“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar.
Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat.
“Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu.
“Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara.
“Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar.
Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan
Dua hari telah berlalu, ustadz Yusuf yang teringat akan sesuatu kembali mengajak kedua gadis kembar itu untuk berbicara tentang hal yang ingin mereka tanyakan karena tertunda oleh ulah cucu-cucunya. Dara dan Diandra datang sambil membawa minuman dan kudapan untuk ustadz Yusuf, yang telah mereka anggap sebagai kakek mereka sendiri. Setelah meletakkan apa yang mereka bawa, kedua gadis kembar itu pun duduk di hadapan ustadz Yusuf. “Sekarang, katakan, apa yang ingin kalian tanyakan tempo hari?” ucap ustadz Yusuf membuka pembicaraan Dara dan Diandra saling melempar pandang. Hal itu membuat ustadz Yusuf mengulas senyum tipis. “Kenapa hanya saling pandang? Ayo, katakan saja,” ujar ustadz Yusuf. “Ekhem ... begini, Kek, beberapa hari yang lalu, tepatnya saat Kakek bercerita tentang tragedi
Bakhtiar baru saja akan mengunci pintu pagar rumahnya setelah memarkirkan motornya ketika tiba-tiba dia dikejutkan suara teriakan minta tolong tak jauh dari rumahnya. ‘Suara minta tolong siapa itu?’ batin pemuda itu. Tolong! Kembali Bakhtiar mendengar suara teriakan itu. Tanpa menunggu lagi ia segera mencari arah asal suara. “Hei! Lepaskan dia!” seru pemuda itu seraya mendekat ke arah tiga orang pemuda yang tengah mengganggu seorang gadis. “Siapa kau? Pergilah dan jangan ikut campur urusan kami!” bentak salah seorang pemuda itu. “Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang tidak suka dengan laki-laki pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya dengan seorang gadis,” sahut Bakhtiar tenang. Sementara gadis yang tadi diganggu tiga pemuda itu diam-diam menarik sudut
Dua orang gadis tengah sibuk mengambil bahan makanan dari rak yang berderet di sebuah swalayan. Wajah mereka yang cantik dan terlihat mirip membuat mereka menjadi pusat perhatian. Tak hanya kaum adam tetapi juga kaum hawa. Bahkan beberapa gadis ada yang memberikan tatapan sinis karena merasa iri dengan kecantikan mereka yang nyaris sempurna. Kedua gadis itu, bukan tak menyadari telah menjadi pusat perhatian, mereka hanya berusaha bersikap biasa dan mengabaikan itu semua sesuai pesan dari ustadz Yusuf. Ya, kedua gadis itu adalah Dara dan Diandra. “Sudah semua, Kak?” tanya Diandra. Dara memperhatikan troly yang berisi belanjaan mereka. “Hanya camilan pesanan trio usil yang belum,” sahut Dara sambil terkekeh. “Ya sudah, kita ke bagian camilan dulu saja,” jawab Diandra. “Ayo,” sahut Dara.
Restia duduk dengan gelisah di sudut sebuah kafe. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya. “Mana, sih, mereka. Hari semakin malam tapi bayangan mereka pun belum terlihat,” sungut gadis itu. Baru saja ia akan menghubungi orang yang ditunggunya melalui ponsel, mereka telah terlihat memasuki kafe itu. “Kalian darimana, sih? Aku sudah hampir dua jam menunggu kalian,” serbunya begitu Fery dan kedua temannya duduk di hadapannya. Ya, ternyata ketiga pemuda itulah yang sejak tadi ditunggunya. “Tck! Kamu lupa, kalau sudah jam pulang kerja, jalanan di kota ini berubah padat. Apalagi di perempatan depan sana pasti macet,” sahut Fery kesal. “Hah! Ya sudah, kalian pesan dulu saja,” tukas Restia. Seraya menunggu pesanan mereka, Restia yang sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan se
“Siapakah pemuda tampan itu?” Terdengar suara warga yang saling berbisik mempertanyakan tentang siapa pemuda itu. “Pak, maaf, siapa pemuda itu?” tanya Pak RT yang kebetulan berdiri di dekat Pak Sapto yang merupakan komandan dari tim polisi yang tengah sibuk memeriksa jasad gadis tak dikenal itu. “Oh, maaf, kami belum sempat memperkenalkan beliau kepada para warga di sini. Beliau Pak Ilham, seorang detektif yang dikirim dari kantor pusat untuk membantu memecahkan kasus ini,” tutur petugas polisi itu. Pak RT yang mendengar penuturan itu hanya manggut-manggut tetapi jelas terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian, jasad itu telah dikirim ke rumah sakit di kota untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, Pak RT meminta para petugas polisi, dokter dan pemuda bern
DUA PULUH TAHUN SEBELUMNYA. Malam itu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Suasana di Desa Damai juga sudah sepi. Hanya sesekali terdengar suara pantongan dari bambu yang dipukul oleh para peronda. Termasuk Rudiansyah, suami dari Mayasari yang juga ikut meronda. “Rud ... Rudi!” panggil seorang pria paruh baya yang tergopoh-gopoh mendekati Rudi yang sedang asik main catur di pos ronda. “Lho Pak! Ada apa ini, malam-malam Bapak kok malah ke sini?! Ada yang terjadi sama Maya?!” tanya Rudi cemas. Tak pelak pikirannya menerawang kepada istrinya di rumah yang saat ini sedang hamil tua. “Iya Rud, istrimu ... Maya ... dia mau melahirkan!” seru pria paruh baya itu terbata. “Be-benarkah, Pak?!” kembali Rudi bertanya. “Iya! Maka
Dengan diliputi kebingungan dan keheranan, Rudi melangkah ke ruangan itu untuk mengadzankan dua putrinya. Terjadi keanehan saat Rudi membisikan adzan di telinga putri keduanya. Bayi yang belum terdengar suara tangisnya sejak dilahirkan itu, tiba-tiba menangis sangat kencang begitu mendengar lafal adzan. Namun, anehnya suara tangis bayi itu terdengar sangat mengerikan. Suara tangis itu lebih terdengar seperti suara rintihan kesakitan. Hingga siapa pun yang mendengarnya, tak pelak bergidik ngeri. Dara Syahita dan Diandra Sarinila itulah nama yang diberikan Rudi untuk kedua putrinya. Meski masih diliputi kebingungan atas lahirnya Diandra, namun Rudi dan Maya tetap menerimanya dengan ikhlas. Mayasari merawat keduanya seolah-olah keduanya memang benar-benar saudara kembar. Apalagi wajah kedua bayi itu memang benar-benar mirip. Berbeda dengan mereka berdua, Pak Karta da
Pencarian terus berlanjut. Hingga tanpa mereka sadari, mereka sudah memasuki hutan yang ada di ujung desa. Hutan yang menurut warga adalah hutan terlarang dan angker. Selama ini tak seorang pun yang berani memasukinya. Beruntung, salah satu warga segera menyadari hal itu sebelum mereka masuk terlalu dalam. Saat ini mereka hanya mengandalkan lampu senter sebagai penerangan karena obor yang mereka bawa sudah mati diterpa angin yang bertiup kencang. “Ustadz, sepertinya kita sudah memasuki hutan terlarang,” bisik salah satu warga kepada Ustadz Yusuf. “Bapak benar. Sebentar. Pak Rudi, sepertinya saat ini kita sudah memasuki hutan terlarang. Bagaimana jika pencarian putri Bapak dilanjutkan besok saja?” usul Ustadz Yusuf. “Sa-saya ... ikut saja Ustadz. Saya juga sudah pasrah. Saya juga tidak ingin bapak-bapak yang lain ada dalam masalah kare