Share

05 - Sang Puan Terbangun

"Semesta memang pandai mencari cara. Menolak keinginan juga menakdirkan ketidakinginan."

~clovy

***

"Sampai jumpa, Hito!" ucap Asya saat lelaki berkacamata itu pamit pulang lebih dulu. 

Hito hanya tersenyum ramah, kepalanya tetap menunduk seperti sebelumnya, dia tak memandang Asya dengan saksama. Hanya sekelebat penglihatannya kembali terpaku pada buku tebal yang dibelinya. 

Seperti biasa, Hito membenarkan letak kacamatanya lagi. Dengan tangan gemetar dia membawa buku setebal kamus, entah mengapa pertemuannya dengan gadis ceria itu berdampak aneh pada dirinya. 

Hito memang tak biasa dekat dengan lawan jenis, dan baru kali ini pula dia merasa jantungnya nyaris keluar dari tempatnya. Degupannya lebih cepat daripada sebelumnya, ini memang aneh. Dia bergidik ngeri memikirkan hal-hal negatif tentang gadis itu. 

Dikarenakan kepalanya terasa pening karena memikirkan gadis itu, Hito memutuskan untuk bersantai lebih dulu menikmati kopi panas di salah satu kafe hits anak muda. 

"Apa iya, cewek itu punya kutukan dari nenek lampir?" tanyanya entah kepada siapa. Pikirannya seketika kembali mengingat gadis itu. 

Hito menggeleng. "Gue takut, kalau dia memang titisan dari nenek lampir." Lelaki itu memijat pelipisnya pelan, pikirannya melanglang buana ke mana saja, kisah cerita yang baru saja dibacanya beberapa minggu lalu nyaris persis seperti pertemuannya dengan sang gadis. 

"Kenapa lo?" tanya Reza membuat Hito terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Meski tempat ini umum, 

"Apaan sih lo!"

"Ngelamun terus! Jangan ngelamun terus ntar lo kesambet mak Lampir lho!" ucap Reza asal bicara. 

"Emang iya, udah."

"Hah? Lo udah kesambet sama Mak Lampir?" tanyanya penasaran. 

Hito menoyor kepala sahabatnya, "kepo lo!"

"Gue serius. Lo kesambet, Mak Lampir?" Reza mempertanyakan kembali keadaan sahabatnya, kedua tangannya memegang wajah Hito dan meniliknya dengan saksama. 

Hito menjauh dari Reza karena merasa risih sendiri. 

"Ngapain sih lo ada di sini?" tanya Hito akhirnya. 

"Ya suka-suka gue lah. Namanya juga tempat umum, emang lo aja yang bisa ngopi di sini?" tanya Reza kesal. 

"Ya kan kata lo mau kasih makan kucing ponakan lo. Masa sekarang malah keluyuran ke sini?" tanya Hito. 

"Lo bisa diem enggak?" tanya Reza, jemarinya gemas mencubit pipit sahabatnya yang kini mengaduh kesakitan. 

"Sakit tau!" Hito mengelus pipinya yang memerah bekas cubitan maut dari Reza. 

"Makanya diem aja." Jari telunjuknya didekatkan di bibirnya. "Gue lagi jadi detektif."

"Hah? Lo lagi selidiki siapa?" tanyanya lagi. 

"Mia," jawabnya lirih. Kedua mata Hito mengikuti arah pandangan Reza, benar saja sang mantan kekasihnya tengah terduduk tak jauh dari tempatnya. Mia tengah bergurau dengan lelaki dewasa yang masih sama seperti yang Reza lihat saat kejadian hubungannya kandas. 

"Mending lo balik deh, Za. Ngapain juga sih lo masih ngarepin dia yang udah enggak ngarepin lo sedikit pun?" ucap Hito. 

Ucapan sang sahabat bagai lemparan batu kristal yang menghantamnya habis-habisan. Tapi, nasihat Hito membuatnya berpikir lebih terbuka lagi. 

Kini, Mia bukanlah siapa-siapa lagi. Dia tidak ada hak untuk mencampuri urusan gadis itu, ke mana pun dan dengan siapa pun dia pergi tak seharusnya Reza tahu dan menjaganya dari kejauhan. 

"Sebaiknya lo lupain dia. Cari lagi pengganti yang lebih baik daripada Mia." Hito menepuk pundak sahabatnya pelan, Reza menundukkan kepalanya dalam, tangannya memukuli kepalanya yang terasa pening dengan permasalahan percintaannya. 

"Lo bener, To." 

"Yaudah kita cari tempat lain aja yuk!" ajak Hito yang kemudian disetujui sahabatnya. 

***

"Lo harus ketemu sama abang gue," celetuk Putri. 

"Boleh."

"Kalau gue undang ke sini boleh enggak?" tanya Putri lagi. 

Ratu mengangguk lagi. "Boleh."

Pikiran Ratu seolah tak jernih. Ada banyak masalah yang dia pikirkan, bukan soal percintaan layaknya anak muda. Gadis itu memikul beban yang berat, sepanjang hidupnya dia akan merasa dihantui oleh rasa ketakutan juga kebencian. 

Namun, entah kenapa hari ini ia memikirkan Mamanya. Entah sudah berapa kali pihak Rumah Sakit Jiwa Pertiwi menghubunginya. Jika kembali dipikirkan, Ratu sosok anak yang durhaka karena sudah lama sekali dirinya tak lagi melihat kondisi Nindy. 

Bukannya tak mau, rasa takut Ratu selalu hadir jika saja melihat Nindy.

Bahkan gadis itu pikir kehadirannya tidak akan disambut dengan baik. 

Nindy sangat menginginkan Ratu berada di sampingnya, karena akan sangat mudah baginya untuk menghabisi nyawa putrinya. 

"Ra ... Akhirnya abang gue mau ke sini lho," ucapnya setelah mendapatkan persetujuan dari abangnya lewat telepon. 

Ratu hanya tersenyum menanggapinya. Tidak sepenuhnya mendengar ucapan Putri. Pikirannya masih tertuju pada Nindy. 

"Gue ke toilet dulu ya, Put."

Putri pun mengangguk menyetujuinya. 

***

Raja yang tengah bersantai, merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran king size harus terpaksa terbangun dikarenakan panggilan dari sang adik yang merengek minta dijemput sekaligus dikenalkan dengan sahabatnya yang dulu seringkali dia ceritakan. 

Tak mau gendang telinganya pecah oleh rengekan dan ocehan sang adiknya, akhirnya dia menjemput ke alamat yang Putri berikan. 

"Secantik apa sih dia? Si Putri sampe segitunya mau jodohin gue sama dia dari dulu." Raja menggelengkan kepalanya pelan seraya menyambar kunci motornya. 

Raja tidak menyempatkan untuk mengganti pakaiannya, dia hanya mengenakan kaos oblong yang kemudian dilapisi jaket, dan celana pendek selutut. 

Lelaki itu pun melesat pergi menuju alamat yang Putri berikan. Cafe berdominan tanaman gantung yang sengaja dihias, tujuannya memberikan kesan ketenangan teruntuk para pengunjung. 

Tak sengaja tubuhnya bertabrakan dengan gadis yang tengah membuka tas selempangnya. Barang bawaan sang gadis berjatuhan dan membuat Raja membantu untuk membereskannya. 

"Sorry ya." 

Gadis itu masih menunduk seraya mengangguk pelan. 

Setelah barang-barangnya kembali dimasukkan pada tas selempangnya, Raja sedikit terperanjat saat gadis itu menampakkan wajahnya. 

"Ratu?" tanya Raja, alisnya terangkat sebelah sembari menunjuk dengan jari telunjuknya. 

Sosok yang disapanya malah bingung karenanya, dahinya mengkerut seolah bingung dengan lelaki di depannya. 

"Kita pernah ketemu." Raja mengingatkan, karena dari raut wajahnya Ratu seperti tak mengingat dirinya. 

"Oh."

Raja tersenyum mendapati jawaban singkat dari gadis itu. "Aku Raja. Kita ketemu pas di toko skincare. Dan ... sebelumnya juga kita udah kenal."

Ratu menaikkan sudut bibir kirinya, tangannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Gadis itu benar-benar tak mengingat dengan lelaki di depannya. 

"Aku yang tolongin kamu waktu itu." Raja terus mendesak gadis itu agar mengingatnya. 

Ratu terdiam. Mengingat kejadian yang akan menimpa dirinya tempo lalu tertimpuk oleh beberapa botol skincare di sana. Beruntungnya, ada lelaki yang menolongnya saat itu. 

Mungkin, lelaki itu memang dia. Ratu lupa. 

"Oh. Mungkin gue lupa, maaf."

"Gapapa. Yang penting sekarang kan lo inget kalau kita kenal." Raja tersenyum senang. 

"Yaudah gue pergi duluan ya?" ucap Ratu akhirnya. 

"Eh, tunggu!" Raja memegang tangan sang gadis. "Boleh minta nomer whatsapp kamu?" 

Ratu melepaskan tangan Raja. "Maaf, gue buru-buru." 

Gadis itu pergi begitu saja tanpa menunggu respon dari Raja. 

Raja tersenyum miris. "Oke. Lain kali. Gue percaya semesta pasti mendukung misi gue."

Dia pun segera mencari sang adik yang katanya sudah menunggu. Beruntungnya tak begitu sulit menemukan Putri, gadis itu tengah duduk di salah satu meja. 

"Yuk pulang!"

"Lo datangnya telat, Kak. Temen gue udah pergi." Putri menangkupkan kedua tangannya di dagu. Merasa malas dengan kehadiran kakaknya. 

"Kenapa dia pergi duluan?" tanya Raja. 

"Ada urusan katanya," jawab Putri mengingat alasan sahabatnya yang pamit duluan dan minta maaf karena meninggalkannya sendirian. 

"Yaudah sih lain kali aja, lagian ngapain sih lo dari dulu kepengin banget gue kenal sama dia?" tanya Raja. 

"Ya gue rasa lo sama dia tuh cocok. Jadinya kan seru sahabat sekaligus kakak ipar." 

"Apaan sih lo ngaco! Halu terus!" 

"Bukan halu, tapi gue ngarep! Yuk, balik." Putri langsung menggandeng tangan kakaknya. 

"Itu pesanan lo udah dibayar belum?" tanya Raja. 

"Udah."

"Bagus deh kalau gitu, jadinya kan uang gue utuh." Raja mengelus dadanya. 

"Gue pengin jajan buat dibawa ke rumah. Nanti di luar kafe belinya."

Raja menghembuskan napasnya, lagi dan lagi uangnya harus kembali menipis. 

***

Terpaksa, Ratu akhirnya datang ke Rumah Sakit Pertiwi setelah hatinya melunak menerima telepon pada saat di kafe. 

Saat di sana, dia diberi tahu keadaan Nindy yang tidak sadarkan diri karena kejadian yang dibuatnya sendiri melukai kornea mata kirinya. 

"Nanti juga dia pasti sadar lagi, Dok." Ratu mengucapkannya dengan santai meski hatinya sakit melihat sang ibu yang tengah berbaring dengan tubuh tak berdaya. 

"Bu Nindy sangat merindukan Anda. Saya harap kehadiran Anda bisa membuat dia sadar kembali." 

Ratu tersenyum miris mendengar penjelasan pria paruh baya itu. "Percuma terbangun juga, malah saya nanti yang tak sadarkan diri, Dok."

Sang dokter tak menimpali ucapan Ratu, pria itu memahami posisi gadis cantik itu yang selalu menjadi korban kemarahan ibunya. 

"Dokter masih ingat kan kejadian tahun lalu? Saya hampir mati." Ratu tersenyum mengingat kejadiannya. Nindy menusuk lehernya dengan gunting. 

"Ya, tapi Bu Nindy seringkali menanyakan Anda."

"Dia menanyakan saya karena itu motifnya untuk melenyapkan saya, Dok. Bukankah begitu?" tanya Ratu, hatinya memang sakit tapi rasa sakit itu sudah tak dirasakannya lagi, bahkan dia sudah tak punya air mata, rasanya sudah lupa bagaimana caranya menangis. 

"Saya harap Anda bisa mendekatinya dengan cara perlahan." Pria paruh baya itu tidak lelah untuk mencoba menasihati putri sang pasien. 

"Percuma. Jika saya mendekatinya, berarti sama saja mendekati ajal saya." Ratu berdiri dari duduknya. "Terimakasih karena sudah memberitahu keadaan dia. Beritahu saja jika dia sudah pergi, Dok." 

Ratu melenggang pergi keluar dari ruangan dokter bernama Tio. Sang dokter menggeleng pelan. 

Ratu masuk ke dalam ruangan Nindy. Tubuh kurusnya dipasang oleh banyak selang. Gadis itu membelai rambut lusuh sang ibu dengan lembut. 

"Sekarang, Mama sudah semakin tua. Tapi, Ratu masih percaya kok kalau Mama masih kuat kalau renggut nyawa Ratu, ya kan?" bisik Ratu tepat di telinga kanan ibunya. 

"Mama rindu? Tapi, Ratu rasa Mama hanya rindu dengan darah segar Ratu, kan?" bisik Ratu lagi miris. 

"Ratu janji, jika Mama sudah benar-benar sembuh. Silakan, berbuat sesuka Mama. Buat putrimu lenyap dari semesta." Sudut bibir Ratu naik ke atas membentuk senyuman. 

Kedua mata Nindy terbuka sempurna, meski satu matanya tertutupi oleh perban. Ratu tertawa menyadari jika ibunya mungkin benar-benar merindukan kehadirannya. 

"R-ratu," ucap Nindy geram. Kedua tangannya mencengkram kuat pada seprai. 

Ratu hendak membalik tubuhnya, tapi lengannya dicekal oleh Nindy dengan sekuat tenaganya. 

"Saya sudah benar-benar sembuh." Suaranya mengerang, dan sesekali dia menggertakkan giginya. "Kamu harus benar-benar lenyap."

Ratu menutup kedua matanya, pasrah jika kapan saja sang ibu melukainya. "Nyatanya Puan terbangun."

"Ratu itu putrimu, bukan musuhmu. Wisnu itu musuhmu, bukan cintamu. Ratu itu anakmu, bukan suamimu." Bibir tipis gadis berambut panjang itu terus mengucapkan hal seperti itu, barangkali Nindy akan melepaskan cekalannya. Tapi, nihil cekalannya malah semakin kuat. 

Meski penglihatannya hanya berfungsi sebelah, tapi dia masih jelas melihat posisi Ratu. Wanita paruh baya itu menarik rambut panjang putrinya membuatnya kesakitan meski ditahan. 

Dengan kuat pula dia mencekik leher putrinya sampai sang gadis kesulitan untuk bernapas. 

"Matiiiii!" pekik Nindy. 

Keringat dingin bercucuran di pelipisnya Ratu, tenggorokannya terasa tercekat. 

Beruntungnya, semesta masih menginginkan Ratu untuk menghirup udara segar. Salah satu perawat datang dengan membawa makan siang. Terkejut, perawat itu tak sengaja menjatuhkan semangkuk bubur dari kedua tangannya. Menjauhkan Ratu dari Nindy. 

Ratu keluar dari ruangan sang ibu dengan napas tersengal-sengal. 

Kedua tangannya menutupi dadanya, tubuhnya gemetar dan suhu tubuhnya mendadak dingin. 

"Ratu takut." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status