Share

Ch. 5 Bos Itu

Hari kedua. Sisca masih begitu menikmati pekerjaannya, belum ada masalah yang berarti yang ia temui. Sejauh ini semua temannya baik-baik semua, tidak ada bullying atau sikap semena-mena dari teman-teman sekantor yang biasanya merasa lebih senior. Sisca sangat berharap semuanya bisa seperti ini, tidak ada drama-drama menyebalkan yang membuat ia jadi tidak betah dan kemudian memutuskan untuk resign, ia tidak ingin resign dari perusahaan besar itu.

"Sis, kamu nggak makan siang nih?" sapa Natalie, teman satu divisinya ketika Sisca sedang sibuk menyusun laporan pengeluaran perusahaan bulan ini.

"Ntar aja deh Kak, ini nanggung banget deh, duluan aja. Maaf ya Kak," desis Sisca lirih, jujur ia merasa tidak enak, namun mau bagaimana lagi? Ia sedang fokus pada pekerjaan dan mau pekerjaan ini segera selesai.

"Oke, santai aja. Aku duluan ya," Natalie tersenyum, lalu melangkah keluar ruangan meninggalkan Sisca yang tengah berkutat dengan tumpukan berkas di mejanya itu.

Jujur angka-angka di dalam selembar kertas itu benar-benar membuat kepalanya pusing. Ia harus ekstra hati-hati karena salah barang seangka pun akan berakibat fatal. Walaupun begitu ia suka pekerjaan ini. Sebuah cita-cita sederhana dalam dirinya adalah bisa punya pekerjaan dan penghasilan sendiri bukan?

"Sis, laporan pengeluaran sudah selesai? Kalau sudah antar ke ruangan bapak ya!" tampak Pak Hendro, manajer keuangan perusahaan tekstil itu berdiri di sebelah meja Sisca, membuat Sisca sedikit terkejut karena sosok itu muncul tiba-tiba.

"Kurang sedikit, Bapak. Baik nanti saya antar berkas ini ke beliau," guman Sisca sambil tersenyum.

"Oke, secepatnya ya, Bapak lagi datang bulan kayaknya, ngamuk terus dari tadi," bisik Pak Hendro lalu pergi meninggalkan meja Sisca.

Sejenak Sisca tertegun, bapak? Datang bulan? Mana bisa laki-laki datang bulan? Namun sedikit kemudian Sisca baru sadar kalau datang bulan yang dimaksud Pak Hendro bukan datang bulan seperti yang terjadi, mungkin lebih tepatnya dia sedang darah tinggi. Sisca hanya tersenyum kecut sambil kembali melanjutkan pekerjaannya.

Baru beberapa angka ia ketik, tiba-tiba ia teringat obrolannya dengan Dita kemarin.

'By the way direktur utama kita itu masih muda banget lho! Anak sulung Pak Gunawan Argadana.'

Dan dia setelah ini harus berhadapan dengan sosok itu guna memberikan berkas yang sedang ia kerjakan ini? Apakah ini suatu keberuntungan? Bisa bertemu langsung dengan sosok direktur utama perusahaan yang katanya ganteng, masih muda dan yang jelas lulusan S2 London.

"Seganteng apaan sih, heran deh aku!" Sisca kembali mengetik laporannya. Iya malah jadi semangat untuk menyelesaikan pekerjaannya agar bisa sesegera mungkin mengantarkan berkas itu dan bertemu dengan bos yang dibicarakan dengan Dita kemarin.

"Orang kaya mah jelek pun pasti juga bakal kelihatan ganteng kan kalau terawat dan baju yang ia pakai selalu merak ternama?" Sisca masih sibuk bicara sendiri, jemarinya sudah lincah menari-nari di atas keyboard komputer.

"Ganteng, masih muda, lulusan S2 London, jangan lupa kalau dia anak sulung dari Argadana Corporporate!" entah mengapa mulut Sisca sibuk nerocos sendiri, "Eh masih jomblo nggak ya kira-kira?"

"Ahh ... gila apa aku berharap pada langit yang terlalu tinggi?" sontak senyum masam itu terukir, ia bergegas menyelesaikan pekerjaan, mencetak file itu lalu merapikan penampilannya guna bertemu dengan direktur utama perusahaan tempatnya berkerja.

"Nah siap, ayo ketemu bapak kau!" guman Sisca konyol pada map yang berada di tangannya itu.

Ia melangkah keluar dari ruangannya lalu menyusuri koridor guna sampai pada ruangan yang kemarin ia sempat menguping di situ. Dengan gugup ia mengetuk pintu kokoh itu perlahan.

"Masuk!" perintah suara itu tegas.

Sisca membuka pintu, lantas masuk ke dalam ruang kerja yang begitu luas dan mewah itu. Rupanya ruang kerja direktur begini indahnya ya? Hebat, berapa duit untuk mendesign semua ini? Pasti semua barang yang di sini mahal dan berkelas.

"Permisi Bapak, saya dari staff manajer keuangan mau memberikan laporan pengeluaran perusahaan untuk bulan ini," guman Sisca sopan, di meja itu tertulis nama Arnold Argadana.

"Baik letakkan saja di ...," sosok itu menganga wajahnya dan itu membuat Sisca sontak melotot tidak percaya.

"E-elu ...," wajah Sisca memucat, map ditangannya jatuh. Begitu pun dengan laki-laki itu, ia tampak sangat terkejut dengan kehadiran Sisca.

"Nggak-nggak mungkin!" desis Sisca sambil tersenyum kecut, ia menggelengkan kepalanya dengan sedikit panik. Nggak mungkin yang duduk di hadapannya itu adalah tetangga samping rumahnya yang menyebalkan itu!

"Apanya yang nggak mungkin?" tanya Arnold sambil tersenyum sinis. Entah mengapa ia ia begitu puas melihat wajah itu memucat luar biasa.

"Orang kayak elu nggak mungkin kan anak Pak Gunawan Argadana? Direktur perusahaan ini? Nggak mungkin banget!" Sisca masih belum percaya. Ia berharap semua ini hanya mimpi, atau jangan-jangan dia personal asistennya Arnold Argadana?

Arnold bangkit, ia mengancingkan jasnya lalu melangkah mendekati Sisca yang masih mematung di tempatnya berdiri, dengan sedikit kasar Arnold mendorong tubuh Sisca hingga membentur tembok dan menatap tajam manik mata Sisca.

"Kenapa nggak mungkin?" tanya Arnold dengan suara yang sedikit ia tekan.

"Mana mungkin direktur perusahaan ini tinggal di perumahan kelas menengah, cuma naik Honda Mobilio? It's impossible!" Sisca mengutarakan analisanya, ia menatap sosok yang jika dengan setelan jas ini jadi mirip macam artis Korea di Drakor yang sering ia tonton.

"Ya ... tapi faktanya gue direktur utama perusahaan ini, dan gue anak sulung dari Gunawan Argadana!" Arnold menekan suaranya, ia masih memepet Sisca di sudut ruang kerjanya.

Sisca melotot dengan penjelasan yang keluar dari sosok itu, wajahnya makin pucat, terlebih ketika dua tangan Arnold meraup wajahnya.

"Nggak gue sangka kita bisa satu kantor ya, kan?" desisnya sambil menatap wajah tegang Sisca. Senyumnya sinis, matanya masih menatap tajam.

"Memang kenapa kalau satu kantor? Rasanya gue mau resign!" desis Sisca kesal, kalau tahu ini perusahaan milik bapak laki-laki rese ini, dia lebih baik melamar tempat lain.

"Resign? Lu lupa baca kontrak pekerjaan elu? Berapa tahun kemarin elu tanda tangan?" guman Arnold sinis, sekarang ia merasa menang dan di atas angin berhadapan dengan sosok menyebalkan ini.

Sisca makin syok, ia baru ingat kalau kontrak kerjanya satu tahun! Gila apa satu tahun jadi bawahan laki-laki rese ini? Bisa hancur dia dikerjain terus!

"Elu ...," desis Sisca hampir menangis.

Tapi Arnold tidak peduli, ia masih dalam posisinya dengan dua tangan menekan tembok untuk menahan Sisca di sana. Wajah Sisca berubah pucat pasi, air matanya mengembang di pelupuk matanya.

"Nah gue baru ingat! Gue ada penawaran buat elu!" Arnold melepaskan Sisca yang tampak sangat ketakutan itu, ia melangkah kembali ke mejanya dan duduk di sana setelah melepas kancing jasnya.

"Apa? Mau elu pecat? Silahkan!" air mata Sisca sudah mengambang, tangisnya sudah hampir meledak.

"Oh tidak! Jadi berapa gajimu di sini?" tanya Arnold sambil kembali duduk dan bersandar di kursinya.

"Sesuai UMR dan itu jadi begitu pedih ketika tahu elu yang jadi bos gue!" tukas Sisca kesal. Setelah ini ia ingin pulang saja, baru dua hari kerja dan kenyataan pahit ini yang harus dia terima? Apa dosa Sisca, Tuhan?

"Sialan! Denger dulu kampret!" gerutu Arnold kesal, gadis satu ini benar-benar menyebalkan!

"Cepet ngomong langsung ke inti!" guman Sisca galak. Sebodoh amat laki-laki itu direktur utama perusahaan ini, ia tidak peduli.

"Elu pindah jadi assiten pribadi gue! Elu urus semua keperluan dan kebutuhan pribadi gue dari dirumah sampai di kantor. Gaji elu sepuluh juta sebulan!" tawar Arnold tegas.

"Jadi sekertaris elu?" tanya Sisca tidak mengerti, bukannya sudah ada sekretaris pribadi yang bekerja untuk orang ini?

"Bukan! Sekretaris fokus ngurus pekerjaan kan? Nah elu ngurus jadwal-jadwal kerja gue, keperluan gue dirumah, beresin rumah dan lain-lain. Mumpung rumah kita sebelahan rasanya nggak terlalu ribet kan kalau yang jadi asisten pribadi gue itu elu?"

Sisca sontak melotot tajam menatap sosok yang masih berdiri di depannya itu, dia minta Sisca jadi pembantu rumah tangganya? Sialan!

"Elu nyuruh gue jadi pembantu di rumah elu?" teriak Sisca gemas, Sudi amat!

"Asisten pribadi, bukan pembokat! Elu budek?" jawab Arnold balas berteriak.

"Tapi lu tadi bilang beresin rumah, apaan emang kalau bukan pembokat? Elu suruh gue nyapu, ngepel, nyuci dan masak kan?" protes Sisca tidak terima, ia susah-susah kuliah dan skripsi ujungnya cuma jadi pembantu sosok menyebalkan ini?

"Nah betul, bukan cuma itu saja, ntar elu yang arrage semua jadwal gue, dan wajib siapin apapun yang gue butuh, ya you know lah ya kerjaan asisten itu ngapain?" Arnold nampak tersenyum penuh kemenangan, ia sangat menikmati momen ini, akhirnya ia bisa menekan sosok itu dengan kuasanya.

"Gila ya, gue susah payah lulus dari perguruan tinggi negeri tersohor dan begitu lulus cuma jadi pembokat elu?" Sisca tersenyum sinis sambil melotot tajam ke arah Arnold.

"Pembokat tapi gaji sepuluh juta, apa staff kantoran gaji cuma tiga juta lebih dikit? Pikir deh, gue nggak mau maksa juga!" Arnold tidak peduli, ia pura-pura mengetik di MacBook yang ada di hadapan.

Sisca tampak berpikir, sepuluh juta perbulan? Itu jumlah menggiurkan! Ia melirik sejenak sosok itu, tapi ia benar-benar menyebalkan! Tapi duit itu ... Sisca memejamkan matanya lalu menghirup udara dalam-dalam, dihembuskanya perlahan-lahan.

"Oke!" gumannya kemudian.

"Oke apaan?" Arnold mengangkat wajahnya, menatap Sisca yang masih berdiri dengan wajah kesal itu.

"Gue mau jadi asisten pribadi elu!"

Komen (13)
goodnovel comment avatar
Deddy Hariadi
ceritanya mulai menarik
goodnovel comment avatar
Widya Nur Kartika Dewi
baru baca eeh udah nggak bisa buka bab
goodnovel comment avatar
Widya Nur Kartika Dewi
menarik juga ya ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status