Share

Chapter 8 Litle Lie

Waktu terus bergerak maju dan tak akan pernah bisa berhenti. Waktu memiliki detik, menit, bahkan jam yang tak akan berkesudahan. Tak ada peran yang akan menggantikannya.

Kini waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sinar sang surya hampir meredup namun, Gerald belum juga menunjukkan batang hidungnya. Audy terus membuka dan menutup kunci handphonenya. Namun, tidak ada satu balasan atau pun panggilan dari Gerald. Tak selang beberapa lama Audy pun melakukan miss call kembali.

"Maaf nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan."

Audy berdecak kesal, dandanan yang tadi begitu cantik dan fresh kini sudah berubah menjadi acak-acakan dan kusut, "kamu kemana Ger?" tanya Audy pada diri sendiri lalu dia membanting tubuhnya di atas kasur meluapkan rasa kesalnya.

"Audy!!" Panggilan dari luar kamar membuat Audy menggeliat malas. Suara Hendra yang melengking bercampur suara ketukan pintu yang beruntun serta tidak sabaran membuatnya terpaksa bangun. Ia menghentak-hentakan kakinya saat melangkah membuka pintu.

"Kenapa, Ayah? Aku sedang sangat kesal hari ini, aku tidak ingin diganggu." Sungut  Audy menunjukan wajah mengerutnya membuat Hendra menggelengkan kepalanya.

"Apakah Bunda mu belum pulang?" tandas Hendra mengacuhkan raut kesal Audy.

"Mana aku tahu. Ayah yang suaminya saja tidak tahu, apa lagi aku."

"Dia tidak mengabarimu?"

"Saat bunda pergi saja tidak berpamitan denganku, ditambah dia sudah berbohong padaku ku tadi pagi, mana mungkin dia akan mengabariku?"

"Ahh ya sudahlah." Desah Hendra kecewa.

Audy menganggkat kedua bahunya tak peduli. Moodnya hari ini sangat buruk, Ia ingin menjernihkan pikirannya dengan rebahan tanpa terbebani untuk memikirkan hal kecil dengan kepergian Della.

Bundanya bukan lagi anak kecil yang tak tahu arah jalan pulang. Dia juga bukan seorang perempuan tua yang sudah pikun. Lantas untuk apa dicemaskan?. Dia tidak sebatang kara, jadi jika terjadi sesuatu padanya pasti dia akan mengabari keluarganya bukan?.

"Kalau tidak ada lagi yang ingin ditanyakan, Audy tutup saja ya pintunya." Seru Audy sembari menarik gagang pintu hendak menutupnya.

"Eh tunggu dulu." Cegah hendra mengehentikan pergerakan Audy.

" Ayok kita ke ruang bawah, ayah ingin ngobrol denganmu sambil menunggu bunda pulang." Pinta Hendra yang segera menarik tangan putri semata wayangnya.

" Ayah, aku ingin istirahat." Tolak Audy sambil merajuk layaknya anak kecil.

"Kau ini, tega sekali membiarkan ayah menunggu bunda sendirian, ayolah!" bujuk Hendra.

"Ayah!!" Audy masih merengek namun, tangan kekar Hendra sudah keburu menariknya keluar dari sarang menuju ruang bawah.

"Okey Baiklah, Audy temenin. tapi dengan satu syarat."

"Astaga, kau perhitungan sekali dengan ayah." 

"Di dunia ini tidak ada yang gratis Yah."

"Ya sudah, apa syaratanya?"

"Belikan Audy satu cup es krim jumbo rasa strowbery." sahut Audy dengan tersenyum lebar, matanya berbinar binar seperti anak kecil yang sedang memohon untuk dibelikan mainan baru.

"Ck ingat usiamu sudah dua puluh lima tahun, berhentilah bersikap menggelikan seperti anak balita."

"Ayolah, Ayah. Uang jajanku sudah habis untuk keperluan tesisku."

"Baiklah," ucap Hendra pasrah.

"Terimakasih ayah." Audy mengecup pipi Hendra lalu berlari mendahuluinya, membuat Hendra terkikik geli dengan tingkahnya.

"Berhenti bersikap seperti itu Audy. Ingat umurmu!" Teriak Hendra yang tak dihiraukan oleh Audy. Setelah sampai anak tangga terakhir Audy tertawa membalas ucapan Hendra.

"Sampai kapanpun aku akan menjadi anak gadis yang menggemaskan untuk ayah."

Keduanya lalu saling melempar tawa sampai  kekhawatiran yang Hendra rasakan sedikit berkurang.

Sampai di ruang bawah Audy menuju jendela untuk membuka gorden yang sedari tadi menutupi ruangan itu. Ia tak menyangka dengan apa yang kini dia lihat.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Hari kian sore,  setelah tiga puluh menit mengemudi, akhirnya Della dan gerald sampai dengan selamat di depan gerbang rumah keluarga Gunawan.

Semula Della menolak keras permintaan Gerald untuk mengantar sampai depan rumah. Namun, karena Gerald memaksa akhirnya Della menerima permintaan Gerald.

"Terima kasih," Ucap Della tulus.

"Kembali kasih." Balas Gerald seraya mengusap-usap puncak kepala Della dengan sepenuh jiwa.

Della tersenyum tipis. Hatinya memberontak agar menepis tangan Gerald dari kepalanya, namun tubuhnya justru malah merespon sebaliknya. Ia menikmati sentuhan singkat yang diberikan Gerald.

"Awas ih, nanti berantakan."

"Kamu masih cantik." Sahut Gerald menyudahi aksinya.

Della tersipu malu, kemudian Ia melangkahkan kakinya perlahan keluar mobil. Gerald berat hati melambaikan tangannya untuk perpisahan mereka sore ini.

Della menyeka sudut matanya pelan. Ia bersyukur Gerald mau menerima hubungan mereka menjadi sahabat, setelah curhatan panjang hingga membuat Della  menangis tersedu-sedu menceritakan masalah rumah tangganya.

Ia merogoh tas yang dikenakannya mencari cermin kecil yang selalu dia bawa. Dirapikan anak rambut yang berantakan akibat ulah Gerald.

Senyum Della terukir saat ucapan Gerald yang memuji wajah ayunya, "Ya ampun Della, suami mu bisa mengamuk jika tau kau seperti orang gila karena sebab pujian lelaki lain."

Della menepuk jidatnya berkali-kali menghilangkan rayuan gombal Gerald. Ia berdehem kecil untuk menghilangkan perasaan aneh yang menjalar di dadanya setelah pertemuan tak terduga dengan Gerald.

Tanpa Della sadari, sedari tadi ada sepasang mata yang melihat perilakunya seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.

Della memasuki rumah keluarga Gunawan dan mendengarkan suara tawa yang bersumber dari ruangan keluarga. Dengan langkah bergetar Della menghampiri suami dan anak tirinya.

"Emm... Jadi bagaimana hubunganmu dengan Gerald?" Tanya Hendra antusias.

"Baik yah, dia tipe lelaki idaman. Audy berharap  Gerald adalah cinta pertama dan terakhir Audy. semoga hubungan kita sampai kejenjang pernikahan." Jelas Audy dengan sungguh-sungguh.

"Syukurlah, ayah senang mendengarnya dan semoga harapan mu terkabul." Hendra mencium pucuk kepala Audy, menandakan betapa dia menyayangi anaknya itu.

"Amin, terimakasih Yah." Senyum paksa terukir di bibir Audy. Dadanya terasa pilu saat mengucapkan kalimat bohong itu.

"Bunda, kamu sudah pulang?" ucap Hendra dengan lembut saat mendengar langkah kaki yang mendekat. Hendra ingin memperbaiki hubungannya dengan Della, sebisa mungkin dia mengontrol nada bicaranya walaupun hatinya sedikit emosi jika teringat sikap Della yang pergi begitu saja.

"I..iya, aku baru sampai!" Della tersenyum kikuk mendekati Hendra dan Audy.

"Bunda dari mana dan pergi dengan siapa?" cecar Audy tanpa basa nasi. Kecemberuan membuatnya tak bisa menahan diri. Ia juga ingin mengetahui, apakah Della akan bercerita jika dia bersama dengan Gerald.

"Ya. Bunda tadi dari kafe 88. Tapi tidak disangka Bunda malah bertemu dengan teman kerja. Dia curhat masalah kantor."

" Hmm begitu ya. Lalu pulangnya diantar siapa Bun?"

" Bunda naik taksi tadi."

"Ooh." Audy mengangguk dengan rasa kecewa, mengapa bundanya harus berbohong?. Jelas-jelas tadi dia melihat bahwa dia diantar Gerald, harusnya bunda cukup berkata, " Tadi bunda ke kafe bertemu teman kantor bunda, dan pulang diantar Gerald." Tapi, mengapa dia tidak jujur saja? gumam Audy mulai berfikir negatif.

"Ayah, bunda sudah datang, aku ke kamar dulu ya, aku ingin beristirahat." Pamit Audy meninggalkan Hendra dan Della.

"Iya. Makasih sudah mau menemani ayah." 

Audy diam tak memyahut. Pikirannya menjadi kacau. Ia merasa ada yang janggal dengan bundanya.

Ditempatnya Della masih terdiam terpaku.  Apakah Audy tahu jika aku sedang berbohong? kata-kata yang dilontar gadis itu terdengar sangat menohok. Apa mungkin dia tau  jika aku baru saja bertemu dengan Gerald dan menghabiskan waktu bersamanya?.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status