“Pergiiii! Pengacau!” usir Arini hingga urat kepalanya menonjol ke luar.
Susan tidak pernah dibentak seperti itu. Jemari lentiknya langsung menarik bisep kekar di sebelahnya. Dia tidak ingin mendapatkan perlakuan yang lebih dari itu.
Erik masih tidak bisa berpaling dari wajah Arini. Hatinya ingin sekali memeluk gadis itu. Mengapa setelah dia pergi rasa itu malah muncul semakin menjadi. Apakah ini yang dinamakan karma?
“Sayang, ayo cepat kita pergi!” Susan mengerutkan keningnya.
“Iya,”
Langkahnya terasa berat. Padahal ia ingin sedikit lebih lama berbincang dengan Arini. Bagaimanapun juga, lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Banyak cerita dan asa yang pernah mereka bangun bersama. Hanya karena hadirnya seorang wanita yang lebih menarik dan juga tingkat koneksinya yang cukup tinggi membuatnya harus melepaskan Wanita berambut coklat itu.
Suara keras pintu tertutup membuat tanda jika Arini tidak baik-baik saja. Kedatangan Lelaki yang sudah mengisi lima tahun hidupnya membuat air mata wanita itu jatuh tak tertahankan. Dadanya terasa sesak saat melihat kembali wajah lelaki itu. Tangannya terus mengurut dada. Tidak pantas nama lelaki itu terus berada di dalam hatinya.
Arini melihat ke arah dinding kamar. Dia melihat kalender dua hari lagi tanggal jatuh tempo kontrakannya. Dalam hatinya terus bertanya, mengapa Erik bisa mengetahui dia tinggal di sini. Apakah di hati Erik masih tersimpan namanya juga?
Tiba-tiba telepon Arini berdering membuyarkan lamunan. Dia lihat layar telepon, tampak nama Ibu yang tertera.
“Halo Bu,”
“Rin, Bapak sakit. Kamu cepat pulang ya,”
“Rini harus kerja Bu. Nanti siapa yang bayar obatnya kalau Rini tidak bekerja?”
“Ya ampun Nak, jika sampai Bapak kamu nggak ada, nanti menyesal.”
“….”
“Semua terserah kamu. Bukan soal uang saja yang kami butuhkan. Kamu anak satu-satunya kami. Sama siapa lagi coba,”
“Baik Bu, besok Rini pulang,”
Berat hati, dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Pikirannya pun sudah lelah dengan semua tindak tanduk Erik kepada dirinya. Jika Erik terus berada di sekitarnya, bagaimana dia bisa membuka hati untuk yang lain.
Pagi sekali dia menyerahkan kunci pada pemilik kontrakkan. Arini membawa satu koper pakaian dan juga barang-barang kesayangannya. Taksi online sudah menunggu di depan gang untuk mengantarnya ke travel yang sudah dia booking pada malam hari.
“Bye, bye, sepertinya rezekiku bukan di sini,” Arini menyunggingkan sebelah bibirnya. Dia merasa konyol. Mimpinya terpaksa kandas setelah dia berjuang mendapatkan peran. Cintanya pun berakhir begitu saja dan dia masih memikirkan mantan kekasih yang sudah berpaling darinya.
Lima jam perjalanan, akhirnya Arini sampai di kampung halamannya. Sudah lima tahun dia tidak pulang. Hanya sambungan lewat telepon saja dia bisa berhubungan dengan kedua orang tuanya. Suasana kampung sudah jauh berbeda. Di sana sini sudah berdiri rumah megah dan juga ruko. Tempat yang dulunya area persawahan dan ladang kini berubah fungsi menjadi kontrakkan petak.
Arini menarik koper berjalan menuju rumahnya. Ada rumah yang sangat megah berada di antara rumah kecil di sampingnya. Ternyata rumah Arini berada tepat di samping rumah megah itu. Seperti bumi dan langit, sungguh ironi.
Dia mengetuk pintu rumahnya. Suasananya masih tidak berubah, masih seperti dulu. Ibu Arini membuka pintu, dia sudah menduga putrinya lah yang akan pulang. Lima tahun tidak bertemu, Ibu Arini melihat putrinya sudah semakin dewasa dengan tubuh semakin kurus. Seolah tinggal tulang berbungkus kulit.
“Rini, kenapa kamu menjadi seperti ini?” tanya Ibu Arini khawatir.
“Seperti bagaimana Bu?” tanya Arini heran.
“Kamu kurus sekali Sayang. Ayo bicaranya di dalam saja.”
Mereka pun masuk ke rumah. Ayah Arini ternyata tidak sakit. Dia baru saja pulang lewat pintu belakang sehabis menjalankan hobinya memancing.
“Ya ampun, Rini! Anak Bapak ini baru pulang? Kenapa nggak minta dijemput Bapak saja?” sapa Ayah Arini memeluk anak semata wayangnya.
“Bapak lebay, Rini baru saja pulang Pak. Kata Ibu Bapak sakit? Ih bohong dosa,” kesal Arini. Namun, dia senang jika ayahnya baik-baik saja.
Mereka bersenda gurau, melepaskan kerinduan setelah lima tahun lamanya tidak bersua. Arini bermanja pada kedua orang tuanya. Dia menyesal karena dia tidak menuruti pesan kedua orang tuanya untuk bersekolah yang benar dan serius bekerja.
Arini pun tidak luput menanyakan tentang rumah megah di samping rumahnya. Ternyata rumah itu mulai dibangun tepat sebulan setelah Arini merantau sebagai artis. Sungguh, dengan hadirnya rumah megah itu, perekonomian desa menjadi semakin membaik.
Keesokan harinya,
Arini merasa bosan berada di rumah seharian. Pagi sekali dia pergi berolah raga. Dia ingin meregangkan tubuhnya setelah berjam-jam dia melakukan perjalanan jauh. Dia memulai dari rumah menuju ujung jalan. Udara sejuk sungguh melegakan paru-parunya.
Saat dia hendak berjalan menuju area persawahan yang sedang tidak ditanami, Arini menghentikan langkahnya. Matanya tertuju pada sosok lelaki yang sedang berdiri sendirian sambil memegang kamera. Rasa penasaran wanita itu muncul, dia berjalan mendekat. Saat dia semakin mendekat, Lelaki itu melepaskan kameranya, melihat ada sosok yang sangat familiar di dalam hati.
“Astaga, Tio!” Arini membuka matanya lebar-lebar. Sosok Lelaki yang selama ini Arini cari keberadaannya, kini dia berada tepat tiga langkah di depannya.
“Arini,” ucap Tio sama terkejutnya.
Jantung Arini berdegup kencang, hatinya kembali ingat semua kenangan bersama lelaki yang pernah menjadi cinta pertamanya. Air matanya tiba-tiba berkumpul di sudut mata. Ingin sekali dia memukul lelaki ini. Jika saja debut pertama Arini itu bersama Tio, mungkin nasibnya tidak akan seperti saat ini.
“Kamu Arini, kan?” tanya Tio.
“Iya, aku Arini, lawan mainmu saat audisi film lima tahun yang lalu,” Arini membenarkan perkataan Tio.
“Apa kabar?” Tio mulai menarik garis bibir ke atas.
“Baik, kamu sendiri?” tanya Arini.
“Baik, Apa kamu sudah menikah sekarang?” tanya Tio penasaran.
“Cih, belum. Aku masih jadi jomblo kelas teri,” kelakar Arini.
“Hahaha, kenapa belum menikah? Kamu kan cantik,” puji Tio sambil memasukkan kameranya ke ransel.
“Kamu sendiri, sudah menikah belum?” tanya Arini berkacak pinggang.
“Belum,” Tio tersenyum.
“Berarti kita sama-sama nggak laku,” ucap Arini sambil tersenyum.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Tio penasaran.
“Kampungku kan di sini. Rumahku di sebelah rumah yang paling besar itu.” Menunjuk rumah megah.
“Wah kita bertetangga ya rupanya,” Tio terlihat gembira.
“Memangnya kamu tinggal di mana?”
“Aku tinggal di rumah besar itu,” jawab Tio.
Arini menyeringai, sungguh, level dirinya dan Tio sangat jauh berbeda. Dia hanya anak seorang pegawai biasa, sedangkan Tio sudah dapat dipastikan dia adalah anak orang kaya.
“Rin, ayo kita sarapan bersama,” ajak Tio menarik jemari Arini.
Arini terdiam saat Lelaki tampan itu memegang jemarinya. Jantungnya masih saja berdebar sangat kencang, lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Namun, tetap saja sikapnya tidak berubah.
“Kamu kenapa Rin?” tanya Tio mengerutkan kening. Dia menghampiri Arini lalu menempelkan telapak tangannya ke dahi wanita itu. “Tidak demam ah,” lanjutnya.
“Aku baik-baik saja,” ucap Arini memalingkan wajahnya yang sudah memerah. Dia tidak bisa menahan perasaannya saat di dekat Tio.
Tio lalu menarik jemari Arini, rasa hangat menjalar ke tubuh Arini. ‘Aku masih suka sama kamu Yo,’ batin Arini. Tio pun sebenarnya sangat senang bisa bertemu dengan Arini. Ada perasaan suka yang tidak pernah bisa dia ungkapkan pada gadis yang menjadi cinta pertamanya itu.
Mereka berdua pun berhenti di sebuah warung nasi. Tio membeli makanan untuk sarapan bersama Gadis yang ada di hadapannya itu. Sarapan bersama setelah sekian lama tidak bertemu. Rasanya waktu ini ingin sekali Tio hentikan.
Obrolan ringan disertai canda dilakukan mereka berdua. Arini masih seperti yang dulu, murah senyum, rambutnya yang panjang dan tidak diikat selalu menyusahkannya saat makan. Seperti biasa, Tio pun selalu membantu Arini menyibakkan rambutnya. Jantung keduanya seketika berdegup kencang tidak tertahankan.
Mata Arini tertuju pada pemilik mata hazel itu. Dia masih saja perhatian dan sangat tampan. Mungkin ini sebabnya dia selalu menghindari kontak fisik dengan Erik. Sebab di dalam ingatannya sudah terpatri setiap Gerakan dan juga sentuhan yang Tio pernah berikan kepadanya.
Terlihat jelas ada genangan air mata yang menghiasi wajah gadis cantik itu. Rasa laparnya pun seketika menghilang ketika Tio melakukan hal yang biasa dia lakukan kepadanya dulu. Jelas saja, memori yang selalu ingin dilupakan Arini kembali hadir dan terasa perih. Dia meletakkan sendoknya lalu pergi meninggalkan Tio. Gadis itu berlari dengan kencangnya, dia tidak ingin sakit hati untuk kedua kali dengan orang yang sama. Tidak bisakah dia hanya ada dalam ingatan saja. Mengapa kita harus bertemu kembali? Tio terkejut melihat Arini pergi meninggalkannya dengan mata yang berkaca-kaca. Tio bergegas membayar sarapannya lalu berusaha mengejar Arini. Terlihat punggung Arini yang perlahan menjauhi dirinya. “Rin, tunggu,” panggil Tio. Arini berpikir, dia ingin Tio mengejarnya, seperti saat dulu ketika dia merajuk. Lama Arini menunggu, Tio tidak kunjung datang. Gadis itu menyeringai, dia se
Tio dan Farhan saling berjabat tangan memperkenalkan diri satu sama lain. Tio banyak menanyakan asal usul Farhan, begitu pun sebaliknya. Di sini, Arini malah menjadi canggung. Keduanya berbincang seolah tidak ada orang lain. Angin bertiup sangat kencang, rok yang dikenakan Arini tersingkap. Sepasang mata kedua lelaki itu seketika melebar. Wajah cantik itu seketika memerah tatkala melihat ekspresi kedua lelaki yang ada di hadapannya. ‘Mata lelaki semua sama,’ kesalnya dalam hati. Farhan dan Tio memalingkan wajah mereka, tidak mungkin bagi mereka melewatkan pemandangan langka seperti itu. Sisi lainnya mereka pun merasa seperti lelaki hidung belang jika mereka melihatnya dengan tatapan berhasrat. Suasana menjadi sangat canggung setelah kejadian tadi. Sesampainya di rumah Farhan, Arini berjalan dengan santainya memasuki rumah yang menjadi kenangan masa kecilnya. “Farhan, kamu masih ingat t
Pagi ini, garis bibir Tio sudah terangkat sempurna. Sungguh dia benar-benar menantikan hal ini. Skenario yang sudah disimpan selama lima tahun, kini bisa terwujud. Arini adalah pemeran yang sangat pas. Kisah ini memang ditujukan untuknya. Parfum yang sudah lama tidak pernah dia gunakan setelah lima tahun akhirnya dia kenakan kembali. Aroma musk menyeruak ke sekitarnya. Dia melihat jam di dinding kamarnya, baru jam tujuh pagi. Dia sudah tidak sabar ingin segera menjemput Arini. Melihat tingkah putranya yang tidak biasa, membuat Cintami (Ibu Tio) penasaran. Anak lelaki kesayangannya itu menghampiri lalu berpamitan kepadanya. “Mam, Tio pamit ya mau syuting,” ucap Tio. “Kamu mau ke mana Sayang? Ingat kamu baru dua tahun loh, jangan terlalu lelah,” tanya Cintami sambil mengusap rambut anaknya. “Mami, akhirnya Tio bertemu dengan Arini. Rasanya Ti
Setelah menghabiskan seluruh makanan di atas meja, mereka pulang. Selama di perjalanan, Arini dan Tio diam seribu bahasa. Lelaki yang disukai Arini itu terlalu pendiam. Terkadang membuat gadis itu sulit mengerti apa yang sedang dipikirkan olehnya. “Tio, memangnya kamu ingin ikut festival di mana?” tanya Arini membuyarkan keheningan. “Oh, aku akan mengikuti festival di Jepang. ‘Shorts Shorts Film Festival’ kamu tahu, kan,” tutur Tio sambil tersenyum manis. “Ah serius mau ikutan festival itu?” Mata Arini terbelalak dengan membuka mulutnya lebar-lebar. “Serius.” Menganggukkan kepala. “Semoga saja film kita masuk nominasi,” harap Arini berbunga-bunga. “Amiin, aku pun berharap demikian.” Tio menepikan mobilnya. Akhirnya dia sampai di depan gerbang rumah Arini. Tio kembali membukakan pi
Ibu Arini mencari putrinya. Dia mendapati Farhan dan Arini sedang di kamar berdua sambil berpegangan tangan. Dalam pikirannya menjadi semakin berkecamuk. Apakah putrinya dan Farhan sudah saling menyatakan perasaan. “Rin, kamu sedang apa sama Farhan?” tanya Ibu Arini sambil bersandar di kusen pintu. “Rini tadi kelilipan, jadi Farhan bantu tiup,” jawab Arini berbohong. Farhan ikut menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Farhan. Jelas mereka berdua sedang berbohong, tidak mungkin kelilipan tapi pegangan tangan. Berarti hubungan mereka kini lebih dari sekedar teman, dalam hatinya. “Ya sud
Mata Arini langsung terbelalak saat bibir Farhan membentur bibirnya. Hangat bagi Farhan, menyakitkan untuk Arini. Lelaki itu terkejut lalu bangkit dari tempat tidur. Dia melihat ada luka di bibir Arini. Benturan yang keras menyebabkan bibirnya terkena gigi. “Ish! Farhaaan!” kesal Arini sambil memegangi bibirnya yang terasa perih. Farhan menyeringai, dia tidak sengaja melukai Arini. Tangannya mengatup memohon ampun. “Rin, aku minta maaf, tidak sengaja,” sesalnya. “Pergi!” Arini mengacungkan kepalan tangannya. Dia ingin Farhan segera pergi dari kamarnya. Farhan tersenyum malu sekaligus merasa bersalah. Ciuman pertamanya tidak terduga. Dilakukan dengan cara yang aneh dan meninggalkan bekas. Farhan memegangi dadanya yang terus berdebar. 'Seharusnya ini dilakukan dengan cara yang lebih manis lagi,' sesalnya dalam hati. * Keesokan harinya,  
Terbang, Arini merasakan tubuhnya seperti melayang di udara. Matanya yang tadi masih terpejam kini terbuka dengan perlahan. Sekilas dia melihat sosok Erik, dia mengedipkan kelopak matany berkali-kali untuk memastikan jika itu tidak mungkin terjadi. Arini kemudian mendapatkan penglihatannya dengan jelas. Lelaki yang dia lihat bukanlah Erik melainkan Farhan. Bola mata Arini lalu berputar, melirik ke kiri, dia tidak sedang berjalan. Ternyata dia sedang digendong oleh Farhan. Arini berpura-pura masih menutup mata. Dia ingin tahu, Farhan akan membawanya ke mana. Terdengar suara pintu berderit. “Farhan, Rini kenapa kamu gendong?” tanya Ayah Arini dengan khawatir. “Dia ketiduran di mobil. Farhan bantu gendong saja.” Farhan meneruskan langkahnya menuju kamar gadis itu. “Ya sudah, Bapak mau ke dalam dulu ya.” Ayah Arini masuk ke kamarnya. &n
“Ya ampun, Neng. Kenapa nyosor gitu sama Abah, Neng? Itu orang ganteng ada di belakang,” kelakar Kakek tua itu sambil menggelengkan kepalanya. Tio lekas menarik Arini. Wajahnya tidak dapat berbohong, dia ingin sekali tertawa saat Kakek tua itu berkata seperti itu. Arini melihat Tio ingin menertawakannya akhirnya menegur lelaki itu. “Ketawa aja sampe puas, iseng bener nolongnya sampai aku hampir berciuman dengan bandot tua,” sindir Arini sambil mencubit perut Tio pelan. “Hahaha, maaf ya.” Tio Terkekeh. “Untung kamu ganteng jadi aku maafin,” jawab Arini sambil mencolek pipi Tio. Dia hanya bermaksud untuk berkelakar saja. “Rin, seminggu atau bahkan satu bulan ke depan kita nggak bisa ketemu,” kata Tio sambil memegang jemari Arini. “Kenapa?” “Aku harus mengedit film tersebut, dan juga mengirimkan na