Share

Bab 7. PETAKA DI DESA DAMAI

    Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa satu bulan sudah Wati meninggalkan Desa Damai dan kembali ke Desa Dayoh demi untuk menyempurnakan niatnya membalas dendam kepada Mayasari.

     Meninggalkan Wati dengan segala ritualnya di Desa Dayoh. Ternyata hampir satu bulan ini Desa Damai mengalami petaka tiada henti. Tak hanya ternak yang mati mendadak tetapi hampir seluruh warga yang bertani dan berladang mengalami gagal panen. Sungai dan sumur tiba-tiba mengering. Bahkan, banyak anak kecil dan balita yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah semua itu disebabkan karena apa. Hanya saja warga Desa Damai yang sempat terhasut oleh ucapan Wati tentang siapa orang tua Mayasari, mulai kasak-kusuk  kembali.

     Tak segan mereka melontarkan tuduhan keji bahwa bencana yang terjadi di Desa Damai disebabkan oleh kehadiran bayi kembar Mayasari atau karena kutukan Mayasari yang sempat terlontar karena amarahnya. Dari kedua bayi Mayasari ang sering mendapat hujatan adalah Diandra yang selama ini mereka anggap aneh sejak awal kelahirannya.

     Mayasari yang sejak peristiwa sebelumnya masih menyimpan rasa sakit, mulai meradang setiap kali dia mendengar kasak kusuk warga yang menuduh kedua bayinya sebagai pembawa petaka. Sebagai seorang ibu, hatinya begitu terluka. Dia tidak rela anak-anaknya mendapat tuduhan keji itu.

     Dara dan Diandra yang kini sudah berusia dua bulan tumbuh seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan selama satu bulan ini tak ada keanehan pada mereka. Jadi, tidak salah bukan jika Mayasari merasa marah ketika buah hatinya dituduh sebagai pembawa bencana.

     Mayasari yang sejak peristiwa satu bulan lalu, berubah menjadi sosok yang pendiam dan lebih sensitif. Bahkan saat fisiknya perlahan mulai berubah dia juga tak memperdulikannya. Semakin hari tubuhnya semakin terlihat kurus dan pucat. Hal itu membuat suami dan mertuanya merasa heran. Tak hanya mereka, warga desa pun banyak yang merasa heran.

     Warga bahkan sering merasa takut saat melihat Mayasari. Ya, dalam pandangan mereka Mayasari semakin terlihat seperti mayat hidup. Padahal menurut Bu Minah, nafsu makan Mayasari tidak berkurang sedikit pun. Terkadang, tatapan mata Mayasari terlihat kosong. Tanpa mereka ketahui jika apa yang terjadi pada Mayasari disebabkan oleh bayi kembarnya. Ya, Mayasari tak dapat lagi membedakan apakah Dara atau Diandra yang membuatnya merasa kesakitan saat menyusui mereka. Karena, dengan semakin tumbuhnya mereka, keduanya menunjukkan hal yang sama setiap harinya.

     Terkadang Mayasari merasa malas untuk menyusui mereka. Namun, seketika hatinya merasa bersalah setiapkali melihat mereka merengek dan ingin disusui. Akhirnya dengan menahan sakit bagaikan terhisap darahnya tetes demi tetes, dia tetap menyusui keduanya.

     “Bu, Pak, sebenarnya apa yang terjadi pada istriku?!” tanya Rudi tiba-tiba pada kedua orang tuanya.

     “Bapak akan cari tahu, Rud. Kamu tenang saja dulu. Sore ini juga, bapak akan cari tahu,” sahut Pak Karta mencoba menenangkan anaknya.

     “Termasuk apa yang terjadi pada desa ini. Bapak dan Ustadz Yusuf akan mencari tahu,” lanjut Pak Karta.

     “Ijinkan aku ikut membantu Bapak,” lirih Rudi.

     “Jangan Rud! Kamu harus tetap di rumah untuk menjaga istri dan anak-anakmu!” cegah Pak Karta.

     “Pak, mungkinkah kecurigaan ibu benar?!” celetuk Bu Minah. Membuat Rudi terperanjat. Dia bertanya-tanya apa maksud ucapan ibunya.

     “Maksud ibu ... apa?” tanya Rudi penasaran

     Belum sempat Bu Minah menjawab pertanyaan anaknya, terdengar suara ribut dari arah depan rumah. Mereka bertiga bergegas keluar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

     Tolong! Tolong!

     Teriakan minta tolong itu terus terdengar. Terlihat warga berbondong-bondong menuju asal suara.

     Tolong! Tolong!

     Suara teriakan minta tolong itu semakin lama semakin melemah. Namun, Pak Karta dan warga desa terus saja mencari asal suara. Langkah mereka seketika terhenti saat suara teriakan minta tolong itu menghilang tepat di ujung jalan yang menuju ke hutan terlarang. Tak satu pun warga berani memasuki hutan itu.

     Pak Karta terpaku di tempatnya berdiri. Dia menghela napas panjang. Dia tahu pasti teriakan itu pasti dari orang yang berada di dalam hutan itu. Orang yang hanya dia dan istrinya yang tahu. Awalnya ada Kyai Ahmad yang merupakan ayah dari Ustadz Yusuf yang juga mengetahui hal itu

      Namun, sejak Kyai Ahmad meninggal otomatis hanya dirinya dan Bu Minah yang tahu. Pak Karta tidak tahu, apakah Ustadz Yusuf mengetahui hal ini atau tidak. Oleh sebab itu dia bermaksud menemui Ustadz Yusuf dan menanyakannya. ‘Aku harus segera ke sana. Tapi tak mungkin saat ini. Sebaiknya aku bubarkan warga dan kembali ke sini diam-diam’ batin Pak Karta.

     “Rud, sebaiknya ajak warga kembali ke desa.  Tak baik jika berlama-lama di sini,” ucap Pak Karta. Rudi pun menuruti apa kata ayahnya. Begitu juga dengan warga.

     “Bapak sendiri, tidak ikut pulang?” tanya Rudi sebelum dia meninggalkan tempat itu.

     “Bapak mau langsung ke rumah Ustadz Yusuf,” jawab Pak Karta.

     “Baiklah Pak. Kalo begitu, saya dan warga pulang dulu,” pamit Rudi. Pak Karta hanya mengangguk.

     Setelah Rudi dan warga meninggalkan tempat itu, Pak Karta bergegas ke rumah Ustadz Yusuf.

     “Assalamu’alaikum!” ucap Pak Karta.

     “Waalaikumsalam!” terdengar jawaban dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu pun dibuka dari dalam. Kebetulan Ustadz Yusuf sendiri yang membuka pintu.

     “Oh, Pak Karta. Mari silakan masuk, Pak,” Ustadz Yusuf mempersilakan Pak Karta untuk masuk. Setelah Ustadz Yusuf meminta istrinya membuatkan minuman untuk Pak Karta mereka duduk di ruang tamu dan berbincang di sana.

     “Bagaimana Pak, ada yang bisa saya bantu?!” tanya Ustadz Yusuf.

     “Ini tentang yang terjadi di desa kita saat ini, Ustadz. Saya tahu, di belakang saya dan keluarga masih ada beberapa warga yang beranggapan kehadiran cucu saya Diandra, sebagai pembawa petaka di desa ini. Jujur, saya sendiri kadang juga berpikir demikian. Tapi, saya selalu berusaha menepis itu semua. Walau bagaimanapun, Diandra tetap cucu saya,” terang Pak Karta.

     “Selain itu ada yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz,” sambung Pak Karta.

     “Tentang apa ya, Pak?!” Ustadz Yusuf balik bertanya.

     “Maaf sebelumnya, apa ... Kyai Ahmad pernah bercerita tentang hutan terlarang yang ada di ujung desa, kepada Ustadz?” tanya Pak Karta hati-hati.

     “Seingat saya ... beberapa bulan sebelum beliau meninggal, beliau sempat menyinggung tentang hutan itu. Beliau juga pernah beberapa kali meminta saya untuk menanyakan tentang hal ini kepada Bapak dan membantu Bapak, jika memang diperlukan. Namun, karena kesibukan saya, saya lupa akan hal itu. Sebenarnya, apa hubungan semua ini dengan hutan itu Pak?!” tanya Ustadz Yusuf. Pak Karta mendesah panjang, wajahnya tampak begitu lelah tapi dia harus segera menyelesaikan semua ini.

     “Begini Ustadz, saya, Kyai Ahmad dan istri saya mempunyai kisah yang panjang mengenai hutan itu,” ujar Pak Karta.

     “Cerita ini juga berkaitan dengan orang tua Mayasari dan Mayasari sendiri,” lirih Pak Karta. Ustadz Yusuf terkejut dan terperangah dalam diam. Dia tak menyangka akan ada kisah tentang hutan terlarang.

     “Maksud Bapak?!” tanya Ustadz Yusuf penasaran.

     “Jadi begini Ustadz, orang tua Mayasari ... mereka masih hidup,” ucap Pak Karta. Hal itu membuat Ustadz Yusuf tersentak tak percaya.

     “Kalo mereka masih hidup, dimana mereka, Pak. Kenapa waktu Mayasari dan Rudi menikah mereka tidak hadir?” tanya Ustadz Yusuf.

     “Mereka memang tidak hadir tapi mereka tahu jika Maya menikah dengan anak saya,” jawab Pak Karta.

     “Maaf Pak, saya kok masih bingung ya. Bisakah Bapak ceritakan secara keseluruhan. Mungkin saya lupa, dulu almarhum ayah saya sudah cerita atau sekedar menyinggung tentang hutan terlarang,” ujar Ustadz Yusuf panjang lebar.

     “Saya, istri saya dan kedua orang tua Maya, dulunya kami berempat bersahabat. Kemana-mana kami selalu bersama. Semua petaka ini mungkin berawal dari kesalahan kami dimasa lalu. Oh ya, selain kami berempat sebenarnya ada dua orang lagi yang ikut terlibat. Mereka adalah Sarina adik dari Widarta dan kekasihnya ...”

     “... Widarta itu siapa, Pak?” potong Ustadz Yusuf.

     “Widarta adalah ayah dari Mayasari dan Sarina yang merupakan adik Widarta adalah ibu dari Wati,” Pak Karta menjelaskan.

     “Itu berarti ... Wati dan Maya ...”

     “ ... Saudara sepupu,” sahut Pak Karta cepat.

     “Kalo mereka saudara sepupu, kenapa sepertinya Wati sangat membenci Maya. Saya dapat melihat pancaran penuh dendam dari sorot matanya!” ujar Ustadz Yusuf.

     “Saya juga tidak tahu pasti, Ustadz. Mungkin semua juga berkaitan dengan masa lalu kami,” ujar Pak Karta.

     “Ceritakan saja semua, pada saya Pak. In Syaa Allah, saya akan bantu menyelesaikannya.

     Pak Karta menghela napas panjang. Namun, dia sudah mengambil keputusan, apapun resikonya, dia akan menceritakan semua pada Ustadz Yusuf. Dia berharap, Ustadz Yusuf dapat membantunya menyelesaikan petaka yang terjadi di Desa Damai.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status