Share

Part 5

"Kak Arum, rencananya hari ini aku sama Meta mau nyari kontrakan, Kak, apa kak Arum bisa bantu?" tanya Ara pada Arum yang sepagi ini sudah menyiapkan sarapan, sedangkan Meta masih asyik bergelung dengan selimut. 

"Lho, ngapain nyari kontrakan, Ra? Kamu sama Meta bisa tinggal di sini bareng sama aku," jawab Arum. Ia heran kenapa Ara memintanya membantu untuk mencari kontrakan. Ia pikir Ara akan tetap tinggal bersamanya, begitu pula dengan Meta. Tidak masalah jika kost-nya yang sempit ini akan menjadi sangat sempit karena ditempati bertiga. 

"Makasih, Kak, buat tawarannya, tapi aku sama Meta udah bertekad buat belajar hidup mandiri, Kak, jadi nggak mau ngerepotin siapa pun termasuk kak Arum," ucap Ara. Semalam ia sudah mendiskusikan ini dengan Meta. 

Arum mengangguk paham. "Oke, aku ngerti, Ra. Nanti aku bantuin kamu buat cari kontrakan. Mau tipe yang seperti apa?" 

Ara berpikir sambil menerawang. Kontrakan yang ia cari haruslah sesuai dengan budget yang ia punya, mengingat dirinya sekarang harus belajar hemat. 

"Yang biasa aja, Kak, yang sederhana gitulah. Oh, ya, di sini masih ada kamar kost kosong kan, Kak? Biar nggak usah jauh-jauh nyarinya," kata Ara. 

"Wah, kalau di sini udah nggak ada yang kosong, Ra, udah penuh semua. Kalau kamu mau, nanti aku carikan kost-kostan komplek teman kerja aku. Nggak jauh kok dari sini," usul Arum. 

Beberapa hari sebelumnya, komplek kost ini memang banyak diburu orang-orang yang ingin menyewa, namun sayang, sudah penuh semua. Maklum saja, kostan ini harga sewanya cukup terjangkau. 

"Boleh tuh, Kak, aku mau deh. Jam berapa mau ke sana, Kak?" tanya Ara antusias. 

"Ini kan baru jam tujuh, Meta juga belum bangun, gimana kalau jam sembilan aja?"

"Oke, Kak. Eh, tapi, Kak Arum nggak kerja? Kalau kak Arum kerja, mending nggak usah bantu aku, Kak, jangan bolos kerja. Aku sama Meta bisa nyari kontrakan sendiri." Jujur, Ara baru ingat tentang hal itu. 

"Aku shift sore, Ra, jadi kalau pagi gini ya nyante," terang Arum. 

Bekerja di pabrik, memang mengharuskan Arum untuk mengikuti jam kerja yang dijadwalkan, termasuk pembagian shift. 

=====================

"Jadi gimana, kalian sudah dapat informasi tentang keberadaan anak perempuan saya?" tanya Dedy pada tiga orang suruhannya, yang masing-masing mengenakan pakaian serba hitam. 

"Belum, Pak," jawab salah satu dari ketiga orang tersebut sambil menunduk. 

"Kalian ini bagaimana sih, mencari anak perempuan saja tidak becus!" bentak Dedy. 

Tiga orang itu adalah orang-orang kepercayaan Dedy yang sudah sepuluh tahun bekerja dengannya. Setiap Dedy menginginkan suatu informasi, pasti Dedy akan menyuruh ketiga orang itu untuk mengorek informasi yang dibutuhkannya. Biasanya hasil kerja mereka tak pernah mengecewakan. 

Lain halnya dengan sekarang. Semenjak Dedy mengetahui tentang Ara yang pergi dari rumah, ia langsung mengerahkan ketiga orang itu untuk mencari keberadaan Ara. Namun sayang, kali ini hasil kerja mereka tak membuahkan hasil. 

Dedy memijat pelipisnya perlahan. Pusing kian mendera karena Ara belum juga ditemukan. Apa yang akan ia sampaikan pada istrinya nanti? Padahal ia sudah berjanji akan menyuruh orang-orangnya untuk membawa Ara pulang ke rumah. 

"Maaf, Pak, kami sudah berusaha mencari keberadaan non Ara di seluruh Jakarta, namun belum bisa kami temukan. Menurut analisa kami, kemungkinan besar nona Ara pergi ke luar kota." 

"Baik, saya minta kalian terus mencari di mana keberadaan Ara. Kalau perlu, cari sampai ke seluruh pelosok nusantara. Jangan kembali ke hadapan saya sebelum kalian menemukan Ara!" ucap Dedy tegas. 

======================

"Yah, apa orang-orang Ayah sudah menemukan di mana keberadaan Ara?" tanya Wanda setelah menyambut kepulangan sang suami. 

Tak menjawab, Dedy justru mengabaikan pertanyaan dari istrinya itu. Ia menghempaskan badannya di sofa ruang keluarga, lalu menghirup udara dalam-dalam. 

Sebenarnya sudah Dedy tebak sedari ia masih di kantor tadi, bahwa istrinya pasti akan menanyakan tentang hal ini. Sungguh Dedy merasa sangat tak tega jika harus mengatakan yang sebenarnya. Ia takut jikalau istrinya tambah bersedih hati, apalagi sudah tiga hari ini ia lihat istrinya tidak nafsu makan, dan tidurnya pun tak nyenyak. 

"Yah, gimana?" ulang Wanda. Ia ikut mendudukkan diri di samping suaminya. Sebenarnya Wanda merasa bersalah harus melontarkan pertanyaan yang berat ketika sang suami baru pulang bekerja. Namun, kekhawatirannya pada Ara, sangat tak bisa ia bendung. 

"Maaf, Ma, orang-orang ayah belum berhasil menemukan Ara," jawab Dedy dengan nada sendunya. 

Tak dapat dipungkiri, Dedy pun sangat khawatir, dan merasa kehilangan Ara, meskipun Ara bukanlah anak kandungnya. Kedekatannya dengan Ara selama ini, telah menjadikan Dedy menganggap Ara seperti darah dagingnya sendiri. 

Wanda menghela napas kasar. Antara sedih, dan juga kesal. Sedih karena Ara belum juga ditemukan. Kesal karena anak buah suaminya dirasa sangat lamban dalam bekerja. 

"Ma, jangan sedih. Ayah akan terus menyuruh orang-orang ayah untuk mencari Ara.  Ayah juga menambah orang untuk ikut mencari. Mama tenang aja, Ara pasti akan baik-baik saja, dia anak yang kuat," hibur Dedy pada istrinya, sekaligus juga pada ... dirinya sendiri. 

"Iya, Yah." Wanda mengangguk sambil terisak. Baru kali ini ia jauh dari anak perempuannya, wajar saja jika sesedih ini, apalagi anak satu-satunya. 

=====================

"Bangun lo! Kebo banget sih, udah siang begini masih molor," kata Ara yang sedang membangunkan Meta yang masih saja asyik berselancar di alam mimpi, padahal jam sudah menunjukkan angka delapan. 

"Berisik lo, Ra! Nggak bisa liat orang lagi nyenyak-nyenyaknya apa," ucap Meta dengan mata yang masih tertutup. Kelakuan Ara yang brutal sewaktu membangunkannya tadi, jelas mengganggu tidur lelapnya, hingga mau tak mau kesadarannya kembali, walau mata masih enggan membuka. 

"Gue bisa liat dodol! Saking eneknya gue liat lo tidur mulu, makanya gue berisik," gerutu Ara, "bangun cepet gih, terus mandi. Sejam lagi kak Arum mau nemenin kita buat nyari kontrakan." 

Mendengar gerutuan Ara, Meta lantas bangun dari posisi berbaringnya, dan perlahan membuka kedua matanya. Ia baru ingat kalau hari ini akan mencari kontrakan sesuai rencananya dengan Ara semalam.

"Oh, ya, gue lupa, Ra, hehe." Meta nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. 

Ara mendengkus sebal. Senjata andalan Meta adalah, lupa. 

"Ya udah gih, buruan sana mandi!" Ara berlalu meninggalkan Meta sambil berkacak pinggang. Sedangkan Meta hanya melongo melihat tingkah laku Ara yang menurutnya aneh pagi ini. Seperti emak-emak yang tengah kesal membangunkan anak gadisnya. Sejak kapan Ara bisa bersikap dewasa seperti itu?

=====================

"Udah siap?" tanya Arum pada Ara dan Meta. 

"Siap, Kak!" jawab Ara dan Meta secara serentak. 

Setelah sarapan tadi, mereka segera bersiap untuk mencari kontrakan. 

"Ya udah, ayo kita jalan," ajak Arum yang kemudian diikuti oleh Ara dan Meta. 

Lalu, ke manakah Arum akan membawa Ara dan Meta mencari tempat kost yang akan ditempati? 

To be contonue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status