Share

Bab 3. BAYI YANG ANEH

     Pencarian terus berlanjut. Hingga tanpa mereka sadari, mereka sudah memasuki hutan yang ada di ujung desa. Hutan yang menurut warga adalah hutan terlarang dan angker. Selama ini tak seorang pun yang berani memasukinya. Beruntung, salah satu warga segera menyadari hal itu sebelum mereka masuk terlalu dalam. Saat ini mereka hanya mengandalkan lampu senter sebagai penerangan karena obor yang mereka bawa sudah mati diterpa angin yang bertiup kencang.

     “Ustadz, sepertinya kita sudah memasuki hutan terlarang,” bisik salah satu warga kepada Ustadz Yusuf.

     “Bapak benar. Sebentar. Pak Rudi, sepertinya saat ini kita sudah memasuki hutan terlarang. Bagaimana jika pencarian putri Bapak dilanjutkan besok saja?” usul Ustadz Yusuf.

     “Sa-saya ... ikut saja Ustadz. Saya juga sudah pasrah. Saya juga tidak ingin bapak-bapak yang lain ada dalam masalah karena membantu saya. Bapak-Bapak, saya minta maaf karena sudah merepotkan,” ujar Rudi lesu. Entah kemana dia harus mencari putrinya itu sekarang. Suara tangis bayi itu pun tak terdengar lagi begitu mereka memasuki hutan tersebut.

     “Ya sudah sebaiknya kita pulang saja. Malam juga semakin larut dan sepertinya cuaca malam ini juga tak bersahabat,” putus Ustadz Yusuf.

     Akhirnya rombongan itu pun pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa mereka memberikan dukungan kepada Rudi agar tetap bersabar. Mereka juga berjanji akan kembali mambantu mencari Diandra, putri kedua Rudi.

     Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam ketika Rudi sampai di rumahnya. Namun, masih terlihat beberapa tetangga yang menemani istri dan kedua orang tuanya serta putri pertamanya.

     Melihat anaknya pulang dengan tangan kosong dan terlihat sangat lelah, Pak Karta tahu jika Rudi belum menemukan Diandra.

     “Maya, gimana Pak?” tanya Rudi dengan suara lelahnya.

     “Tadi dia sudah sadar. Tapi dia belum mau bicara. Sekarang dia sudah tidur. Ibumu yang menemani Dara. Kamu istirahatlah. Bapak tahu, kamu mencemaskan Diandra. Kita akan cari lagi besok,” ujar Pak Karta panjang lebar.

     “Saya masuk dulu, Pak. Mari, Bapak-Bapak,” pamit Rudi.

     “Silakan, pak Rudi,” balas salah seorang warga mewakili yang lain.

     Dua hari telah berlalu sejak menghilangnya Diandra yang tiba-tiba. Kasak-kusuk dari warga mulai terdengar. Dari kelahirannya yang misterius hingga pada peristiwa hilangnya bayi itu yang tak kalah misterius. Banyak warga yang mulai menghubungkan peristiwa itu dengan hal-hal mistis. Bahkan banyak diantara mereka yang mulai mencurigai kadar keimanan keluarga Rudi.

     Seperti halnya pagi itu, saat Maya pergi ke warung, dia mendapatkan sindiran dari beberapa warga yang memang tak menyukainya sejak awal.

     “Eh lihat tuh! Anak dukun, pasti kelakuannya sama kayak bapak sama ibunya yang dukun itu!” seru seorang wanita.

     “Masa sih Mbak Wati. Emang bener ya, kalo Maya itu anak dukun?” tanya seorang perempuan pada wanita yang dipanggil Wati itu.

     “Lho! Kamu nggak percaya sama saya, Yun?! Saya ini, dulu tetanggaan sama dia di Desa Dayoh. Bapaknya kan dukun santet!” nyinyir Wati.

     “Tapi saya kok nggak percaya ya, Mbak,” sahut perempuan itu lagi.

     “Ya terserah saja. Mungkin kamu baru percaya sama saya setelah terjadi sesuatu di desa ini!” sahut Wati ketus. Dia merasa kesal karena Yuni tak mempercayainya.

     “Eh Maya! Gimana bayi anehmu, sudah ketemu?” sindir Wati.

     “Astagfirullah, Mbak Wati, Diandra bukan bayi aneh, Mbak. Dia anak kami. Anugerah bagi kami dari Allah,” jawab Maya dengan suara bergetar menahan tangis.

     “Alah! Nggak usah ngeles kamu. Buktinya, dia tiba-tiba lahir dan hilang begitu saja. Itu adalah tanda ada hal klenik dengan kelahiran bayi itu!” ketus Wati.

     “Mbak ... maaf, sebenarnya saya salah apa sama Mbak Wati? Kenapa sepertinya Mbak Wati begitu dendam sama saya,” ucap Maya lagi. Kali ini dia tak sanggup lagi menahan air matanya.

     “Sudah Mbak, sebaiknya Mbak Maya pulang saja, kasihan Dara,” ucap Yuni berusaha melerai keributan antara Maya dan Wati. Maya pun mengangguk dan beranjak dari tempat itu.

     “Lho! Maya ... kenapa pulang dari warung kamu malah nangis?” tanya Bu Minah yang heran melihat menantunya menangis sepulangnya dari warung.

     “Bu ... apa benar, orang tua Maya dukun santet?”

     Deg!

     Bu Minah terkesiap mendengar pertanyaan menantunya. ‘Darimana dia mendengar semua itu’ batin Bu Minah.

     “Siapa yang bilang begitu?” tanya Bu Minah.

     “Tadi di warung ada yang bilang begitu, Bu,” lirih Maya.

     “Dia bahkan bilang Diandra bayi yang aneh,” timpalnya.

     “Itu tidak benar, Nak. Orang tuamu bukan dukun santet,” ucap Bu Minah berusaha menenangkan menantunya. ‘Meski memang benar orang tuamu mempelajari ilmu klenik’ ucap Bu Minah lagi. Tentu hanya dalam hati.

     ‘Maafkan kami Maya. Kami terpaksa merahasiakan semua ini darimu. Kami bahkan mengetahui perjanjian apa yang dilakukan orang tuamu. Saat ini, kami sedang berusaha menyadarkan orang tuamu dan terpaksa mengurungnya di hutan itu’ batin Bu Minah lagi.

     “Istirahatlah, Nak. Temani Dara,” saran Bu Minah. Wanita paruh baya itu merasa iba pada menantunya. Usahanya bersama sang suami, hingga saat ini belum membuahkan hasil. Bu Minah dan Pak Karta merasa yakin lahirnya Diandra dan hilangnya bayi itu yang mengejutkan ada hubungannya dengan orang tua Mayasari. Apalagi setelah mendengar cerita dari Rudi jika tangis bayi itu berakhir di hutan itu. Hutan dimana Pak Karta dan Bu Minah mengurung dua sahabatnya yang masih berada dalam pengaruh iblis. Sahabat yang merupakan orang tua Maya.

     Pak Karta dan Bu Minah merasa bersyukur karena Rudi mencintai Maya. Dengan begitu akan mudah bagi mereka untuk menjaga putri sahabatnya itu.

     “Pak Karta! Bu Minah!” Bu Minah yang sedang duduk melamun terkejut dengan suara seseorang yang memanggilnya. Tergopoh-gopoh wanita paruh baya itu keluar untuk mengetahui siapa yang memanggilnya.

     “Pak Rahman, ada apa ini? Kebetulan suami saya dan Rudi sedang ke kota untuk melaporkan hilangnya cucu kami!” ujar Bu Minah.

     “Cucu Ibu sudah ketemu. Sekarang dia di Puskesmas. Kebetulan tadi saya sedang mengantar istri saya berobat ke sana. Bu Bidan yang memberitahukan pada saya,” beritahu Pak Rahman.

     “Alhamdulillah! Maya ... Maya!” Bu Minah segera memanggil menantunya. Tergopoh-gopoh Maya keluar sambil menggendong Dara.

     “Ada apa Bu?” tanya Maya.

     “Ini ... Pak Rahman membawa kabar tentang Diandra. Katanya dia sudah ketemu dan sekarang ada di Puskesmas!” seru Bu Minah dengan riang. Meskipun wanita itu tahu penyebab Diandra lahir. Dia tetap berusaha menerima bayi itu sebagai cucunya sama seperti halnya Dara.

     “Benarkah, Bu!” seru Maya dengan netra berkaca-kaca. Bu Minah hanya mengangguk.

     “Tunggulah suamimu dulu, jika kamu ingin menjemput Diandra,” ucap Bu Minah kemudian.

     “Bu Minah, Mbak Maya ... saya pamit dulu. Tadi saya cuma mau menyampaikan hal itu,” pamit Pak Rahman.

     “Oh iya. Terima kasih lho, Pak Rahman,” ucap Bu Minah. Bu Minah segera mengajak menantunya masuk setelah Pak Rahman pergi.

     Dengan perasaan gelisah, Maya pun menuruti ucapan ibu mertuanya. Kemudian dia duduk di kursi ruang tamu sambil memangku Dara.

     “Dara, syukurlah, adik kembarmu sudah ketemu, Sayang,” ucap Maya sambil membelai wajah mungil putrinya yang sedang terlelap.

     “Assalamu’alaikum!” terdengar salam dari pria yang sejak tadi ditunggu Mayasari.

     “Waalaikumsalam!” jawab Maya. Perempuan itu segera bangkit dari duduknya. Diciumnya punggung tangan suami dan ayah mertuanya.

     Setelah menidurkan Dara di kamarnya, Maya segera membuatkan minuman untuk suami dan ayah mertuanya. Dia merasa bersalah saat melihat raut wajah lelah yang tergambar di wajah kedua pria beda generasi itu.

     “Mas ... Diandra sudah ditemukan,” lirih wanita itu. Membuat kedua pria itu terperanjat dan menatap penuh tanya pada Mayasari.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status