Share

AMORAGA - 4

Until here I still don't understand, the reason you act like you don't have a heart.

.

.

Happy reading

        

Hari-hari silih berganti. Bagi anak-anak SMA Aeris yang saat ini mereka utamakan adalah ujian kenaikan kelas. Sekolah lebih tenang seperti biasanya. Tidak ada keributan di kantin, di tempat eskul, atau di ruang osis. Begitu hening sampai suara penggaris kayu milik Pak Indra yang terjatuh saja terdengar jelas, membuat semua anak kelas B menoleh ke arah Pak Indra. "Maaf, maaf. Bapak gak sengaja. Sokatuh, dilanjutkan," kata Pak Indra yang hari ini bertugas mengawas kelas Amora.

Bunyi jarum jam menghiasi suasana kelas yang sepi. Sampai akhirnya bel tanda ujian telah selesai berbunyi. "Oke, anak-anak. Lembar jawaban sama soalnya ditinggal saja di meja. Kalian boleh pulang."

Amora memasukkan pensil dan barang-barangnya masuk ke dalam tas. Gita sudah menunggu Amora di ambang pintu kelas. Cewek itu memakai tasnya lalu berjalan mendekati Gita. "Cepet banget, lo. Udah ada di pintu aja."

"Iyakan gue udah selesai dari tadi. Lama banget nunggu bel pulang."

Amora memutar bola matanya, lalu berjalan bersama Gita ke luar kelas. Saat melewati kelas A, kedua cewek itu tidak sengaja berpapasan dengan Raga. Cowok itu berjalan tanpa memerdulikan Amora. Salah satu hal teraneh sepanjang hidup Amora. Akhir-akhir ini, Raga tidak lagi mengganggunya. Tidak seperti biasa. Cowok itu jadi lebih pendiam. Memang hal yang bagus untuk Amora. Ia senang karena Raga berhenti mengganggunya. Gita berbisik ke arah Amora, "Lo ngerasa aneh, kan? Itu anak koala gak ngegangguin lo lagi. Kayaknya dia abis dapet hidayah."

"Masa bodo. Gak ada urusannya sama gue. Bagus kalo dia dapet hidayah. Sekalian kena azab juga, alhamdulillah."

Gita hanya menggelangkan kepalanya mendengar apa yang Amora katakan. Sepertinya, rasa dendam Amora pada Raga bukan sekadar dendam biasa. Lihat saja caranya menyumpahi Raga. Tiba-tiba, Bayu datang dari arah belakang, mengangetkan Amora dan Gita.

"Hai, Amora," sapa Bayu.

Amora celingak-celinguk pura-pura kebingungan, kemudian menunjuk dirinya. "Lo nyapa gue?"

Bayu tertawa agak keras. "Yaiya, lah. Yang namanya Amora itu cuma lo." Bayu merangkul Amora. "Amora, dari bahasa Spanyol artinya cinta. Gue heran, yang orang bule itu si Raga, tapi yang namanya bule itu lo."

Amora melepas rangkulan Bayu lalu menatap cowok itu sebal. "Apa urusannya Raga sama gue?"

"Ada. Lo dan Raga itu adalah urusan yang harus gue selesaikan."

"Ngaco! Udah, yuk, Git. Gue pengin pulang."

Amora menarik lengan Gita dan mengajaknya pergi meninggalkan Bayu yang sedang tersenyum menatap keduanya. "Sampai ketemu di kelas dua belas, Amora!"

***

        

Gita akan menginap di rumah Amora selama sebulan penuh. Seperti rutinitas setiap liburan yang selalu dilakukan cewek berambut ikal itu. Gita berlari masuk ke dalam rumah Amora sambil menarik kopernya. "Selamat kembali ke istana, tuan putri Gita," kata Gita sambil merentangkan tangannya. Bi Daru datang membawa dua gelas jus mangga untuk Gita dan Amora. "Wah, Bi Daru. Apa kabar? Lama banget kita gak ketemu," sapa Gita.

"Wong, kita baru ketemu seminggu lalu, toh, Non Gita?"

Gita menunjukkan cengirannya lalu meraih gelas berisi jus itu. Amora meletakkan tasnya di sofa lalu merebahkan tubuhnya sambil memejamkan mata. "Loh, Non Mora gak mau makan dulu?" tanya Bi Daru.

"Biarin, Bi. Kaum rebahan kayak Amora itu, makannya lewat mimpi."

Bi Daru tertawa mendengar candaan Gita. Alih-alih ikut bercanda, Amora malah tertidur pulas di sofa. Entah kenapa hari ini sangat lelah. Tidak biasanya Amora tidur disaat hari masih sore. Cewek itu tertidur sampai hari mulai gelap.

Gita bersenandung sambil membaca novel milik Amora. Di kamar Amora, memang banyak sekali novel-novel yang tersusun rapi di rak buku bagaikan perpustakaan pribadi. Amora senang membaca novel. Ia tidak pernah ketinggalan soal novel-novel terbitan terbaru. Amora baru saja selesai salat isya. Ia melipat mukenanya lalu mengambil ponselnya di nakas. Berbeda hal dengan Gita yang sibuk membaca, Amora sibuk melihat isi ponselnya. Ia membalas pesan-pesan masuk satu-persatu. Entah itu dari Deri yang mengajak liburan, entah dari teman sekelasnya yang menanyakan perihal produk terbaru tas keluaran Italia, sampai yang bertanya skincare apa yang Amora pakai. Namun, jarinya berhenti saat melihat sebuah pesan asing dari nomor sakral yang bahkan sekalipun tidak pernah muncul di ponselnya. Raga, cowok itu mengiriminya pesan. Amora memang menyimpan nomor Raga karena saat mereka MOS dulu, semua anak harus menyimpan nomor teman seangkatan. Tapi, setelah dua tahun, nomor itu mengiriminya pesan. Amora membuka pesannya, dahinya berkerut.

Raga

Amora ...

Amora tertawa sinis. "Hah, cuma manggil doang? Gue kira apaan," sungut Amora.

"Siapa?" tanya Gita yang merasa tertarik dengan pesan yang dilihat Amora.

"Ini, si Raga. Dia chat gue."

Gita yang tengah mengunyah cokelatnya langsung terbatuk mendengar sebuah nama yang Amora sebutkan. Cewek itu langsung berlari menghampiri Amora dan mengambil alih ponsel itu untuk memastikan sendiri. Ternyata benar ... Itu Raga.

"Gila! Ini, sih, keajaiban dunia ke delapan setelah petra di Yordania." Gita mengambil ponselnya lalu memotret pesan dari Raga.

"Ngapain pake di foto, sih?"

"Ini langka, Ra. Saraga Imanuel? Ngirim pesan ke lo? Kalo salah kirim, sih, gak mungkin chat itu isinya nama lo-Amora."

"Yaudah, sih, gak usah heboh gitu. Palingan dia iseng."

Gita menggelangkan kepalanya cepat. "Enggak! Lo harus bales!"

"BIG NO! Mau di taro di mana harga diri gue?" Amora menyilangkan kedua tangannya. Untuk apa membalas pesan dari Raga? Bagaimana jika Raga hanya iseng karena ingin tahu apakah Amora membalas atau tidak? Pikiran licik seorang Raga siapa yang bisa menebak?

"Yaelah, pake mentingin harga diri. Nanti gue taro harga diri lo disamping harga promo sandal jepit di Ramayana."

Amora melempar sendal bulunya. "Mulut, tuh! Belom pernah di jahit pake tali tambang, ya?"

Bukannya mendengarkan Amora, Gita malah membalas pesan itu tanpa persetujuan Amora. "Kok, dibales? Bener-bener, ya, lo!"

"Ssttt, ceklis dua, Ra."

Gita duduk disebelah Amora. Alih-alih marah pada Gita, Amora malah ikut memandangi layar ponsel itu bersama Gita. Kedunya seperti menunggu balasan dari Raga. Amora bahkan sampai mengigit kukunya karena gugup. Sampai tiba-tiba, warna ceklis itu berubah menjadi biru. Gita semakin antusias, sedangkan Amora semakin panik.

Namun, setelah menunggu beberapa menit, tidak ada balasan apapun. Bahkan, Raga juga tidak terlihat sedang mengetik, membuat harapan Gita sirna. Amora menarik napas lega, lalu memukul bahu Gita dengan sendal bulunya. "Lo, ya! Siapa suruh lo bales pesan dia?"

Tiba-tiba bunyi notifikasi membuat keduanya menoleh. Amora melihat pesan itu. Balasan dari Raga.

Raga

Maafin gue, ya.

Gita berteriak histeris, membuat Amora mau tak mau menutup telinganya. "Fix, ini, sih, Raga abis dapet hidayah beserta teguran dan azab-azabnya."

Amora memutar bola mata malas. Ia menatap pesan Raga sekali lagi. "Apa bener ini Raga? Atau jangan-jangan Bayu?"

        

*** 

Sejak Raga mengirim pesan itu, Amora jadi sering melihat whatsapp nya. Bohong jika Amora bilang ia tidak merasa terganggu. Permintaan maaf Raga mampu membuat dunia Amora berhenti berputar. Namun, terasa aneh jika memang pesan itu dikirimkan sendiri oleh Raga. Bisa saja Bayu yang iseng. Tapi tetap saja, Amora penasaran. Sebulan terlewati begitu cepat. Padahal Amora merasa baru kemarin menjalankan ujian kenaikan kelas. Tidak ada yang istimewa dihari pertamanya masuk sekolah setelah sebulan liburan. Tidak ada orang tua yang menyapa, memberi semangat, mencium kening ... Mungkin indah sekali jika Amora bisa merasakan itu. Bi Daru sudah siap dengan gaun birunya, serta tas berwarna senada. Rambutnya dicepol, memperlihatkan lehernya yang putih. Amora tertawa pelan saat melihat Bi Daru juga mengenakan kacamata hitam. "Bi Daru mau ke mana?" tanya Amora menahan tawa.

"Atuh, Bibi, kan, mau ikut nganter Non Mora. Hari ini Bibi sama Pak Sam akan jadi orang tuanya, Non."

"Pak Sam juga?"

Saat itu, Pak Sam datang menggunakan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan jam tangan dan sepatu pantofel. "Gimana, Non? Bapak udah keren, gak? Kaya CEO-CEO di film?"

Amora mengacungkan kedua jempolnya. "Perfect."

"Yaudah, atuh, ayo kita let's go!"

Amora mengangguk lalu berjalan mengikuti Pak Sam dan Bi Daru. Betapa beruntungnya Amora memiliki mereka berdua. Mereka bisa jadi teman, orang tua, bahkan jadi penghibur jika suasana hati Amora sedang buruk.

Saat sampai di sekolah, Amora turun disusul Bi Daru dan Pak Sam. Cewek itu terlihat antusias. Ia memejamkan matanya sambil bergumam dalam hati, "Tahun terkahir di SMA Aeris."

Saat itu, Bayu yang baru saja datang bersama Raga, melihat Amora yang datang langsung menghampiri cewek itu dengan cengiran khasnya. "Pagi, Amora. Ternyata Tuhan memberikan kita kesempatan buat ketemu lagi."

Amora memutar bola mata malas. Sebenarnya, Amora bukannya tidak suka dengan Bayu, tapi alasan terbesarnya adalah Bayu teman Raga. Jika saja Bayu bukan teman Raga, mungkin Amora tidak akan semalas ini melihat cowok itu.

"Eh, ini siapa?" tanya Bayu menatap Bi Daru dan Pak Sam.

Bi Daru menurunkan kacamata hitamnya, lalu menatap Bayu dari atas sampai bawah. Beberapa detik kemudian, Bi Daru tersenyum. "Saya Mamanya Amora."

Melihat cara bicara Bi Daru yang terkesan lebay, Amora hampir saja tertawa.

"Kalo ini Mamanya Amora, berarti ini Papanya?" tunjuk Bayu ke arah Pak Sam.

"Yaiyalah, masa saya supir," kata Pak Sam.

"Wah, selamat pagi, Om, Tante. Apa kabar? Dari penglihatan saya, sih, baik. Tumben-tumbenan Om sama Tante ke sini? Mau ketemu siapa? Biar Bayu Ganesha yang anterin," kata Bayu menawarkan dirinya.

"Gapapa. Kami ke sini cuma mau lihat Amora sama teman-temannya."

"Oh, pas banget, Tante. Saya temennya Amora. Bestfriend."

"Ye, ngasal!" kata Amora.

Saat itu, Bayu menoleh ke belakang, sambil berteriak pada seseorang, "Raga! Sini! Ada Mama sama Papanya Amora!"

Mendengar nama itu, Amora langsung menoleh ke arah parkiran. Benar saja, ada Raga yang sedang memasukkan beberapa buku dari box motornya ke dalam tas. Yang dipanggil tentu saja menoleh. Ia melirik Amora yang saat itu juga sedang menatapnya. Dalam hati Amora bergumam, "Mana mau dia ke sini?"

Diluar dugaan, Raga menghampiri mereka setelah mengambil kunci motornya. Amora sempat mengucak matanya, memastikan yang ia lihat memang Raga.

Raga tersenyum lalu mencium tangan Bi Daru dan Pak Sam bergantian. "Pagi, Om, Tante."

Bi Daru tersenyum lebar melihat Raga. Wanita itu bahkan menyentuh pipi Raga yang putih sambil terkagum-kagum. "Ieu budak lalaki kasep pisan," kata Bi Daru sambil terus memegangi pipi Raga. Raga hanya tersenyum menampilkan lesung pipinya. Tunggu-Raga tersenyum? Benarkah? Amora menarik tangan Bi Daru. "Mah, Pah, katanya Mama sama Papa ada urusan kantor? Yaudah, ini udah mau jam tujuh. Amora bentar lagi masuk. Mama sama Papa langsung berangkat aja."

"Oh, iya. Om sama Tante harus ke kantor. Biasa, lah, ya, ada rapat. Takutnya nanti rapatnta batal kalo kita gak di sana. Yaudah, Mama sama Papa pergi dulu, ya, Amora. Semangat belajarnya."

Amora melambaikan tangannya. Bayu bahkan juga ikut melambaikan tangannya kecuali Raga. Cowok itu hanya tersenyum sampai mobil hitam itu pergi.

Amora langsung berbalik dan buru-buru masuk disusul Bayu dan Raga. Sepanjang perjalanan menuju kelas, Amora merutuki diri dalam hati. Kenapa hari pertamanya harus melihat Raga? Kenapa? Begitu masuk ke kelas, tiba-tiba saja kelas langsung hening. Amora mengerutkan dahinya melihat pemandangan asing di depan matanya. "Sejak kapan, kelas kita punya meja sama bangku sebanyak ini?" tanya Amora melihat kelasnya yang memiliki meja dan kursi lebih banyak.

"Ini kenapa anak kelas A pada di sini?" tanya Amora yang melihat Anggia-salah satu anak kelas A yang dekat dengannya

Saat itu Gita langsung menghapiri Amora yang masih berada di ambang pintu. "Ra ... Ra ... Tenang dulu. Tarik napas, embuskan. Lo udah sarapan, kan? Ini gue bawa roti lapis, mau?"

"Git, ini kenapa jadi kaya gini kelas kita?"

Semua anak yang ada di sana tidak ada yang bicara. Gita menggaruk belakang kepalanya. Disaat bersamaan, Bayu dan Raga masuk ke dalam kelas. Bayu terlihat antusias. Ia bahkan sempat-sempatnya menyapa Amora. "Halo, Ra. Ternyata kita sekelas. Jodoh gak, nih? Jodohin ajalah."

Amora menatap Gita makin kebingungan. "Gita. Jelasin ke gue!"

"Eng, jadi gini, Ra. Kata Pak Indra, untuk kelas dua belas ini, kelas A sama kelas B digabung. Katanya biar lebih gampang kasih materi biar gak ada yang dulu-duluan. Terus juga, angkatan baru tahun ini lebih banyak dua kali lipat, dan sekolah kekurangan kelas. Jadi-"

Amora tertawa agak keras, membuat yang lain semakin diam. Mereka terlihat agak ngeri. "Gapapa ... Gapapa. Yang penting gue duduk sama lo."

Baru saja Amora ingin melangkah, tangannya ditahan oleh Gita. Cewek itu agak takut untuk mengatakannya. "Masalahnya, tempat duduk kita udah diatur sama sekolah, Ra. Gue duduk sama Galih. Terus lo duduk sama-"

Amora langsung pergi mencari tempat duduknya tanpa mendengarkan lanjutan perkataan Gita. Saat melihat NIS nya, Amora langsung melihat siapa yang duduk di sebelah bangkunya. "RAGA?!"

"Mampus, perang dunia akan segera dimulai."

"Gila. Dua rival berada dalam satu kawasan. Petjahhh!"

"Anj*r, inimah namanya menyatukan dua megatron."

Beberapa anak memang sudah menyadari hal ini akan terjadi. Itu sebabnya mereka langsung diam saat Amora datang. Mereka lebih baik tutup mulut daripada harus mendapat ocehan maut seorang Amora.

Beda halnya Amora yang terlihat agak marah, Raga justru tersenyum ke arah Amora. "Hai, Ra." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status