"Aduh, Ra, gimana ini? Dari tadi tuh kita udah muter-muter nyari tempat tinggal temen lo, tapi nggak ketemu juga. Capek nih gue, kaki gue rasanya mau copot," gerutu Meta.
Ara memutarkan bola matanya. Sahabatnya yang satu itu memang lebay alias over dengan sesuatu yang terjadi dengan mereka. Padahal menurut Ara mereka baru saja tiba di komplek kontrakan yang ditempati temannya, dan baru saja jalan sebentar.
"Berlebihan lo, Ta, baru aja kita jalan sebentar. Dari tadi tuh kita muter-muternya naik ojol sampai keluar duit banyak gue," timpal Ara.
"Halah, duit dari penjualan ponsel lo yang mahal itu masih banyak kali, Ra, nggak bakal habis cuma buat bayarin ojol doang," kata Meta dengan tanpa rasa bersalahnya.
Ingin rasanya Ara menampol mulut sahabatnya itu, namun ia tahan, karena tentu saja malu melakukannya di jalan seperti ini. Dalam hati Ara bertekad akan memberi pelajaran pada sahabatnya itu setelah mereka mendapatkan tempat tinggal nanti.
"Diem, lo! Lo pikir duit itu buat ongkos ojol doang apa? Buat kehidupan selanjutnya, dodol!" kata Ara sedikit emosi akibat dari tadi mendengar keluhan sahabatnya. "Berhenti dulu deh, tuh ada mesjid, kita istirahat di sana aja." Ara menunjuk sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
Meta mengangguk lalu mengikuti Ara yang sudah mulai melangkah mendekat ke arah masjid.
***
"Eh, coba gue hubungin lagi temen gue ya, Ta, kali aja nomornya udah aktif." Ara mengeluarkan android barunya dari saku celana, lalu mulai mencari nomor yang akan dihubunginya."Dari tadi kek, Ra," sahut Meta.
"Nah, nyambung!" pekik Ara kegirangan. Harapannya semoga saja ia segera menemukan tempat tinggal temannya itu.
Meta segera mendekatkan dirinya ke arah Ara, berharap bisa mencuri dengar pembicaraan Ara dan temannya di seberang sana.
"Halo, Kak Arum," ucap Ara ketika telepon telah diangkat oleh orang yang sedari tadi ia harapkan.
"Iya, Ra, gimana, kamu udah sampai di Bandung?"
"Udah, Kak, ini aku lagi istirahat di Masjid Al ikhlas yang menuju ke tempat kak Arum," jawab Ara, memberi tahu keberadaannya sekarang.
"Ooh, udah deket berarti itu ke tempat kost aku. Kamu di situ aja dulu ya, Ra, nanti aku jemput."
"Wah, beneran, Kak?" tanya Ara antusias.
Lumayan kan jika dijemput oleh temannya, jadi tak perlu lagi susah-susah bertanya pada orang-orang di mana tempat tinggal Arum.
"Iya, bener. Kamu istirahat di situ aja dulu, aku mau pinjam motor temen buat jemput kamu."
"Tapi aku sama temen, Kak," timpal Ara.
"Kamu sama temen, Ra? Kirain sendirian. Tapi tenang aja, nanti aku ajak temen juga buat ikutan jemput."
"Oke, Kak, gimana baiknya aja, aku ngikut deh."
Panggilan terputus. Ara menghela napas lega. Akhirnya mendapat kepastian dari Arum yang ia harapkan bisa membantunya untuk hidup di Bandung.
"Gimana, Ra?" tanya Meta memastikan, meskipun tadi Meta sedikit bisa menyimpulkan bahwa mereka akan dijemput.
"Kak Arum mau jemput sama temennya pake motor," jawab Ara.
"Bagus deh, berarti kita nggak perlu jalan kaki lagi," kata Meta. Senang sudah pasti.
=========
"Ara," panggil seorang perempuan yang baru saja menghentikan sepeda motor matic berwarna hitam. Di belakangnya juga ada seorang perempuan yang juga memakai kendaraan serupa, namun beda merk.
Ara tersentak. Mendengar namanya dipanggil, membuat dirinya langsung mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Kak Arum."
Berdiri, lalu menghampiri si pemanggil tadi yang ternyata adalah Arum, temannya yang sedari tadi ditunggu.
"Mana teman kamu, Ra?" tanya Arum sembari mengedarkan pandangan ke sekitar masjid, barangkali ada teman Ara, namun tak ada sesiapa yang ia temukan.
"Lagi ke kamar mandi, Kak." Ara memberi tahu di mana Meta yang sedari tadi pamit ke kamar mandi, tetapi tak kunjung kembali. Entah apa yang sedang dilakukan sahabatnya itu.
Arum manggut-manggut. "Oh, ya, sorry ya, lama, soalnya nyari pinjeman motor dulu. Kenalin, ini Beti, tetangga kost aku," tunjuk Arum pada perempuan di belakangnya yang juga memakai motor.
"Eh? Oh, nggak papa, Kak, harusnya aku yang minta maaf karena udah ngerepotin kak Arum, sampai kak Arum harus cari pinjaman motor buat jemput aku." Ara tersenyum canggung. Ia merasa tak enak telah merepotkan Arum. "Hai, Kak Beti, kenalin, aku Ara." Mengulurkan tangannya pada perempuan yang bernama Beti itu. Tak lupa senyum ceria ia persembahkan.
Beti pun menyambut uluran tangan Ara, sembari tersenyum. "Helo, Ara, senang bertemu dengan kamu."
"Ara," panggil Meta tiba-tiba.
Ara pun menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati Meta yang tengah berdiri menatapnya. Tak membuang waktu, Ara langsung memberi kode pada Meta agar segera menghampirinya.
"Ta, ini kak Arum yang gue ceritain, dan ini kak Beti, temannya kak Arum." Ara memperkenalkan kedua perempuan yang masih berada di atas motornya pada Meta.
"Oh, hai Kak Arum, Kak Beti, kenalin, gue Meta, sahabatnya Ara." Meta menyalami kedua perempuan yang baru saja diperkenalkan Ara.
Setelah berkenalan, Arum mengajak Ara dan Meta untuk segera menuju ke tempat kost-nya. Jarak dari masjid ke kost Arum sekitar lima ratus meter, tak salah jika Arum berinisiatif untuk meminjam motor terlebih dahulu, serta membawa temannya untuk ikutan menjemput.
=========
"Nah, ini kost aku, Ra, Ta. Maaf, ya, sempit," ujar Arum ketika mereka memasuki kost Arum.
"Nggak papa, Kak, yang penting bisa buat berteduh," kata Ara.
Meta diam saja sembari mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan di kost Arum ini.
'Ini sih, nggak jauh beda sama tempat kost gue, cuma di sini lebih adem' batin Meta.
Ya, memang tempat kost Arum memang sempit, tak jauh beda dengan kamar kost Meta di Jakarta, namun karena di Bandung yang memang sejuk, jadi tidak terasa pengap seperti kamar kost Meta di Jakarta.
"Ya, udah, kalian istirahat dulu aja ya, aku mau keluar sebentar cari yang seger-seger," ucap Arum sembari berlalu.
Sepeninggal Arum, Ara dan Meta langsung merebahkan tubuh lelah mereka ke kasur lantai milik Arum.
"Ra, ini kost nggak jauh beda sama kamar kost gue kemarin di Jakarta," ujar Meta mengeluarkan unek-uneknya.
"Tapi di sini nggak panas, dan nggak pengap, Ta," timpal Ara, "udara di sini juga sejuk, nggak kayak di Jakarta."
"Hem. Eh, tapi apa iya kita mau numpang di sini, Ra?" tanya Meta. Menurutnya hal ini harus dibicarakan dengan Ara, takutnya nanti Ara keenakan numpang.
"Ya, nggaklah, cuma sebentar aja kita di sini sampai entar malem, besok kita minta tolong sama kak Arum buat bantuin nyari kost buat kita," jawab Ara. Ia sudah merencanakan apa yang akan dilakukannya besok.
"Oke deh, gue ngikut lo aja, kan lo yang punya duit," kata Meta dengan entengnya.
"Ck! Setelah lo dapet gaji pertama, lo harus bayar utang ke gue!"
"Ya elah, Ra, dapet kerja juga belum, udah malak gaji pertama." Meta mendengkus.
"Hehe, ya maksudnya nanti kalau udah dapet kerja, terus gajian," kata Ara yang semakin membuat Meta kesal.
"Bawel lo, ah, anak konglomerat masih aja malak gue yang cuma rakyat jelata," cibir Meta.
"Yang konglomerat itu bokap tiri gue, Meta, bukan gue! Gue juga rakyat jelata, sama kek lo."
Pada kenyataannya memang seperti itu, Ara harus sadar dengan posisinya.
Namun, apakah Ara akan sanggup hidup susah, mengingat sebelumnya ia hidup berkecukupan?
To Be Continue"Kak Arum, rencananya hari ini aku sama Meta mau nyari kontrakan, Kak, apa kak Arum bisa bantu?" tanya Ara pada Arum yang sepagi ini sudah menyiapkan sarapan, sedangkan Meta masih asyik bergelung dengan selimut."Lho, ngapain nyari kontrakan, Ra? Kamu sama Meta bisa tinggal di sini bareng sama aku," jawab Arum. Ia heran kenapa Ara memintanya membantu untuk mencari kontrakan. Ia pikir Ara akan tetap tinggal bersamanya, begitu pula dengan Meta. Tidak masalah jika kost-nya yang sempit ini akan menjadi sangat sempit karena ditempati bertiga."Makasih, Kak, buat tawarannya, tapi aku sama Meta udah bertekad buat belajar hidup mandiri, Kak, jadi nggak mau ngerepotin siapa pun termasuk kak Arum," ucap Ara. Semalam ia sudah mendiskusikan ini dengan Meta.Arum mengangguk paham. "Oke, aku ngerti, Ra. Nanti aku bantuin kamu buat cari kontrakan. Mau tipe yang seperti apa?"Ara berpikir sambil menerawang. Kontrakan yang ia cari haruslah s
"Nah, Ara, Meta, ini komplek kost teman aku," ucap Arum ketika mereka telah sampai di depan gerbang komplek kost teman Arum.Ara manggut-manggut, sementara Meta mengedarkan pandangan matanya pada sekeliling komplek kost yang baru saja mereka datangi.Tidak buruk. Seenggaknya terlihat rapi dan sedikit asri. Beda dengan komplek kost Arum."Di sini satu tempat kost-nya lumayan luas, jadi mungkin cukup buat dua orang. Nanti aku tanya sama temen kost-ku, masih ada kamar kosong apa enggak," lanjut Arum."Iya, Kak, kita ngikut aja deh," kata Meta.Selanjutnya Arum mengajak Ara dan Meta untuk memasuki komplek kost itu. Menyusuri lorong kamar kost, menuju tempat teman Arum."Ini kamar kost teman aku, sebentar ya, aku panggil dulu orangnya," ujar Arum saat mereka berada di depan salah satu kamar kost.Ara dan Meta sama-sama diam. Berdiri sambil memperhatikan sekeliling komplek kost ini. Ji
"Halo, Nak. Ara pergi dari rumah," ucap Dedy melalui telepon. Sekarang ia sedang menghubungi anak laki-lakinya yang tengah berada di luar kota."Apa?! Pergi dari rumah? Kenapa bisa, Yah?" tanya anak laki-laki Dedy."Ayah tidak tahu alasan secara jelasnya, Nak. Sekarang kamu ada di kota mana?""Aku di Bandung, Yah.""Boleh ayah minta tolong, Nak?""Kalau aku bisa kenapa tidak, Yah?""Nak, menurut informasi orang-orang ayah yang ayah suruh untuk mencari Ara, kemungkinan besar Ara ada di luar kota Jakarta, tapi kami tidak tahu persisnya di mana. Apa kamu bisa tolongin ayah buat mencari Ara di Bandung? Ya, meskipun belum tentu juga Ara ada di Bandung.""Baik, Yah, aku akan coba cari Ara di Bandung.""Terima kasih, ya, Nak.""Ini kan sudah kewajiban aku, Yah, Ara sudah aku anggap sebagai adik kandungku."Dedy bernapas lega. Setidaknya anak kandungnya bersedia
"Gini, di kantor gue lagi butuh orang buat ditempatin di divisi marketing, sama sekretaris CEO. Coba aja kalian bawa surat lamaran ke sana, nanti gue kasih tahu alamat kantornya sama kalian," ujar Bobi pada Meta, dan Ara. Saat ini mereka bertiga tengah bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kontrakan. Ara, dan Meta menunda mencari pekerjaan karena Bobi mengajak bertemu."Oh, gitu ya, Say, boleh tuh, kan jadinya kita bisa kerja bareng sekantor," kata Meta sambil bergelayut manja di lengan Bobi. Bobi pun tersenyum pada Meta, dan tampak menikmati perlakuan Meta. Sementara Ara hanya mencebik melihat tingkah lebay temannya yang sedang kasmaran itu."Eh, Bob, emang nggak bisa, ya, kalau surat lamarannya dititipin ke lo?" tanya Ara.Ara berpikir jika surat lamaran kerja dititipkan pada Bobi, yang notabene-nya karyawan kantor itu, tentu lebih efisien. Dan yang penting juga bisa irit ongkos."Nggak bisa kayaknya, Ra, haru
Sang surya tampak bersinar cerah pagi ini. Secerah hati dua insan yang tengah bersiap-siap untuk pergi, menyambut masa depan. Ara, dan Meta sudah rapi. Seperti rencananya kemarin, hari ini mereka berdua akan berkunjung ke kantor tempat Bobi bekerja, guna mengantar surat lamaran kerja. Syukur-syukur jika nanti bisa langsung interview, lalu diterima kerja. Seindah itulah membayangkan. Namun, kenyataannya, realita tak seindah seperti khayalan kita. Tapi, apa salahnya berharap, dan mencoba bukan? "Dah, siap! Yuk, berangkat," ajak Ara, selepas ia memakai sepatu. "Ya, udah ayo jalan," kata Meta sambil sibuk dengan cermin kecil di tangannya, yang ia hadapkan pada wajahnya. "Awas, nanti lo tersandung kalau jalannya liatin cermin terus. Muka lo nggak bakalan berkurang kali," cibir Ara. Meta tak menjawab cibiran Ara. Ia hanya mendengkus sebal. Hari ini mood-nya cukup baik, jadi enggan merusaknya
"Ta, Lo lagi di mana?" tanya Ara lewat sambungan telepon. Tangan kanan Ara gunakan untuk memegang ponsel yang sedang didekatkannya ke telinga, sedangkan tangan kirinya memegang gagang koper yang ia bawa dari rumah."Ya gue lagi di kost lah, Ra, emangnya kenapa?" jawab teman Ara di seberang sana."Gue lagi di jalan mau ke kost-an lo, takutnya lo nggak ada," terang Ara."Ya elah, mau ke sini aja pake tanya dulu, biasanya juga langsung ke sini.""Ini penting, Ta, menyangkut kehidupan gue selanjutnya," ujar Ara sedikit mendramatisir. Kalau boleh Ara tebak, sahabatnya yang sedang dihubungi itu, pasti memutarkan bola mata, sebal dengan ucapan Ara."Lebay lo, ah. Udah mau jadi ke sini apa enggak? Gue tunggu nih, satu jam lagi gue mau nge-date sama cowok gue.""Iya, iya, gue ke kost lo sekarang. Jangan pergi dulu sebelum gue dateng."Ara memutuskan panggilan. Mematikan ponsel mahalnya, lalu memasukkan
"Apa! Ara pergi dari rumah, Ma?" tanya Dedy--ayah tiri Ara pada Wanda--istrinya yang merupakan ibu kandung Ara.Sepulang bekerja yang Dedy harapkan adalah ketenangan serta kedamaian seperti biasa. Disambut oleh senyuman hangat sang istri, dan tingkah ceria Ara, namun yang Dedy dapat justru aduan kesedihan dari istrinya karena Ara pergi.Meskipun Ara hanya anak tiri, tetapi Dedy telah menganggapnya seperti anak kandungnya. Kehadiran Wanda serta Ara di rumah ini mampu membuat hari-harinya terasa lebih berwarna setelah kematian istri pertamanya dulu.Dedy memang mempunyai anak dari istri pertamanya. Usianya lima tahun lebih tua dari Ara, namun karena anak kandungnya itu laki-laki, dan cenderung dingin, maka bisa dikatakan kurang dekat dengan Dedy. Justru Aralah yang lebih dekat dengannya, meskipun statusnya anak tiri."Iya, Yah," jawab Wanda sembari terisak.Meskipun tadi Wanda telah menghubungi Ara, dan menanyakan tenta
"Ra, serius nih, kita mau pindah ke Bandung?" tanya Meta pada Ara yang tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Beruntung tak banyak barang yang kemarin ia unbox di kost-an Meta."Lo masih ngeraguin keputusan gue? Atau lo takut nanti kita nggak bisa hidup di Bandung?""Gue ragu, Ra, lo kan tau sendiri kalau gue nggak pernah ke Bandung." Meta mengeluarkan apa yang sedari tadi bersarang di benaknya. "Apalagi ini terlalu mendadak, Ra."Memang sangat mendadak. Baru tadi malam Meta menceritakan bahwa Bobi--pacarnya dimutasi ke Bandung, saat itu juga Ara langsung mengeluarkan pendapatnya untuk ikutan pindah ke Bandung. Tanpa pemikiran yang matang, dan terkesan tergesa-gesa, hari ini Ara langsung menyatakan pindah."Lo tenang aja deh, gue jamin kita nggak akan mati di sana." Benar kan pemikiran Ara?"Gue punya temen yang udah lama kerja di sana, Ta, entar kita bisa minta tolong sama dia, tad