Share

AMORAGA - 6

Then you must know what I mean.

.

.

Happy Reading

Raga duduk di salah satu meja dekat lapangan. Ia dan Bayu sudah berjanji akan duduk di sana. Tapi, Raga tidak melihat anak itu. Ke mana perginya? Sambil menunggu, Raga membuka buku musik yang ia ambil di ruang musik tadi. Raga memang berniat mengambil buku yang berisi beberapa kunci gitar. Raga memang suka sekali bermain gitar. Sebuah piring berisi nasi goreng dan sebuah ponsel diletakkan begitu saja dihadapannya. Raga mendongak, menatap seseorang yang kini berdiri di sampingnya.

"Itu nasi goreng sama hp titipan Bayu. Bocahnya lagi ke kamar mandi." Amora masih berbicara dengan nada ketusnya.

Raga mengerutkan dahinya. "Kenapa lo yang nganter?"

"Nah, kan. Gue juga masih bingung, kenapa mesti gue yang nganter coba? Padahal yang punya tangan dan kaki bukan gue doang. Yaudah, deh. Yang penting udah gue anterin."

Baru saja Amora hendak pergi, tangannya ditahan oleh Raga. Cewek itu menoleh dengan wajah kebingungan. "Kenapa lagi?"

Satu detik ... dua detik ... tidak ada suara. Amora memutar bola matanya, namun tangannya masih ditahan. "Apa, sih, Ga?"

"Makasih."

Amora mengangguk malas. "Gue serius," tambah cowok itu lagi.

"Iya, sama-sama. Udahan pegangannya. Udah kayak mau nyeberang aja, lo. Pegangan segala."

Raga melepaskan tangannya dari tangan Amora. Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya. Matanya masih menatap Amora yang kini berjalan menjauh. Tak lama, Bayu datang sambil mengunyah snack yang ia pegang. Cowok itu langsung mengambil tempat di sebelah Raga dan ikut menatap Amora yang berjalan kembali ke mejanya.

"Cantik, ya?" tanya Bayu yang langsung mengagetkan Raga. Cowok itu mengusap dadanya pelan. "Ngagetin gue lo, kambing!"

Bayu hanya menunjukkan cengirannya lalu mengunyah snacknya. "Jujur sama gue. Salah satu alasan lo suka sama Amora karena dia cantik, kan?"

Raga menyuap nasi gorengnya. "Hmm."

"Emang, sih, Amora cantik banget. Body goals, bibir tipis, pipi chubby, rambut udah kayak iklan shampo. Perfect, lah."

Raga menatap Bayu dengan tatapan tidak suka. Ia tidak suka jika ada orang yang menilai Amora sedetail itu di depannya. Bukannya apa. Itu artinya orang yang menilai Amora telah memerhatikan Amora seteliti itu. Raga tidak suka. "Kenapa lo lihatin gue gitu?" tanya Bayu yang merasa aneh dengan tatapan Raga.

"Kenapa lo nyuruh Amora nganter nasi goreng sama hp gue? Emang dia kurir JNE?"

Bayu hampir saja tersedak keripik kentangnya. Ia sempat tercengang mendengar Raga yang menyebut 'kurir JNE' barusan. Persis seperti saat Amora menolaknya tadi. "Emang jodoh kalian berdua." Bayu menggelangkan kepalanya. Sedetik kemudian ia merangkul Raga lalu tersenyum bangga. Tak lupa ia juga menunjuk Amora dengan jari telunjuknya.

"Tenang aja, Bro. Gue bakal bantuin lo dapetin Amora. Anggap aja itu sebagai hadiah persahabatan dari gue."

Raga mengerutkan dahinya. Jujur saja ia tidak pernah meminta Bayu mencampuri urusannya. Ia juga ingat tidak pernah bilang ingin mendekati Amora. Bayu yang menyadari perubahan ekspresi Raga langsung mengerti. Ia menepuk bahu Raga pelan. "Santai, Bro. Tanpa lo bilang pun, gue udah tahu kalo lo berniat ngibarin bendera damai. Gue tahu, lo pasti pengin ngerasain dilirik Amora, kan?" tebak Bayu dengan percaya diri. Raga masih menatap sahabatnya itu dengan tatapan datar. Tidak menanggapi tidak juga mengabaikan.

"Setidaknya lo harus bahagia sebelum pergi, Ga. Gue sebagai sahabat gak mau lo duduk diam kaya gini dan cuma mandang dia dari jauh. Ingat! Amora itu girlfriend-able banget. Kena tikung baru tahu rasa, lo!"

Bayu memang sengaja melakukan semuanya. Termasuk menyuruh Amora mengantar nasi dan ponsel Raga. Bayu sangat menyayangi sahabatnya. Ia tahu betul, penyakit Raga semakin parah. Dan ia juga tahu, hidup cowok itu tidak akan lama lagi. Sebab, dokter sudah sangat pasrah melihat Raga yang selalu ogah-ogahan menjalani terapi bahkan meminum obat. Memang anak itu yang keras kepala. Waktu liburan saja, Raga tidak beranjak dari kamar dan selalu berbaring dengan selang infus setiap harinya. Meskipun Bayu agak sedikit bingung kala melihat Raga yang terlihat sedikit lebih bugar saat bertemu di parkiran tadi. Raga sangat pandai menyembunyikan rasa sakitnya. Pasti semua orang terkelabui dengan sempurna. Siapa yang tahu Raga sakit selain keluarga cowok itu dan Bayu? Bahkan kadang Bayu sampai lupa jika Raga sakit. Sebab cowok itu pandai sekali terlihat sehat.

Ia ingin melihat Raga mengungkapkan perasaannya pada Amora. Ia juga ingin melihat Raga merasakan kasih sayang seorang pacar. Sebenarnya banyak yang memberi Raga perhatian. Jelas saja. Cowok seganteng Saraga Imanuel tidak akan dibiarkan hidup tenang tanpa fans. Tapi ia ingin Raga diperhatikan oleh orang yang dia sayangi. Amora lah orang itu.

"Gue akan bantu lo. Masalah Amora, gak akan terlalu sulit. Tapi sekarang pilihan ada di lo. Kalo lo sayang, perjuangin! Kalo enggak, kasih aja ke gue. Gue ikhlas lahir batin dapet modelan yang bening kayak Amora Natasha gitu."

Raga menghadiahi Bayu dengan tatapan sinis. Cowok itu memilih melanjutkan acara makan snacknya sambil memalingkan wajah.

"Tapi sebenarnya lo niat, gak ,sih, deketin Amora?"

Raga mengangkat bahunya. Ia masih sibuk memakan nasi gorengnya. "Gue gak pernah bilang mau deketin dia."

"Yaelah, make jaim segala. Hati sama mulut lo tuh beda. Gue bakalan bantuin lo deketin Amora. Serius."

"Dia kenal gue aja udah cukup, Bay. Lo, kan, tahu, apa risikonya kalo sampe Amora dekat gue."

Bayu menggaruk alisnya. Benar juga, sih. Tapi Bayu tetap teguh pendirian akan membantu Raga dekat dengan Amora. Itu janjinya pada diri sendiri. "Lebih baik pernah dekat dan sayang, meskipun akhirnya Amora lo tinggal, daripada disaat-saat terakhir hidup lo, lo cuma bisa lihat dia yang dimatanya cuma ada kebencian."

Raga menghela napasnya. Kali ini ia menghentikan makannya, meskipun hanya beberapa suap yang berhasil masuk ke perut Raga. Ia memijiat pelipisnya sambil memejamkan mata. "Lo gak ngerti, Bay," katanya lirih.

"Gue memang gak ngerti, Ga. Karena gue bukan lo. Gue gak tahu apa tujuan lo sebenarnya bersikap kaya gini ke Amora. Tapi gue cuma mau ngasih tahu satu hal supaya lo gak nyesel. Mau buat mereka gak ngerasa sedih kehilangan lo, bukan dengan cara bikin mereka benci, Ga. Ada banyak cara, salah satunya membuat kenangan bersama mereka sebelum lo pergi. Semua orang pasti akan ada yang meninggalkan dan ditinggalkan. Itu seperti rantai kehidupan yang gak bisa kita hindari. Lo pikir, semua orang yang ditinggalkan akan selamanya terpuruk? Salah, Ga. Kami memang terpuruk. Siapa yang gak hancur ditinggalkan? Tapi asal kita ingat kenangan kita bersama orang itu, itu udah jadi hal sederhana yang mampu buat kita ikhlas."

Bayu menepuk bahu Raga pelan. Ia bisa merasakan tubuh sahabatnya yang terasa hangat meskipun terhalang seragamnya. "Jangan merasa diri lo itu beban buat kita semua. Gue ... nyokap-bokap lo, Adik lo, kita semua sayang sama lo, Ga. Lo bisa menambahkan Amora di antara kita. Dia memang benci lo. Tapi, lo pernah dengar, gak, ada yang bilang, 'Benci dan cinta itu hanya dipisahkan oleh satu garis tipis'. Ayo terobos garis itu! Buat dia sayang sama lo. Lo masih punya waktu. Meskipun gak banyak, tapi cukup untuk membuat kenangan bersama dia."

Raga menghela napas. Matanya kini menatap seorang cewek yang tengah tertawa bersama kedua temannya. Tawa yang mampu membuat Raga jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Tawa yang juga mampu membuat Raga takut. Takut jika suatu hari nanti tawa itu tidak akan pernah tetlihat lagi.

Gue gak pengin lihat tawa bahagia lo hilang, Ra. Apalagi alasannya karena gue.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status