Share

part 3

"Ra, serius nih, kita mau pindah ke Bandung?" tanya Meta pada Ara yang tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Beruntung tak banyak barang yang kemarin ia unbox di kost-an Meta. 

"Lo masih ngeraguin keputusan gue? Atau lo takut nanti kita nggak bisa hidup di Bandung?" 

"Gue ragu, Ra, lo kan tau sendiri kalau gue nggak pernah ke Bandung." Meta mengeluarkan apa yang sedari tadi bersarang di benaknya. "Apalagi ini terlalu mendadak, Ra." 

Memang sangat mendadak. Baru tadi malam Meta menceritakan bahwa Bobi--pacarnya dimutasi ke Bandung, saat itu juga Ara langsung mengeluarkan pendapatnya untuk ikutan pindah ke Bandung. Tanpa pemikiran yang matang, dan terkesan tergesa-gesa, hari ini Ara langsung menyatakan pindah. 

"Lo tenang aja deh, gue jamin kita nggak akan mati di sana." Benar kan pemikiran Ara? 

"Gue punya temen yang udah lama kerja di sana, Ta, entar kita bisa minta tolong sama dia, tadi malem gue udah minta alamat kontrakan dia," lanjut Ara. 

Meta tampak berpikir. Jari telunjuknya ia letakkan di dahi. Tentu saja ia harus memikirkan kepindahan ini secara matang. Meskipun bersama Ara, tetap saja harus mempertimbangkan baik buruknya, serta untung dan ruginya. 

Lahir dari keluarga sederhana membuat Meta cukup perhitungan jika harus mengambil keputusan yang bersangkutan dengan biaya hidup, termasuk keputusan untuk pindah ini. Menurutnya, kepindahan nanti pasti akan menggelontorkan uang yang cukup banyak, sedangkan di sana belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan. 

"Tapi, Ra, duit gue cuma sisa tiga ratus ribu doang," jujur Meta, "emang cukup buat pindah?" 

Ara menghentikan aktivitasnya, lalu memandang sahabat yang sudah membersamainya selama kurun empat tahun ini. Tentu Ara sangat paham bagaimana kondisi ekonomi Meta. 

"Lo tenang aja, gue bawa duit satu juta, terus niatnya nanti ponsel gue mau gue jual. Untuk bulan pertama gue yang nanggung hidup, setelahnya kita bisa patungan, gimana?" tawar Ara. Dalam hati dia berharap agar Meta menerima tawaran itu. 

"Emm ... oke deh kalau gitu, lagian lo kan anak sultan, semisal nanti kekurangan duit, lo bisa minta ditransfer sama orang tua lo." 

"Yang sultan itu ayah tiri gue, Meta. Gue mah cuma rakyat jelata, kalau mama gue nggak nikah sama ayah tiri, hidup gue sama mama juga sama kayak lo, atau bahkan mungkin jauh di bawah dari lo." Itulah kenyataannya. 

=========Aufa=========

"Say, ini kamu beneran mau jadi ikut aku ke Bandung?" Bobi bertanya ketika bertemu dengan Meta, dan Ara. Keningnya berkerut, heran sudah pasti. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Meta menghubungi bahwa dirinya akan ikut ke Bandung bersama Ara. 

"Iya, Say, aku sama Ara mau ikutan ke Bandung, nyari kerja di sana. Bosen tinggal di Jakarta terus," dusta Meta. 

Tinggal di Jakarta selama kuliah, tentu membuat Meta cukup betah. Entah setibanya di Bandung nanti, apakah dirinya di sana akan betah juga, atau sebaliknya. 

"Bob, sebenarnya ini ide gue yang pengen pindah ke Bandung," sela Ara, "nggak papa kan ya, kalau entar lo kita repotin buat bantu nyari kerjaan?" 

Meski di Bandung ada teman Ara yang sudah lama bekerja di sana, Ara tetap meminta tolong sama Bobi. Berharap jika ada dua orang yang menolong, maka langkahnya akan semakin mudah untuk membuka lembaran baru di sana. 

"Ya gue sih mau-mau aja bantu kalian, tapi nggak janji bisa sewaktu-waktu ada, soalnya gue kan juga harus kerja," tutur Bobi. 

"Oke, gue ngerti kok." Ara mengangguk mengerti.

=========Aufa=========

Mereka memutuskan untuk pergi ke Bandung dengan menggunakan kereta api. Kendaraan yang cukup untuk menyingkat waktu agar bisa sampai di sana. 

Berbekal uang seadanya, Ara yakin dirinya tak akan terlunta-lunta. Meski enam tahun belakangan hidupnya dilingkupi dengan berbagai kenyamanan dan kemewahan, namun jangan lupakan bahwa dulu ia juga pernah hidup susah, sebelum mamanya menikah lagi. 

Sesampainya di stasiun kota Bandung, Ara langsung mencari konter yang melayani jual beli ponsel. Ia berniat akan menjual ponsel mahalnya itu, dan menggantinya dengan android. Mulai saat ini, ia harus hidup sederhana. Tak ada lagi gadget bermerk yang harganya selangit. 

"Lo beneran mau jual tuh hp, Ra?" tanya Meta ketika mendampingi Ara mencari konter HP. "Sayang tau, tuh hp bagus, buat gue juga mau." 

"Kalau gue nggak jual ini HP, terus kita nyari kontrakannya gimana? Gue kan cuma pegang duit sejuta, mana cukup buat sewa kost nanti." 

Meta menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Iya, yah. Sorry, gue nggak kepikiran sampe situ." 

========Aufa=========

"Sorry, guys, gue nggak bisa temenin kalian buat cari kontrakan. Soalnya gue harus langsung ke kantor buat laporan kalau gue udah sampai di sini." Bobi merasa tidak enak harus mengatakan ini.

"Nggak papa, Say, aku ngerti kok," ujar Meta sembari mengelus lengan pacarnya itu. Hal itu tak luput dari perhatian Ara, sehingga Ara memutarkan bola mata. Sahabat dan pacarnya ini tak menghargai perasaannya sebagai jomlo. 

"Udah, kamu langsung ke kantor aja. Aku sama Ara bisa nyari tempat tinggal sendiri, kok," lanjut Meta. 

"Oke. Kalau nanti udah nemu tempat kost, langsung hubungi aku, ya, Say," kata Bobi seraya mengusap pipi Meta. Lagi-lagi Ara dibuat sebal dengan drama sepasang kekasih di depannya ini. 

Setelah saling mengungkapkan perasaan, Bobi pun pamit pergi. Tinggallah Ara dan Meta. Berdua di kota orang ini, membuat keduanya bingung mau berbuat apa. 

"Ra, coba hubungi temen lo. Katanya bisa bantu kita," usul Meta. 

Ara menepuk dahinya. "Oh, iya, gue lupa. Bentar, gue telepon dulu yah." 

Ara mengambil ponselnya dari saku celana. Ponselnya kini telah berganti merk, berubah menggunakan android harga satu jutaan. Ponsel mahalnya tadi laku terjual dengan harga limabelas juta. Maklumlah, karena baru sebulan pemakaian. 

Tenang, meskipun tadinya memakai ponsel keluaran negeri paman sam, bukan berarti Ara tak bisa mengoperasikan ponsel murah dari china ini. Justru ia sangat mahir menggunakan. Jangan lupakan bahwa dirinya pernah menjadi rakyat jelata. 

"Duh, nggak aktif, Ta," ujar Ara setelah mencoba menghubungi temannya yang juga berada di kota ini. 

"Jangan bilang temen lo itu penipu, Ra," tuduh Meta dengan hati yang mulai gelisah. 

"Lo jangan buruk sangka gitu dong, gue udah temenan lama sama dia. Nggak mungkin kalau dia nipu. Dia orang baik, kok." Tentu Ara sangat mengenal temannya. 

"Ya kali aja kan, Ra. Oh, ya, temen lo itu cewek apa cowok?" tanya Meta yang mulai ingin tahu tentang identitas teman Ara, agar hatinya bisa sedikit lebih tenang. 

"Cewek. Dia tetangga gue sebelum nyokap gue nikah lagi. Tepatnya tetangga di rumah kontrakan gue dulu," terang Ara. 

Meta manggut-manggut. Kini kekhawatirannya sedikit sirna. Jika Ara pernah bertetangga dengan teman yang dimaksud itu, kemungkinan besar Ara memang telah mengenal baik. 

"Mungkin orangnya lagi kerja kali ya. Ta," tambah Ara. 

"Tapi lo masih punya alamatnya nggak, Ra?" 

"Masih. Coba gue lihat dulu." 

To be continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status