Share

Bab 4. (TERNYATA) BUKAN DIANDRA YANG HILANG

“Mas ... Diandra sudah ditemukan,” lirih wanita itu. Membuat kedua pria itu terperanjat dan menatap penuh tanya pada Mayasari. Maya yang mengerti arti tatapan itu pun memulai ceritanya.

     “Tadi, Pak Rahman datang ke rumah. Beliau mendapat kabar dari Bu Bidan jika saat ini, Diandra ada di Puskesmas. Kebetulan tadi Pak Rahman mengantar istrinya berobat ke sana,” terang Maya.

     Rudi dan Pak Karta hanya manggut-manggut tanda mengerti.

     “Ya sudah, biar Mas yang Puskesmas. Kamu jaga Dara di rumah,” ujar Rudi.

     “Tapi Mas ...”

     “ ... Nggak ada tapi-tapian, Maya. Turuti Mas ya. Kamu jaga Dara aja di rumah!” ucap Rudi tegas. Bukan tanpa alasan Rudi meminta hal itu dari Maya. Rudi hanya tidak ingin Maya mendapat cemoohan dari beberapa warga seperti yang dia dan bapaknya dapatkan terkait Diandra. Pria itu paham benar bagaimana perasaan istrinya yang sangat mudah berkecil hati.

     Dengan sangat terpaksa, wanita muda itu pun menuruti keinginan suaminya. Dia tidak ingin disebut sebagai istri durhaka karena membantah perintah suaminya. Dia sadar, suaminya pasti mempunyai alasan sendiri dan itu pasti untuk kebaikan dirinya.

     Setelah memastikan istrinya menuruti ucapannya, pria itu bergegas pergi ke Puskesmas. Sesampainya di sana, dia segera mencari bidan yang merawat Diandra.

     “Selamat siang, Bu Bidan,” sapa Rudi dengan sopan.

     “Selamat siang, Pak Rudi,” sahut bidan itu.

     “Benarkah, putri saya sudah ditemukan Bu?” tanya Rudi untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi didengarnya bukanlah kesalahan.

     “Benar, Pak Rudi,” sahut bidan itu dengan mengulas senyum.

     “Siapa yang menemukannya, Bu?” tanya Rudi penasaran.

     “Entahlah Pak. Kami juga tak mengenalnya. Tadi pagi ada seorang wanita yang mengantarnya ke mari. Wanita itu bilang, dia menemukan Diandra tergeletak begitu saja di bawah pohon beringin besar yang ada di ujung jalan dekat dengan hutan itu,” terang Bu Bidan hati-hati.

     Rudi merasakan hatinya mencelos. Sudah berkali-kali dia dibantu warga mencari hingga ke tempat itu, namun tak membuahkan hasil. Dan sekarang ada seorang wanita asing yang mengatakan Diandra ditemukan ditempat itu. ‘Ya Allah, ada apa ini sebenarnya’ tanya pria itu dalam hati.

     “Bu, boleh saya bawa pulang Diandra?” tanya pria itu.

     “Tentu saja boleh, Pak. Tunggu sebentar,” ujar Bu Bidan itu. Lalu beranjak meninggalkan Rudi sendiri di ruangannya. Tak lama kemudian, bidan itu kembali sambil menggendong Diandra yang tampak lelap tertidur. Setelah bidan itu menyerahkan Diandra padanya, dia pun segera berpamitan.

     “Maafkan ayah, Nak. Maaf, ayah tak bisa menjagamu,” bisiknya pada bayi mungil itu. Tampak bayi itu menggeliat di gendongannya saat mendengarnya berbisik. Dengan menaiki ojek, dia membawa bayinya pulang.

     Mayasari, tampak gelisah menunggu kedatangan suaminya yang sedang menjemput saudara kembar Dara. Dia duduk termenug di teras rumah hingga tak mengetahui jika Dara terbangun dari tidurnya dan sedang menangis. Sampai Bu Minah memanggilnya, barulah dia tersadar.

     “Maya, itu Dara terbangun, sepertinya dia haus!” panggil Bu Minah.

     “Eh ... Iya Bu. Maaf ...” ucap wanita muda itu. Bu Minah merasa iba dengan apa yang dialami menantunya itu. ‘Ibu akan menjagamu seperti putri ibu sendiri, Nak’ batin Bu Minah. Banyak yang ingin wanita itu bicarakan dengan suaminya. Hanya saja dia belum menemukan waktu yang tepat.

     “Sudahlah. Susui bayimu, kasihan dia,” ujar Bu Minah penuh maklum. Maya segera beranjak ke kamar bayinya. Diraihnya bayi mungil itu dan segera disusuinya dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba wanita itu tersentak seperti menyadari sesuatu.

     “Diandra! Ini ... ini kamu, Nak! Berarti ... yang kemarin hilang ... Dara kakakmu?” gumam wanita itu sambil meringis menahan sakit. Karena terlalu sedih memikirkan salah satu putrinya yang hilang, dia sampai tak menyadari bahwa dia telah salah mengira siapa putrinya yang hilang.

     Rudi dan Bu Minah yang sudah berdiri di pintu kamar merasa terkejut saat mendengar gumaman Maya.

     “Apa maksud kamu, Maya?!” tanya Rudi sambil menggendong bayi yang menurutnya adalah Diandra.

     “Iya Nak, apa maksud ucapanmu itu?!” Bu Minah menimpali.

     “Mas ... Bu, yang hilang selama dua hari ini Dara bukan Diandra. Saya ingat betul bagaimana bedanya saat saya menyusui Dara dan Diandra. Saat Diandra yang menyusu, saya selalu merasa sangat nyeri, sepertinya bukan air susu yang dihisapnya tapi darah saya,” terang Mayasari tak bisa lagi menutupi apa yang dia rasakan setiap kali menyusui Diandra. Bu Minah dan Rudi terkesiap mendengar kenyataan itu. Pria itu lalu memperhatikan wajah istrinya yang memang terlihat sedikit pucat. Demikian juga dengan Bu Minah.

     “Tapi ... siapa yang menukar posisi tidur mereka?” gumam Maya penasaran.

     “Menukar posisi tidur, bagaimana maksudmu Maya?” tanya Rudi.

     “Mas. Mas tahu kan kenapa saya tidak memberikan mereka hal yang sama, meski mereka kembar?” alih-alih menjawab pertanyaan suaminya dia justeru balik bertanya.

     “Agar kita mudah mengenali mereka,” sahut Rudi cepat. Ya, sejak awal pria itu tahu Maya selalu memberikan hal berbeda pada putri kembarnya. Meskipun Maya akan mudah mengenali mereka tapi dia tetap melakukan hal itu. Jika bukan pakaian keduanya, dia akan membedakan seprai dan selimut mereka.

     “Iya Mas. Dan saya ingat betul, hari itu meski pakaian mereka sama karena acara aqiqahan, tetapi saya memberikan seprai dan selimut biru untuk Dara. Sedangkan untuk Diandra saya pasang seprai dan selimut kuning. Apa Mas masih ingat, apa warna seprai yang saya tunjuk saat bayi kita hilang?” tanya Maya setelah menjelaskan panjang lebar.

     “Warna kuning,” jawab Rudi setelah mengingat-ingat kejadian malam itu.

     “Ah iya! Ibu ingat. Waktu itu ibu langsung menggendong Dara. Dan seingat ibu seprai dan selimutnya berwarna biru!” seru Bu Minah. Entah kenapa, mendengar penjelasan menantunya yang terasa janggal, Bu Minah merasa tidak enak hati.

     “Itu artinya, siapa pun yang sudah mengambil bayi kita terlebih dahulu menukar keduanya?” tanya Rudi sambil memberikan kesimpulan.

     “Itu benar, Mas. Dan bodohnya saya, karena terlalu sedih dan hanya berpegang pada warna seprai dan selimut mereka hingga tak meyadari jika Dara lah yang saat itu hilang,” lirih wanita itu.

     “Sudahlah, Sayang. Yang tertpenting saat ini kedua putri kita ada di sini,” ucap Rudi menenangkan istrinya.

     “Diandra ... Sayang, gantian Kak Dara dulu ya,” ucap Maya lembut sambil menidurkan Diandra. Lalu wanita itu mengambil Dara dari gendongan suaminya dan menyusui bayi itu.

     “Dara, putri bunda, maafkan bunda ya, Nak. Bunda salah mengenali kalian,” ucap Maya sendu sambil membelai wajah putri sulungnya.

     Rudi dan Bu Minah merasa terenyuh melihat pemandangan itu. “Tapi Sayang ... jika yang selama ini di rumah adalah Diandra, kenapa dia bisa tenang saat mendengar suara adzan. Padahal, saat pertama kali aku melafalkan adzan, dia menangis begitu kencang seolah-olah dia sedang menjerit,” ujar Rudi saat tiba-tiba dia mengingat hal itu.

     “Aku juga nggak tahu, Mas?” sahut Maya.

     Mendengar ucapan anaknya, perasaan Bu Minah semakin tidak tenang. ‘Haruni, apa ini semua ulah kamu’ batin Bu Minah seraya menyebut nama sahabatnya yang tak lain adalah ibu dari Mayasari. Bu Minah memilih untuk keluar kamar dan mencari suaminya. Dia merasa harus segera membicarakan masalah ini dengan suaminya.

     Sementara Rudi memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Baginya, saat ini mereka bertigalah harta paling berharga. Walaupun kehadiran Diandra tak pernah dia duga dan masih menyisakan tanya hingga saat ini. Pria itu memilih untuk tak memikirkan hal itu. Baginya sekarang menjaga mereka bertiga adalah yang terpenting. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar.

    

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status