Share

Part 4

"Aduh, Ra, gimana ini? Dari tadi tuh kita udah muter-muter nyari tempat tinggal temen lo, tapi nggak ketemu juga. Capek nih gue, kaki gue rasanya mau copot," gerutu Meta. 

Ara memutarkan bola matanya. Sahabatnya yang satu itu memang lebay alias over dengan sesuatu yang terjadi dengan mereka. Padahal menurut Ara mereka baru saja tiba di komplek kontrakan yang ditempati temannya, dan baru saja jalan sebentar. 

"Berlebihan lo, Ta, baru aja kita jalan sebentar. Dari tadi tuh kita muter-muternya naik ojol sampai keluar duit banyak gue," timpal Ara. 

"Halah, duit dari penjualan ponsel lo yang mahal itu masih banyak kali, Ra, nggak bakal habis cuma buat bayarin ojol doang," kata Meta dengan tanpa rasa bersalahnya. 

Ingin rasanya Ara menampol mulut sahabatnya itu, namun ia tahan, karena tentu saja malu melakukannya di jalan seperti ini. Dalam hati Ara bertekad akan memberi pelajaran pada sahabatnya itu setelah mereka mendapatkan tempat tinggal nanti. 

"Diem, lo! Lo pikir duit itu buat ongkos ojol doang apa? Buat kehidupan selanjutnya, dodol!" kata Ara sedikit emosi akibat dari tadi mendengar keluhan sahabatnya. "Berhenti dulu deh, tuh ada mesjid, kita istirahat di sana aja." Ara menunjuk sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. 

Meta mengangguk lalu mengikuti Ara yang sudah mulai melangkah mendekat ke arah masjid. 

***

"Eh, coba gue hubungin lagi temen gue ya, Ta, kali aja nomornya udah aktif." Ara mengeluarkan android barunya dari saku celana, lalu mulai mencari nomor yang akan dihubunginya. 

"Dari tadi kek, Ra," sahut Meta. 

"Nah, nyambung!" pekik Ara kegirangan. Harapannya semoga saja ia segera menemukan tempat tinggal temannya itu. 

Meta segera mendekatkan dirinya ke arah Ara, berharap bisa mencuri dengar pembicaraan Ara dan temannya di seberang sana. 

"Halo, Kak Arum," ucap Ara ketika telepon telah diangkat oleh orang yang sedari tadi ia harapkan. 

"Iya, Ra, gimana, kamu udah sampai di Bandung?" 

"Udah, Kak, ini aku lagi istirahat di Masjid Al ikhlas yang menuju ke tempat kak Arum," jawab Ara, memberi tahu keberadaannya sekarang. 

"Ooh, udah deket berarti itu ke tempat kost aku. Kamu di situ aja dulu ya, Ra, nanti aku jemput." 

"Wah, beneran, Kak?" tanya Ara antusias. 

Lumayan kan jika dijemput oleh temannya, jadi tak perlu lagi susah-susah bertanya pada orang-orang di mana tempat tinggal Arum. 

"Iya, bener. Kamu istirahat di situ aja dulu, aku mau pinjam motor temen buat jemput kamu." 

"Tapi aku sama temen, Kak," timpal Ara. 

"Kamu sama temen, Ra? Kirain sendirian. Tapi tenang aja, nanti aku ajak temen juga buat ikutan jemput."

"Oke, Kak, gimana baiknya aja, aku ngikut deh." 

Panggilan terputus. Ara menghela napas lega. Akhirnya mendapat kepastian dari Arum yang ia harapkan bisa membantunya untuk hidup di Bandung. 

"Gimana, Ra?" tanya Meta memastikan, meskipun tadi Meta sedikit bisa menyimpulkan bahwa mereka akan dijemput. 

"Kak Arum mau jemput sama temennya pake motor," jawab Ara. 

"Bagus deh, berarti kita nggak perlu jalan kaki lagi," kata Meta. Senang sudah pasti. 

=========

"Ara," panggil seorang perempuan yang baru saja menghentikan  sepeda motor matic berwarna hitam. Di belakangnya juga ada seorang perempuan yang juga memakai kendaraan serupa, namun beda merk. 

Ara tersentak. Mendengar namanya dipanggil, membuat dirinya langsung mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Kak Arum." 

Berdiri, lalu menghampiri si pemanggil tadi yang ternyata adalah Arum, temannya yang sedari tadi ditunggu. 

"Mana teman kamu, Ra?" tanya Arum sembari mengedarkan pandangan ke sekitar masjid, barangkali ada teman Ara, namun tak ada sesiapa yang ia temukan. 

"Lagi ke kamar mandi, Kak." Ara memberi tahu di mana Meta yang sedari tadi pamit ke kamar mandi, tetapi tak kunjung kembali. Entah apa yang sedang dilakukan sahabatnya itu. 

Arum manggut-manggut. "Oh, ya, sorry ya, lama, soalnya nyari pinjeman motor dulu. Kenalin, ini Beti, tetangga kost aku," tunjuk Arum pada perempuan di belakangnya yang juga memakai motor. 

"Eh? Oh, nggak papa, Kak, harusnya aku yang minta maaf karena udah ngerepotin kak Arum, sampai kak Arum harus cari pinjaman motor buat jemput aku." Ara tersenyum canggung. Ia merasa tak enak telah merepotkan Arum. "Hai, Kak Beti, kenalin, aku Ara." Mengulurkan tangannya pada perempuan yang bernama Beti itu. Tak lupa senyum ceria ia persembahkan.

Beti pun menyambut uluran tangan Ara, sembari tersenyum. "Helo, Ara, senang bertemu dengan kamu." 

"Ara," panggil Meta tiba-tiba. 

Ara pun menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati Meta yang tengah berdiri menatapnya. Tak membuang waktu, Ara langsung memberi kode pada Meta agar segera menghampirinya. 

"Ta, ini kak Arum yang gue ceritain, dan ini kak Beti, temannya kak Arum." Ara memperkenalkan kedua perempuan yang masih berada di atas motornya pada Meta. 

"Oh, hai Kak Arum, Kak Beti, kenalin, gue Meta, sahabatnya Ara." Meta menyalami kedua perempuan yang baru saja diperkenalkan Ara. 

Setelah berkenalan, Arum mengajak Ara dan Meta untuk segera menuju ke tempat kost-nya. Jarak dari masjid ke kost Arum sekitar lima ratus meter, tak salah jika Arum berinisiatif untuk meminjam motor terlebih dahulu, serta membawa  temannya untuk ikutan menjemput.

=========

"Nah, ini kost aku, Ra, Ta. Maaf, ya, sempit," ujar Arum ketika mereka memasuki kost Arum. 

"Nggak papa, Kak, yang penting bisa buat berteduh," kata Ara. 

Meta diam saja sembari mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan di kost Arum ini. 

'Ini sih, nggak jauh beda sama tempat kost gue, cuma di sini lebih adem' batin Meta. 

Ya, memang tempat kost Arum memang sempit, tak jauh beda dengan kamar kost Meta di Jakarta, namun karena di Bandung yang memang sejuk, jadi tidak terasa pengap seperti kamar kost Meta di Jakarta. 

"Ya, udah, kalian istirahat dulu aja ya, aku mau keluar sebentar cari yang seger-seger," ucap Arum sembari berlalu. 

Sepeninggal Arum, Ara dan Meta langsung merebahkan tubuh lelah mereka ke kasur lantai milik Arum. 

"Ra, ini kost nggak jauh beda sama kamar kost gue kemarin di Jakarta," ujar Meta mengeluarkan unek-uneknya. 

"Tapi di sini nggak panas, dan nggak pengap, Ta," timpal Ara, "udara di sini juga sejuk, nggak kayak di Jakarta." 

"Hem. Eh, tapi apa iya kita mau numpang di sini, Ra?" tanya Meta. Menurutnya hal ini harus dibicarakan dengan Ara, takutnya nanti Ara keenakan numpang. 

"Ya, nggaklah, cuma sebentar aja kita di sini sampai entar malem, besok kita minta tolong sama kak Arum buat bantuin nyari kost buat kita," jawab Ara. Ia sudah merencanakan apa yang akan dilakukannya besok. 

"Oke deh, gue ngikut lo aja, kan lo yang punya duit," kata Meta dengan entengnya. 

"Ck! Setelah lo dapet gaji pertama, lo harus bayar utang ke gue!" 

"Ya elah, Ra, dapet kerja juga belum, udah malak gaji pertama." Meta mendengkus. 

"Hehe, ya maksudnya nanti kalau udah dapet kerja, terus gajian," kata Ara yang semakin membuat Meta kesal. 

"Bawel lo, ah, anak konglomerat masih aja malak gue yang cuma rakyat jelata," cibir Meta. 

"Yang konglomerat itu bokap tiri gue, Meta, bukan gue! Gue juga rakyat jelata, sama kek lo." 

Pada kenyataannya memang seperti itu, Ara harus sadar dengan posisinya. 

Namun, apakah Ara akan sanggup hidup susah, mengingat sebelumnya ia hidup berkecukupan? 

To Be Continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status