"Ra, serius nih, kita mau pindah ke Bandung?" tanya Meta pada Ara yang tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Beruntung tak banyak barang yang kemarin ia unbox di kost-an Meta.
"Lo masih ngeraguin keputusan gue? Atau lo takut nanti kita nggak bisa hidup di Bandung?"
"Gue ragu, Ra, lo kan tau sendiri kalau gue nggak pernah ke Bandung." Meta mengeluarkan apa yang sedari tadi bersarang di benaknya. "Apalagi ini terlalu mendadak, Ra."
Memang sangat mendadak. Baru tadi malam Meta menceritakan bahwa Bobi--pacarnya dimutasi ke Bandung, saat itu juga Ara langsung mengeluarkan pendapatnya untuk ikutan pindah ke Bandung. Tanpa pemikiran yang matang, dan terkesan tergesa-gesa, hari ini Ara langsung menyatakan pindah.
"Lo tenang aja deh, gue jamin kita nggak akan mati di sana." Benar kan pemikiran Ara?
"Gue punya temen yang udah lama kerja di sana, Ta, entar kita bisa minta tolong sama dia, tadi malem gue udah minta alamat kontrakan dia," lanjut Ara.
Meta tampak berpikir. Jari telunjuknya ia letakkan di dahi. Tentu saja ia harus memikirkan kepindahan ini secara matang. Meskipun bersama Ara, tetap saja harus mempertimbangkan baik buruknya, serta untung dan ruginya.
Lahir dari keluarga sederhana membuat Meta cukup perhitungan jika harus mengambil keputusan yang bersangkutan dengan biaya hidup, termasuk keputusan untuk pindah ini. Menurutnya, kepindahan nanti pasti akan menggelontorkan uang yang cukup banyak, sedangkan di sana belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan.
"Tapi, Ra, duit gue cuma sisa tiga ratus ribu doang," jujur Meta, "emang cukup buat pindah?"
Ara menghentikan aktivitasnya, lalu memandang sahabat yang sudah membersamainya selama kurun empat tahun ini. Tentu Ara sangat paham bagaimana kondisi ekonomi Meta.
"Lo tenang aja, gue bawa duit satu juta, terus niatnya nanti ponsel gue mau gue jual. Untuk bulan pertama gue yang nanggung hidup, setelahnya kita bisa patungan, gimana?" tawar Ara. Dalam hati dia berharap agar Meta menerima tawaran itu.
"Emm ... oke deh kalau gitu, lagian lo kan anak sultan, semisal nanti kekurangan duit, lo bisa minta ditransfer sama orang tua lo."
"Yang sultan itu ayah tiri gue, Meta. Gue mah cuma rakyat jelata, kalau mama gue nggak nikah sama ayah tiri, hidup gue sama mama juga sama kayak lo, atau bahkan mungkin jauh di bawah dari lo." Itulah kenyataannya.
=========Aufa=========
"Say, ini kamu beneran mau jadi ikut aku ke Bandung?" Bobi bertanya ketika bertemu dengan Meta, dan Ara. Keningnya berkerut, heran sudah pasti. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Meta menghubungi bahwa dirinya akan ikut ke Bandung bersama Ara.
"Iya, Say, aku sama Ara mau ikutan ke Bandung, nyari kerja di sana. Bosen tinggal di Jakarta terus," dusta Meta.
Tinggal di Jakarta selama kuliah, tentu membuat Meta cukup betah. Entah setibanya di Bandung nanti, apakah dirinya di sana akan betah juga, atau sebaliknya.
"Bob, sebenarnya ini ide gue yang pengen pindah ke Bandung," sela Ara, "nggak papa kan ya, kalau entar lo kita repotin buat bantu nyari kerjaan?"
Meski di Bandung ada teman Ara yang sudah lama bekerja di sana, Ara tetap meminta tolong sama Bobi. Berharap jika ada dua orang yang menolong, maka langkahnya akan semakin mudah untuk membuka lembaran baru di sana.
"Ya gue sih mau-mau aja bantu kalian, tapi nggak janji bisa sewaktu-waktu ada, soalnya gue kan juga harus kerja," tutur Bobi.
"Oke, gue ngerti kok." Ara mengangguk mengerti.
=========Aufa=========
Mereka memutuskan untuk pergi ke Bandung dengan menggunakan kereta api. Kendaraan yang cukup untuk menyingkat waktu agar bisa sampai di sana.
Berbekal uang seadanya, Ara yakin dirinya tak akan terlunta-lunta. Meski enam tahun belakangan hidupnya dilingkupi dengan berbagai kenyamanan dan kemewahan, namun jangan lupakan bahwa dulu ia juga pernah hidup susah, sebelum mamanya menikah lagi.
Sesampainya di stasiun kota Bandung, Ara langsung mencari konter yang melayani jual beli ponsel. Ia berniat akan menjual ponsel mahalnya itu, dan menggantinya dengan android. Mulai saat ini, ia harus hidup sederhana. Tak ada lagi gadget bermerk yang harganya selangit.
"Lo beneran mau jual tuh hp, Ra?" tanya Meta ketika mendampingi Ara mencari konter HP. "Sayang tau, tuh hp bagus, buat gue juga mau."
"Kalau gue nggak jual ini HP, terus kita nyari kontrakannya gimana? Gue kan cuma pegang duit sejuta, mana cukup buat sewa kost nanti."
Meta menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Iya, yah. Sorry, gue nggak kepikiran sampe situ."
========Aufa=========
"Sorry, guys, gue nggak bisa temenin kalian buat cari kontrakan. Soalnya gue harus langsung ke kantor buat laporan kalau gue udah sampai di sini." Bobi merasa tidak enak harus mengatakan ini.
"Nggak papa, Say, aku ngerti kok," ujar Meta sembari mengelus lengan pacarnya itu. Hal itu tak luput dari perhatian Ara, sehingga Ara memutarkan bola mata. Sahabat dan pacarnya ini tak menghargai perasaannya sebagai jomlo.
"Udah, kamu langsung ke kantor aja. Aku sama Ara bisa nyari tempat tinggal sendiri, kok," lanjut Meta.
"Oke. Kalau nanti udah nemu tempat kost, langsung hubungi aku, ya, Say," kata Bobi seraya mengusap pipi Meta. Lagi-lagi Ara dibuat sebal dengan drama sepasang kekasih di depannya ini.
Setelah saling mengungkapkan perasaan, Bobi pun pamit pergi. Tinggallah Ara dan Meta. Berdua di kota orang ini, membuat keduanya bingung mau berbuat apa.
"Ra, coba hubungi temen lo. Katanya bisa bantu kita," usul Meta.
Ara menepuk dahinya. "Oh, iya, gue lupa. Bentar, gue telepon dulu yah."
Ara mengambil ponselnya dari saku celana. Ponselnya kini telah berganti merk, berubah menggunakan android harga satu jutaan. Ponsel mahalnya tadi laku terjual dengan harga limabelas juta. Maklumlah, karena baru sebulan pemakaian.
Tenang, meskipun tadinya memakai ponsel keluaran negeri paman sam, bukan berarti Ara tak bisa mengoperasikan ponsel murah dari china ini. Justru ia sangat mahir menggunakan. Jangan lupakan bahwa dirinya pernah menjadi rakyat jelata.
"Duh, nggak aktif, Ta," ujar Ara setelah mencoba menghubungi temannya yang juga berada di kota ini.
"Jangan bilang temen lo itu penipu, Ra," tuduh Meta dengan hati yang mulai gelisah.
"Lo jangan buruk sangka gitu dong, gue udah temenan lama sama dia. Nggak mungkin kalau dia nipu. Dia orang baik, kok." Tentu Ara sangat mengenal temannya.
"Ya kali aja kan, Ra. Oh, ya, temen lo itu cewek apa cowok?" tanya Meta yang mulai ingin tahu tentang identitas teman Ara, agar hatinya bisa sedikit lebih tenang.
"Cewek. Dia tetangga gue sebelum nyokap gue nikah lagi. Tepatnya tetangga di rumah kontrakan gue dulu," terang Ara.
Meta manggut-manggut. Kini kekhawatirannya sedikit sirna. Jika Ara pernah bertetangga dengan teman yang dimaksud itu, kemungkinan besar Ara memang telah mengenal baik.
"Mungkin orangnya lagi kerja kali ya. Ta," tambah Ara.
"Tapi lo masih punya alamatnya nggak, Ra?"
"Masih. Coba gue lihat dulu."
To be continue"Aduh, Ra, gimana ini? Dari tadi tuh kita udah muter-muter nyari tempat tinggal temen lo, tapi nggak ketemu juga. Capek nih gue, kaki gue rasanya mau copot," gerutu Meta.Ara memutarkan bola matanya. Sahabatnya yang satu itu memang lebay alias over dengan sesuatu yang terjadi dengan mereka. Padahal menurut Ara mereka baru saja tiba di komplek kontrakan yang ditempati temannya, dan baru saja jalan sebentar."Berlebihan lo, Ta, baru aja kita jalan sebentar. Dari tadi tuh kita muter-muternya naik ojol sampai keluar duit banyak gue," timpal Ara."Halah, duit dari penjualan ponsel lo yang mahal itu masih banyak kali, Ra, nggak bakal habis cuma buat bayarin ojol doang," kata Meta dengan tanpa rasa bersalahnya.Ingin rasanya Ara menampol mulut sahabatnya itu, namun ia tahan, karena tentu saja malu melakukannya di jalan seperti ini. Dalam hati Ara bertekad akan memberi pelajaran pada sahabatnya itu setelah mereka mendapatkan tempat tinggal
"Kak Arum, rencananya hari ini aku sama Meta mau nyari kontrakan, Kak, apa kak Arum bisa bantu?" tanya Ara pada Arum yang sepagi ini sudah menyiapkan sarapan, sedangkan Meta masih asyik bergelung dengan selimut."Lho, ngapain nyari kontrakan, Ra? Kamu sama Meta bisa tinggal di sini bareng sama aku," jawab Arum. Ia heran kenapa Ara memintanya membantu untuk mencari kontrakan. Ia pikir Ara akan tetap tinggal bersamanya, begitu pula dengan Meta. Tidak masalah jika kost-nya yang sempit ini akan menjadi sangat sempit karena ditempati bertiga."Makasih, Kak, buat tawarannya, tapi aku sama Meta udah bertekad buat belajar hidup mandiri, Kak, jadi nggak mau ngerepotin siapa pun termasuk kak Arum," ucap Ara. Semalam ia sudah mendiskusikan ini dengan Meta.Arum mengangguk paham. "Oke, aku ngerti, Ra. Nanti aku bantuin kamu buat cari kontrakan. Mau tipe yang seperti apa?"Ara berpikir sambil menerawang. Kontrakan yang ia cari haruslah s
"Nah, Ara, Meta, ini komplek kost teman aku," ucap Arum ketika mereka telah sampai di depan gerbang komplek kost teman Arum.Ara manggut-manggut, sementara Meta mengedarkan pandangan matanya pada sekeliling komplek kost yang baru saja mereka datangi.Tidak buruk. Seenggaknya terlihat rapi dan sedikit asri. Beda dengan komplek kost Arum."Di sini satu tempat kost-nya lumayan luas, jadi mungkin cukup buat dua orang. Nanti aku tanya sama temen kost-ku, masih ada kamar kosong apa enggak," lanjut Arum."Iya, Kak, kita ngikut aja deh," kata Meta.Selanjutnya Arum mengajak Ara dan Meta untuk memasuki komplek kost itu. Menyusuri lorong kamar kost, menuju tempat teman Arum."Ini kamar kost teman aku, sebentar ya, aku panggil dulu orangnya," ujar Arum saat mereka berada di depan salah satu kamar kost.Ara dan Meta sama-sama diam. Berdiri sambil memperhatikan sekeliling komplek kost ini. Ji
"Halo, Nak. Ara pergi dari rumah," ucap Dedy melalui telepon. Sekarang ia sedang menghubungi anak laki-lakinya yang tengah berada di luar kota."Apa?! Pergi dari rumah? Kenapa bisa, Yah?" tanya anak laki-laki Dedy."Ayah tidak tahu alasan secara jelasnya, Nak. Sekarang kamu ada di kota mana?""Aku di Bandung, Yah.""Boleh ayah minta tolong, Nak?""Kalau aku bisa kenapa tidak, Yah?""Nak, menurut informasi orang-orang ayah yang ayah suruh untuk mencari Ara, kemungkinan besar Ara ada di luar kota Jakarta, tapi kami tidak tahu persisnya di mana. Apa kamu bisa tolongin ayah buat mencari Ara di Bandung? Ya, meskipun belum tentu juga Ara ada di Bandung.""Baik, Yah, aku akan coba cari Ara di Bandung.""Terima kasih, ya, Nak.""Ini kan sudah kewajiban aku, Yah, Ara sudah aku anggap sebagai adik kandungku."Dedy bernapas lega. Setidaknya anak kandungnya bersedia
"Gini, di kantor gue lagi butuh orang buat ditempatin di divisi marketing, sama sekretaris CEO. Coba aja kalian bawa surat lamaran ke sana, nanti gue kasih tahu alamat kantornya sama kalian," ujar Bobi pada Meta, dan Ara. Saat ini mereka bertiga tengah bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kontrakan. Ara, dan Meta menunda mencari pekerjaan karena Bobi mengajak bertemu."Oh, gitu ya, Say, boleh tuh, kan jadinya kita bisa kerja bareng sekantor," kata Meta sambil bergelayut manja di lengan Bobi. Bobi pun tersenyum pada Meta, dan tampak menikmati perlakuan Meta. Sementara Ara hanya mencebik melihat tingkah lebay temannya yang sedang kasmaran itu."Eh, Bob, emang nggak bisa, ya, kalau surat lamarannya dititipin ke lo?" tanya Ara.Ara berpikir jika surat lamaran kerja dititipkan pada Bobi, yang notabene-nya karyawan kantor itu, tentu lebih efisien. Dan yang penting juga bisa irit ongkos."Nggak bisa kayaknya, Ra, haru
Sang surya tampak bersinar cerah pagi ini. Secerah hati dua insan yang tengah bersiap-siap untuk pergi, menyambut masa depan. Ara, dan Meta sudah rapi. Seperti rencananya kemarin, hari ini mereka berdua akan berkunjung ke kantor tempat Bobi bekerja, guna mengantar surat lamaran kerja. Syukur-syukur jika nanti bisa langsung interview, lalu diterima kerja. Seindah itulah membayangkan. Namun, kenyataannya, realita tak seindah seperti khayalan kita. Tapi, apa salahnya berharap, dan mencoba bukan? "Dah, siap! Yuk, berangkat," ajak Ara, selepas ia memakai sepatu. "Ya, udah ayo jalan," kata Meta sambil sibuk dengan cermin kecil di tangannya, yang ia hadapkan pada wajahnya. "Awas, nanti lo tersandung kalau jalannya liatin cermin terus. Muka lo nggak bakalan berkurang kali," cibir Ara. Meta tak menjawab cibiran Ara. Ia hanya mendengkus sebal. Hari ini mood-nya cukup baik, jadi enggan merusaknya
"Ta, Lo lagi di mana?" tanya Ara lewat sambungan telepon. Tangan kanan Ara gunakan untuk memegang ponsel yang sedang didekatkannya ke telinga, sedangkan tangan kirinya memegang gagang koper yang ia bawa dari rumah."Ya gue lagi di kost lah, Ra, emangnya kenapa?" jawab teman Ara di seberang sana."Gue lagi di jalan mau ke kost-an lo, takutnya lo nggak ada," terang Ara."Ya elah, mau ke sini aja pake tanya dulu, biasanya juga langsung ke sini.""Ini penting, Ta, menyangkut kehidupan gue selanjutnya," ujar Ara sedikit mendramatisir. Kalau boleh Ara tebak, sahabatnya yang sedang dihubungi itu, pasti memutarkan bola mata, sebal dengan ucapan Ara."Lebay lo, ah. Udah mau jadi ke sini apa enggak? Gue tunggu nih, satu jam lagi gue mau nge-date sama cowok gue.""Iya, iya, gue ke kost lo sekarang. Jangan pergi dulu sebelum gue dateng."Ara memutuskan panggilan. Mematikan ponsel mahalnya, lalu memasukkan
"Apa! Ara pergi dari rumah, Ma?" tanya Dedy--ayah tiri Ara pada Wanda--istrinya yang merupakan ibu kandung Ara.Sepulang bekerja yang Dedy harapkan adalah ketenangan serta kedamaian seperti biasa. Disambut oleh senyuman hangat sang istri, dan tingkah ceria Ara, namun yang Dedy dapat justru aduan kesedihan dari istrinya karena Ara pergi.Meskipun Ara hanya anak tiri, tetapi Dedy telah menganggapnya seperti anak kandungnya. Kehadiran Wanda serta Ara di rumah ini mampu membuat hari-harinya terasa lebih berwarna setelah kematian istri pertamanya dulu.Dedy memang mempunyai anak dari istri pertamanya. Usianya lima tahun lebih tua dari Ara, namun karena anak kandungnya itu laki-laki, dan cenderung dingin, maka bisa dikatakan kurang dekat dengan Dedy. Justru Aralah yang lebih dekat dengannya, meskipun statusnya anak tiri."Iya, Yah," jawab Wanda sembari terisak.Meskipun tadi Wanda telah menghubungi Ara, dan menanyakan tenta