"Kak Arum, rencananya hari ini aku sama Meta mau nyari kontrakan, Kak, apa kak Arum bisa bantu?" tanya Ara pada Arum yang sepagi ini sudah menyiapkan sarapan, sedangkan Meta masih asyik bergelung dengan selimut.
"Lho, ngapain nyari kontrakan, Ra? Kamu sama Meta bisa tinggal di sini bareng sama aku," jawab Arum. Ia heran kenapa Ara memintanya membantu untuk mencari kontrakan. Ia pikir Ara akan tetap tinggal bersamanya, begitu pula dengan Meta. Tidak masalah jika kost-nya yang sempit ini akan menjadi sangat sempit karena ditempati bertiga.
"Makasih, Kak, buat tawarannya, tapi aku sama Meta udah bertekad buat belajar hidup mandiri, Kak, jadi nggak mau ngerepotin siapa pun termasuk kak Arum," ucap Ara. Semalam ia sudah mendiskusikan ini dengan Meta.
Arum mengangguk paham. "Oke, aku ngerti, Ra. Nanti aku bantuin kamu buat cari kontrakan. Mau tipe yang seperti apa?"
Ara berpikir sambil menerawang. Kontrakan yang ia cari haruslah sesuai dengan budget yang ia punya, mengingat dirinya sekarang harus belajar hemat.
"Yang biasa aja, Kak, yang sederhana gitulah. Oh, ya, di sini masih ada kamar kost kosong kan, Kak? Biar nggak usah jauh-jauh nyarinya," kata Ara.
"Wah, kalau di sini udah nggak ada yang kosong, Ra, udah penuh semua. Kalau kamu mau, nanti aku carikan kost-kostan komplek teman kerja aku. Nggak jauh kok dari sini," usul Arum.
Beberapa hari sebelumnya, komplek kost ini memang banyak diburu orang-orang yang ingin menyewa, namun sayang, sudah penuh semua. Maklum saja, kostan ini harga sewanya cukup terjangkau.
"Boleh tuh, Kak, aku mau deh. Jam berapa mau ke sana, Kak?" tanya Ara antusias.
"Ini kan baru jam tujuh, Meta juga belum bangun, gimana kalau jam sembilan aja?"
"Oke, Kak. Eh, tapi, Kak Arum nggak kerja? Kalau kak Arum kerja, mending nggak usah bantu aku, Kak, jangan bolos kerja. Aku sama Meta bisa nyari kontrakan sendiri." Jujur, Ara baru ingat tentang hal itu.
"Aku shift sore, Ra, jadi kalau pagi gini ya nyante," terang Arum.
Bekerja di pabrik, memang mengharuskan Arum untuk mengikuti jam kerja yang dijadwalkan, termasuk pembagian shift.
=====================
"Jadi gimana, kalian sudah dapat informasi tentang keberadaan anak perempuan saya?" tanya Dedy pada tiga orang suruhannya, yang masing-masing mengenakan pakaian serba hitam.
"Belum, Pak," jawab salah satu dari ketiga orang tersebut sambil menunduk.
"Kalian ini bagaimana sih, mencari anak perempuan saja tidak becus!" bentak Dedy.
Tiga orang itu adalah orang-orang kepercayaan Dedy yang sudah sepuluh tahun bekerja dengannya. Setiap Dedy menginginkan suatu informasi, pasti Dedy akan menyuruh ketiga orang itu untuk mengorek informasi yang dibutuhkannya. Biasanya hasil kerja mereka tak pernah mengecewakan.
Lain halnya dengan sekarang. Semenjak Dedy mengetahui tentang Ara yang pergi dari rumah, ia langsung mengerahkan ketiga orang itu untuk mencari keberadaan Ara. Namun sayang, kali ini hasil kerja mereka tak membuahkan hasil.
Dedy memijat pelipisnya perlahan. Pusing kian mendera karena Ara belum juga ditemukan. Apa yang akan ia sampaikan pada istrinya nanti? Padahal ia sudah berjanji akan menyuruh orang-orangnya untuk membawa Ara pulang ke rumah.
"Maaf, Pak, kami sudah berusaha mencari keberadaan non Ara di seluruh Jakarta, namun belum bisa kami temukan. Menurut analisa kami, kemungkinan besar nona Ara pergi ke luar kota."
"Baik, saya minta kalian terus mencari di mana keberadaan Ara. Kalau perlu, cari sampai ke seluruh pelosok nusantara. Jangan kembali ke hadapan saya sebelum kalian menemukan Ara!" ucap Dedy tegas.
======================
"Yah, apa orang-orang Ayah sudah menemukan di mana keberadaan Ara?" tanya Wanda setelah menyambut kepulangan sang suami.
Tak menjawab, Dedy justru mengabaikan pertanyaan dari istrinya itu. Ia menghempaskan badannya di sofa ruang keluarga, lalu menghirup udara dalam-dalam.
Sebenarnya sudah Dedy tebak sedari ia masih di kantor tadi, bahwa istrinya pasti akan menanyakan tentang hal ini. Sungguh Dedy merasa sangat tak tega jika harus mengatakan yang sebenarnya. Ia takut jikalau istrinya tambah bersedih hati, apalagi sudah tiga hari ini ia lihat istrinya tidak nafsu makan, dan tidurnya pun tak nyenyak.
"Yah, gimana?" ulang Wanda. Ia ikut mendudukkan diri di samping suaminya. Sebenarnya Wanda merasa bersalah harus melontarkan pertanyaan yang berat ketika sang suami baru pulang bekerja. Namun, kekhawatirannya pada Ara, sangat tak bisa ia bendung.
"Maaf, Ma, orang-orang ayah belum berhasil menemukan Ara," jawab Dedy dengan nada sendunya.
Tak dapat dipungkiri, Dedy pun sangat khawatir, dan merasa kehilangan Ara, meskipun Ara bukanlah anak kandungnya. Kedekatannya dengan Ara selama ini, telah menjadikan Dedy menganggap Ara seperti darah dagingnya sendiri.
Wanda menghela napas kasar. Antara sedih, dan juga kesal. Sedih karena Ara belum juga ditemukan. Kesal karena anak buah suaminya dirasa sangat lamban dalam bekerja.
"Ma, jangan sedih. Ayah akan terus menyuruh orang-orang ayah untuk mencari Ara. Ayah juga menambah orang untuk ikut mencari. Mama tenang aja, Ara pasti akan baik-baik saja, dia anak yang kuat," hibur Dedy pada istrinya, sekaligus juga pada ... dirinya sendiri.
"Iya, Yah." Wanda mengangguk sambil terisak. Baru kali ini ia jauh dari anak perempuannya, wajar saja jika sesedih ini, apalagi anak satu-satunya.
=====================
"Bangun lo! Kebo banget sih, udah siang begini masih molor," kata Ara yang sedang membangunkan Meta yang masih saja asyik berselancar di alam mimpi, padahal jam sudah menunjukkan angka delapan.
"Berisik lo, Ra! Nggak bisa liat orang lagi nyenyak-nyenyaknya apa," ucap Meta dengan mata yang masih tertutup. Kelakuan Ara yang brutal sewaktu membangunkannya tadi, jelas mengganggu tidur lelapnya, hingga mau tak mau kesadarannya kembali, walau mata masih enggan membuka.
"Gue bisa liat dodol! Saking eneknya gue liat lo tidur mulu, makanya gue berisik," gerutu Ara, "bangun cepet gih, terus mandi. Sejam lagi kak Arum mau nemenin kita buat nyari kontrakan."
Mendengar gerutuan Ara, Meta lantas bangun dari posisi berbaringnya, dan perlahan membuka kedua matanya. Ia baru ingat kalau hari ini akan mencari kontrakan sesuai rencananya dengan Ara semalam.
"Oh, ya, gue lupa, Ra, hehe." Meta nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala.
Ara mendengkus sebal. Senjata andalan Meta adalah, lupa.
"Ya udah gih, buruan sana mandi!" Ara berlalu meninggalkan Meta sambil berkacak pinggang. Sedangkan Meta hanya melongo melihat tingkah laku Ara yang menurutnya aneh pagi ini. Seperti emak-emak yang tengah kesal membangunkan anak gadisnya. Sejak kapan Ara bisa bersikap dewasa seperti itu?
=====================
"Udah siap?" tanya Arum pada Ara dan Meta.
"Siap, Kak!" jawab Ara dan Meta secara serentak.
Setelah sarapan tadi, mereka segera bersiap untuk mencari kontrakan."Ya udah, ayo kita jalan," ajak Arum yang kemudian diikuti oleh Ara dan Meta.
Lalu, ke manakah Arum akan membawa Ara dan Meta mencari tempat kost yang akan ditempati?
To be contonue
"Nah, Ara, Meta, ini komplek kost teman aku," ucap Arum ketika mereka telah sampai di depan gerbang komplek kost teman Arum.Ara manggut-manggut, sementara Meta mengedarkan pandangan matanya pada sekeliling komplek kost yang baru saja mereka datangi.Tidak buruk. Seenggaknya terlihat rapi dan sedikit asri. Beda dengan komplek kost Arum."Di sini satu tempat kost-nya lumayan luas, jadi mungkin cukup buat dua orang. Nanti aku tanya sama temen kost-ku, masih ada kamar kosong apa enggak," lanjut Arum."Iya, Kak, kita ngikut aja deh," kata Meta.Selanjutnya Arum mengajak Ara dan Meta untuk memasuki komplek kost itu. Menyusuri lorong kamar kost, menuju tempat teman Arum."Ini kamar kost teman aku, sebentar ya, aku panggil dulu orangnya," ujar Arum saat mereka berada di depan salah satu kamar kost.Ara dan Meta sama-sama diam. Berdiri sambil memperhatikan sekeliling komplek kost ini. Ji
"Halo, Nak. Ara pergi dari rumah," ucap Dedy melalui telepon. Sekarang ia sedang menghubungi anak laki-lakinya yang tengah berada di luar kota."Apa?! Pergi dari rumah? Kenapa bisa, Yah?" tanya anak laki-laki Dedy."Ayah tidak tahu alasan secara jelasnya, Nak. Sekarang kamu ada di kota mana?""Aku di Bandung, Yah.""Boleh ayah minta tolong, Nak?""Kalau aku bisa kenapa tidak, Yah?""Nak, menurut informasi orang-orang ayah yang ayah suruh untuk mencari Ara, kemungkinan besar Ara ada di luar kota Jakarta, tapi kami tidak tahu persisnya di mana. Apa kamu bisa tolongin ayah buat mencari Ara di Bandung? Ya, meskipun belum tentu juga Ara ada di Bandung.""Baik, Yah, aku akan coba cari Ara di Bandung.""Terima kasih, ya, Nak.""Ini kan sudah kewajiban aku, Yah, Ara sudah aku anggap sebagai adik kandungku."Dedy bernapas lega. Setidaknya anak kandungnya bersedia
"Gini, di kantor gue lagi butuh orang buat ditempatin di divisi marketing, sama sekretaris CEO. Coba aja kalian bawa surat lamaran ke sana, nanti gue kasih tahu alamat kantornya sama kalian," ujar Bobi pada Meta, dan Ara. Saat ini mereka bertiga tengah bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kontrakan. Ara, dan Meta menunda mencari pekerjaan karena Bobi mengajak bertemu."Oh, gitu ya, Say, boleh tuh, kan jadinya kita bisa kerja bareng sekantor," kata Meta sambil bergelayut manja di lengan Bobi. Bobi pun tersenyum pada Meta, dan tampak menikmati perlakuan Meta. Sementara Ara hanya mencebik melihat tingkah lebay temannya yang sedang kasmaran itu."Eh, Bob, emang nggak bisa, ya, kalau surat lamarannya dititipin ke lo?" tanya Ara.Ara berpikir jika surat lamaran kerja dititipkan pada Bobi, yang notabene-nya karyawan kantor itu, tentu lebih efisien. Dan yang penting juga bisa irit ongkos."Nggak bisa kayaknya, Ra, haru
Sang surya tampak bersinar cerah pagi ini. Secerah hati dua insan yang tengah bersiap-siap untuk pergi, menyambut masa depan. Ara, dan Meta sudah rapi. Seperti rencananya kemarin, hari ini mereka berdua akan berkunjung ke kantor tempat Bobi bekerja, guna mengantar surat lamaran kerja. Syukur-syukur jika nanti bisa langsung interview, lalu diterima kerja. Seindah itulah membayangkan. Namun, kenyataannya, realita tak seindah seperti khayalan kita. Tapi, apa salahnya berharap, dan mencoba bukan? "Dah, siap! Yuk, berangkat," ajak Ara, selepas ia memakai sepatu. "Ya, udah ayo jalan," kata Meta sambil sibuk dengan cermin kecil di tangannya, yang ia hadapkan pada wajahnya. "Awas, nanti lo tersandung kalau jalannya liatin cermin terus. Muka lo nggak bakalan berkurang kali," cibir Ara. Meta tak menjawab cibiran Ara. Ia hanya mendengkus sebal. Hari ini mood-nya cukup baik, jadi enggan merusaknya
"Ta, Lo lagi di mana?" tanya Ara lewat sambungan telepon. Tangan kanan Ara gunakan untuk memegang ponsel yang sedang didekatkannya ke telinga, sedangkan tangan kirinya memegang gagang koper yang ia bawa dari rumah."Ya gue lagi di kost lah, Ra, emangnya kenapa?" jawab teman Ara di seberang sana."Gue lagi di jalan mau ke kost-an lo, takutnya lo nggak ada," terang Ara."Ya elah, mau ke sini aja pake tanya dulu, biasanya juga langsung ke sini.""Ini penting, Ta, menyangkut kehidupan gue selanjutnya," ujar Ara sedikit mendramatisir. Kalau boleh Ara tebak, sahabatnya yang sedang dihubungi itu, pasti memutarkan bola mata, sebal dengan ucapan Ara."Lebay lo, ah. Udah mau jadi ke sini apa enggak? Gue tunggu nih, satu jam lagi gue mau nge-date sama cowok gue.""Iya, iya, gue ke kost lo sekarang. Jangan pergi dulu sebelum gue dateng."Ara memutuskan panggilan. Mematikan ponsel mahalnya, lalu memasukkan
"Apa! Ara pergi dari rumah, Ma?" tanya Dedy--ayah tiri Ara pada Wanda--istrinya yang merupakan ibu kandung Ara.Sepulang bekerja yang Dedy harapkan adalah ketenangan serta kedamaian seperti biasa. Disambut oleh senyuman hangat sang istri, dan tingkah ceria Ara, namun yang Dedy dapat justru aduan kesedihan dari istrinya karena Ara pergi.Meskipun Ara hanya anak tiri, tetapi Dedy telah menganggapnya seperti anak kandungnya. Kehadiran Wanda serta Ara di rumah ini mampu membuat hari-harinya terasa lebih berwarna setelah kematian istri pertamanya dulu.Dedy memang mempunyai anak dari istri pertamanya. Usianya lima tahun lebih tua dari Ara, namun karena anak kandungnya itu laki-laki, dan cenderung dingin, maka bisa dikatakan kurang dekat dengan Dedy. Justru Aralah yang lebih dekat dengannya, meskipun statusnya anak tiri."Iya, Yah," jawab Wanda sembari terisak.Meskipun tadi Wanda telah menghubungi Ara, dan menanyakan tenta
"Ra, serius nih, kita mau pindah ke Bandung?" tanya Meta pada Ara yang tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Beruntung tak banyak barang yang kemarin ia unbox di kost-an Meta."Lo masih ngeraguin keputusan gue? Atau lo takut nanti kita nggak bisa hidup di Bandung?""Gue ragu, Ra, lo kan tau sendiri kalau gue nggak pernah ke Bandung." Meta mengeluarkan apa yang sedari tadi bersarang di benaknya. "Apalagi ini terlalu mendadak, Ra."Memang sangat mendadak. Baru tadi malam Meta menceritakan bahwa Bobi--pacarnya dimutasi ke Bandung, saat itu juga Ara langsung mengeluarkan pendapatnya untuk ikutan pindah ke Bandung. Tanpa pemikiran yang matang, dan terkesan tergesa-gesa, hari ini Ara langsung menyatakan pindah."Lo tenang aja deh, gue jamin kita nggak akan mati di sana." Benar kan pemikiran Ara?"Gue punya temen yang udah lama kerja di sana, Ta, entar kita bisa minta tolong sama dia, tad
"Aduh, Ra, gimana ini? Dari tadi tuh kita udah muter-muter nyari tempat tinggal temen lo, tapi nggak ketemu juga. Capek nih gue, kaki gue rasanya mau copot," gerutu Meta.Ara memutarkan bola matanya. Sahabatnya yang satu itu memang lebay alias over dengan sesuatu yang terjadi dengan mereka. Padahal menurut Ara mereka baru saja tiba di komplek kontrakan yang ditempati temannya, dan baru saja jalan sebentar."Berlebihan lo, Ta, baru aja kita jalan sebentar. Dari tadi tuh kita muter-muternya naik ojol sampai keluar duit banyak gue," timpal Ara."Halah, duit dari penjualan ponsel lo yang mahal itu masih banyak kali, Ra, nggak bakal habis cuma buat bayarin ojol doang," kata Meta dengan tanpa rasa bersalahnya.Ingin rasanya Ara menampol mulut sahabatnya itu, namun ia tahan, karena tentu saja malu melakukannya di jalan seperti ini. Dalam hati Ara bertekad akan memberi pelajaran pada sahabatnya itu setelah mereka mendapatkan tempat tinggal