkan Felicia dan Selly masuk lebih dulu, kemudian dia dan trolley mereka.

"Kakak nanti pengen sundae apa Mac Flury?" tanya Felicia penuh semangat.

"Kayaknya Mac Flury deh, kamu sendiri? Mau apa?" Selly tersenyum sambil mengelus lembut kepala Felicia.

"Lihat dulu di sana nanti."

Selly tersenyum, ia begitu gemas dengan anak Dokter Anggara ini, kenapa cantik dan menggemaskan sekali sih? Bapaknya padahal menyebalkan dan sedingin es.

Ahh ... Mungkin Felicia menuruni ibunya bukan? Jadi begitu cantik dan menggemaskan sekali seperti ini. Selly jadi menerawang jauh, kelak ia berharap semoga bisa memiliki anak gadis secantik ini. Semoga ....

***

Anggara berkali-kali mencuri pandang ke arah gadis yang ada di hadapannya itu. kenapa rasanya ia tidak mau berpaling barang sedetik pun darinya? Wajahnya begitu cantik, manis dengan segala guratan indah di wajah itu. Anggara benar-benar dibuat gila!

"Rencana mau ambil spesialisasi apa besok?" tanyanya Anggara yang bosan diam saja, tangannya masih asyik menyuapkan es krim ke dalam mulut.

"Belum ada pandangan Dok," jawab Selly jujur apa adanya.

"Niat jadi dokter nggak sih? Apa cuma puas jadi DU doang?" semprot Anggara pedas.

"Ya nggak gitu juga sih, Dok. Cuma jujur masih bingung menentukan mau ambil spesialisasi apa." Selly rasanya pengen misuh-misuh, orang satu itu memang mulutnya nggak ada rem kali ya?

"Bingung pilih spesialisasi apa memangnya?"

"Antara penyakit dalam sama anestesi, cuma sampai saat ini masih mantab di penyakit dalam, nggak tahu kalau besok berubah, Dok." dr. Selly Veronica Hariardi, Sp.PD, begitu kan impian Selly?

"Bagus tuh, mantab kan dulu mau ambil apa, ntar udah daftar, lulus malah berpaling, kan, sia-sia kamu daftarnya." Anggara menatap dalam-dalam manik mata Selly yang tengah menyimak ia bicara itu, sorot mata itu ....

Anggara sontak memaki dalam hati, kenapa sorot mata itu begitu dalam merasuk ke hatinya? Kenapa sorot mata itu begitu memporak-porandakan hatinya dan membuat ia lemah seketika? Kenapa ia bisa semudah itu kemudian lupa pada janji yang sudah ia ucapkan pada Diana?

Anggara sendiri tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Jatuh cintanya kali ini begitu dahsyat! Kenapa bisa begitu? Karena meskipun ia selalu ingat bahwa ia punya janji pada Diana, namun rasa kagum, simpatik dan cinta darinya untuk sosok Selly sama sekali tidak berkurang atau pun menghilang.

"Orangtua dokter juga?" tanya Anggara yang berusaha mati-matian menekan semua perasaan anehnya yang begitu menyiksa itu.

"Iya Dok, papa sama mama kebetulan dokter juga, Dok. Kalau mama cuma mentok jadi DU, nggak sempet lanjut karena harus urus usaha batik dan tekstil yang diwariskan kakek-nenek."

Anggara manggut-manggut, wah ternyata koasnya ini bukan sembarang. Makanya baru koas sudah bawa mobil sendiri, tinggal di apartemen. Ternyata orangtuanya begitu kuat dalam finansial.

"Darah biru ya berarti? Siapa nama papamu? Spesialis apa?"

"Iya begitulah, Dokter. Papa Bambang Hariardi, kebetulan papa ambil andrologi, Dok."

Astaga, kenapa Anggara baru sadar? Bukankah nama belakang mereka sama? Kenapa ia tidak menyadarinya? Ia tahu siapa itu Bambang Hariadi, bukankah beliau teman papanya? Kenapa ia baru tahu kalau sosok androlog itu punya anak perempuan secantik ini?

"Beliau lulusan FK UNPAD?" Anggara mencoba memastikan, namun dari segi nama, ia sudah yakin, sangat yakin bahwa orang yang tadi disebut oleh Selly adalah orang yang ia maksud.

"Betul, kenapa Dokter bisa tahu?" tampak gadis itu terkejut, nah benar bukan?

"Papamu dan papa saya satu alumni, berarti kamu adik dari Kevin Pratama Hariardi?" Kevin adalah anak pertama dokter Bambang Hariadi, berarti Selly adalah ....

"Betul, itu kakak saya, kok Dokter bisa kenal?"

Anggara tertegun, kenapa ia bisa tidak menyadari Selly? Selama ini padahal keluarga mereka dekat bukan? Kecuali setelah dia lulus FK dan pergi dari Jakarta sekeluarga karena sangat kebetulan kedua orangtuanya pindah dinas.

Dan dimana Selly kala itu?

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Maya Manaroinsong
bagus sekali ceritanya saya suka
goodnovel comment avatar
Merak Kayangan
bagus banget
goodnovel comment avatar
alicia_alice
kerennn banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status