Share

Ch. 3 Dia Siapa?

Sudah waktunya pulang, Sisca membereskan barang bawaannya. Hari pertama lancar, semuanya berjalan sesuai harapannya. Lancar tanpa gangguan apapun. Dan harapannya untuk selanjutnya tetap seperti ini. Terus seperti ini.

"Kak, masih ada pekerjaan nggak?" tanya Sisca basa-basi, semoga aja tidak ada, jadi dia bisa langsung pulang.

"Nggak ada Sis, kamu pulang aja nggak apa-apa," guman Rizky sambil tersenyum, ia sendiri sudah memberesi barang bawaannya dan bersiap pulang.

"Yasudah Sisca balik duluan ya, Kak."

Rizky hanya mengangguk dan tersenyum, membuat Sisca kemudian melangkah keluar ruangan itu, menyusuri koridor office perusahaan itu. Perusahaan ini adalah perusahaan besar, dan ia benar-benar gembira bukan main bisa diterima bekerja di sini.

Ia merogoh tasnya, meraih iPhone miliknya hendak menghubungi nomor Dita. Ia sudah janji hendak mentraktir sahabatnya itu bukan? Dan hari ini juga dia akan menepati janjinya. Sebagai ucapan terima kasih juga.

"Hallo, cie yang keterima kerja," goda Dita dari ujung telepon.

Sontak senyum Sisca merekah, ternyata rasanya bisa keterima kerja itu sebahagia ini ya? Ini baru keterima, entah bagaimana nanti rasanya kalau sudah gajian yang pertama kali, ah ... Sisca tidak bisa membayangkan!

"Semua berkat kamu bukan? Yuk mampir makan dulu," ajak Sisca sambil terus menyusuri koridor office, ia hendak ke bagian administrasi, karena Dita adalah staff bagian administrasi.

"Asik ih, belum gajian udah ditraktir makan aja!" pekik suara itu begitu riang.

"Mau nggak? Gajian pertama ku besok mau aku kirim buat mama, jadi ya aku traktirnya sekarang aja!" Balas Sisca sambil tersenyum membayangkan bagaimana rasanya gajian nanti.

"Oke, kamu dimana?" tanya suara itu akhirnya mengiyakan.

"Aku di koridor utama nih, mau ke kantor kamu, kamu dimana? Apa janjian di parkiran? Kamu tunggu di sana ya?" guman Sisca sambil tersenyum.

"Oke, tunggu ya!"

Tut

Sisca memasukkan iPhone miliknya ke dalam tas, lalu kembali melangkah menuju parkiran. Hatinya benar-benar riang hingga kemudian di depan ruangan itu ia mendengar suara itu.

"Pi, tolonglah! Kejam amat sih sama aku, Pi?" desis suara itu, rasa-rasanya Sisca tidak asing dengan suara itu.

" ... "

"Masa cuma enam puluh juta sebulan sih, Pi? Omset bisnis papi ini kan milyaran perbulan?" gerutu suara itu lagi.

" ... "

"Pi, kan papi tahu dari dulu uang saku yang mami-papi kasih lebih, mana itu murni cuma uang jajan aja, makan, bensin dan lain-lain tidak termasuk."

" ... "

Sisca menempelkan telinganya di dekat pintu, buset dah orang ini. Dikasih duit enam puluh juta sebulan masih kurang? Siapa sih orang ini? Sisca hendak sedikit lebih dekat menguping ketika kemudian ada yang menepuk pundaknya dengan lembut.

"Eh ... ma-maaf!" desis Sisca yang hampir berteriak.

"Kamu ngapain?" tanya suara itu lirih, rupanya Dita yang menepuk pundaknya.

Sisca menghela nafas lega, untung Dita, coba kalau orang lain, bisa gawat Sisca kena masalah di hari pertama dia kerja, apes banget deh kalau sampai begitu.

"Nggak apa-apa, yuk pergi sekarang!" desis Sisca lalu melangkah meninggalkan depan ruangan itu, sedangkan Dita mengekor di belakang langkah Sisca.

Dita mengerutkan keningnya, kenapa dengan sahabatnya itu? Apa yang tadi dia lakukan di sana? Dia tidak sedang jadi agen KGB, kan? Dia tidak sedang berusaha menjadi mata-mata yang dikirim perusahaan lain untuk menghancurkan bisnis ini, bukan? Eh ... kenapa pikiran Dita bisa sampai sana? Astaga, efek kebanyakan nonton dan baca novel action, sampai kebawa di kehidupan nyata.

"Kamu nguping apaan hayo?" guman Dita sambil menatap Sisca penuh tanda tanya.

"E-enggak kok, emang itu ruangan siapa sih?" tanya Sisca penasaran.

"Itu ruangan Direktur utama perusahaan ini, Sis!" jawab Dita sambil tersenyum.

"Jangan bercanda ih!" Sisca sontak menegang, gila apa ya dia berani menguping pembicaraan direktur utama perusahaan tempat dia kerja! Astaga ... untung tidak ketahuan, kalau sampai ketahuan bisa gawat. Karier Sisca bisa hancur bahkan di hari pertama dia kerja.

"Serius dong, ngapain aku bohong?" Dita melirik sekilas Sisca yang wajahnya memucat itu.

Sisca sontak garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu, kenapa dia asal nguping aja sih tadi? Nggak lihat-lihat dulu ruangan siapa itu? Ah ... agaknya setelah ini ia harus ingat dua hal. Yang pertama, tidak boleh terlalu kepo pada urusan orang, dan yang kedua memastikan terlebih dahulu siapa orang itu sebelum Sisca berniat diam-diam kepo dengan urusan orang itu.

"Waduh untung aku nggak ketahuan tadi ya," desis Sisca kembali garuk-garuk kepala.

"Emang kamu ngapain sih tadi?" Dita menatap heran sahabatnya itu. Ia jadi ikut penasaran dengan apa yang tadi Sisca lakukan di depan ruang kerja Direktur Utama perusahaan tempatnya bekerja itu.

"Tadi cuma nggak sengaja dengar percakapan yang di dalam itu," jawab Sisca lirih, "Bahas duit gede, makanya aku kepo."

Dita menatap Sisca penuh tanda tanya, "Duit gede gimana?"

"Ya intinya yang di dalam itu nggak tahu siapa bilang kalau uang enam puluh juta sebulan itu kurang," jelas Sisca lalu melangkah mendekati motornya.

"Cuma segitu gede? Kamu nggak baca laporan keuangan perusahaan?" Dita tertawa, dasar Sisca.

"Sudah sih, nolnya sampai bikin pusing mata lihatnya," Sisca memanyunkan bibirnya, kapan dia punya duit segitu?

"Nah kenapa heran cuma karena uang enam puluh juta?" goda Dita sambil tertawa.

Sisca hanya menjulurkan lidahnya lalu memakai helm dan memacu motornya pergi dari halaman parkir karyawan itu. Dibelakangnya Dita mengikuti dengan menaiki motor matic kesayangannya.

Ia masih memikirkan suara yang tadi ia dengar, rasanya ia tidak asing dengan suara itu. Ia pernah mendengar suara itu, namun dimana? Dia siapa?

***

Sambungan telepon sudah terputus, usahanya sia-sia. Arnold menghela nafas panjang, sudah fix ternyata uang bulanan dia cuma enam puluh juta dengan CC limit hanya sepuluh juta! Bisa apa yang segitu? Arnold memijit pelipisnya dengan gemas.

Mana ia masih harus bayar listrik, air, kuota dan bensin mobil. Mana cukup sih? Arnold menyandarkan tubuhnya di kursi, ia kira jadi direktur utama itu akan menyenangkan. Nyatanya ... astaga kehidupannya malah lebih memprihatinkan.

Arnold melirik jam tangannya, sudah sore. Ia meraih jas hitamnya lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya itu. Di kuncinya ruangan kerja itu, lalu ia melangkah menuju parkiran.

Setelah ini ia masih harus memikirkan pakaian kotornya, ada sih mesin cuci, cuma pakainya bagaimana? Rasanya perlu ia bawa ke laundry yang murah saja cukup kan?

Arnold melangkah masuk ke dalam mobilnya, mampir makan dulu lebih baik bukan? Daripada nanti di rumah dia kelaparan? Dulu di London semua dia tinggal pesan, tinggal pilih karena duit dari mama-papanya melimpah ruah, ia tidak perlu khawatir kekurangan atau kehabisan uang, lah sekarang?

Ia hendak membawa mobilnya ke sebuah restoran elit, namun teringat jumlah uang bulanannya, Arnold mengurungkan niatnya. Ke Hoka-hoka Bento rasanya cukup bukan? Yang jelas ia harus benar-benar melakukan pengiritan!

Ia tersenyum kecut jika teringat kehidupannya dulu, makanannya setiap hari selalu mewah dan elit. Baik di rumah ataupun di luar rumah, ia selalu makan makanan ekslusif.

Dan sekarang? Astaga, mengerikan.

"Gue bener-bener pusing deh kalau mikir harus bisa gunain itu enam puluh juta buat hidup sebulan!" desisnya sambil membawa mobilnya mencari outlet Hoka-hoka Bento terdekat.

"Mana cukup sih duit segitu ya ampun, Papi!" desisnya lagi sambil tersenyum kecut.

Kepalanya mendadak makin pusing, bagaimana ia bisa bertahan nanti? Kehidupannya seolah berbalik seratus delapan puluh derajat!

"Ayo Arnold, mikir deh mikir!"

***

"By the way direktur utama kita itu masih muda banget lho! Anak sulung Pak Gunawan Argadana." Guman Dita membuka percakapan, mereka sudah duduk di sebuah warung steak ternama di kota mereka. Ternama karena murah dan ekonomis.

Sisca menatap Dita yang sedang bercerita dengan penuh semangat. Masih muda? Ah ... Bisa saja kan masih muda sudah punya perusahaan, orang bapaknya konglomerat. Macam cerita di novel kan begitu, ada dulu ia baca di W*ttpad anak tiga belas tahun sudah jadi CEO, edan bener dah imajinasi si penulis.

"Ganteng, tinggi tegap dan S2 lulusan London!" cerita Dita dengan berapi-api.

"Sudah pernah ketemu?" tanya Sisca sambil mengunyah steak pesananya. Mereka memesan menu yang sama beef steak dengan mash potato.

"Belum sih, cuma baru dengar-dengar aja," guman Dita sambil tersenyum.

"Sama Choi Siwon gantengan mana?" tanya Sisca asal, kalau macam Choi Siwon, ia mau langsung cari jaran goyang atau Semar mesem. Dia bakal pelet itu orang agar mau nikah sama Sisca, lumayan memperbaiki keturunan plus kondisi ekonomi.

Sontak Dita melempar gumpalan tisu itu ke arah Sisca, Sisca sontak tertawa terbahak-bahak melihat betapa jelek wajah Dita.

"Kenapa jadi disamakan sama Choi Siwon sih?" gerutu Dita sebal. Tentu lah pasti gantengan Choi Siwon kemana-mana, secara dia artis dan anggota grup idol favorit di Korea sana.

"Ya maaf, siapa tahu ganteng kayak Choi Siwon, auto cari Semar mesem aku, biar klepek-klepek sama aku." Sisca kembali mengunyah steak-nya, ahh ... Choi Siwon ....

"Kalau gitu sih aku juga mau kali!" Dita memanyunkan bibirnya, siapa yang tidak mau? Ganteng, kaya raya, macam dapat lotre milyaran bukan?

Sontak Sisca tertawa terbahak-bahak, ia masih memikirkan suara yang tadi ia dengar. Tidak asing tapi siapa? Kenapa rasanya ia mengenali si pemilik suara? Tapi kan katanya itu direktur utama mereka bukan? Masa ia dia pernah ketemu anak sulung pengusaha kaya raya itu sih?

'Dia siapa?'

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
bagak kan ahti ku
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
gooooooooddd
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status