Share

08 - Karma

"Karma atau semesta hanya sekadar mengingatkan?"

***

Nindy menjadi lebih banyak diam setelah tragedi rusaknya kornea mata kirinya. Sepanjang malam dia selalu terjaga sembari bergumam memanggil nama putrinya. 

Perawat yang bertugas terkadang merasa kasihan pada Nindy. Ibu beranak satu itu terlihat sangat menyayangi putrinya tapi mengapa saat Ratu menjenguknya dia tak sedikit pun meleburkan rasa rindunya. 

Memeluk saja tidak. Nindy hanya menginginkan Ratu mati di tangannya. Dia merasa jika putri semata wayangnya tidak pantas berada di dunia yang membuatnya menderita. 

Ratu terdiam di jendela kamarnya, memikirkan hidupnya yang penuh dengan misteri. Langit hitam berbintang menjadikan pemandangan yang dia sukai. 

Masa lalu kelam yang terus saja berputar dalam pikirannya bagai menghantuinya dan menjadikan dirinya menjadi sosok gadis yang sangat tertutup dan terkesan sangat menyeramkan meski hanya dengan tatapannya. 

Banyak lelaki yang menyukainya karena parasnya yang sangat cantik. Kulit putih bersih, kedua mata yang bulat, manik matanya hitam arang, hidung mancung, juga bibir tipis merah muda. 

Tapi, kebanyakan dari lelaki itu menyerah lebih dulu sebelum mendapatkannya karena sosok Ratu sangat sulit untuk didekati oleh lelaki mana pun. Dia selalu menjauhi karena hatinya telah mati oleh cinta pertamanya sendiri, yaitu Ayahnya. 

"Ratu!" panggilan samar itu membuyarkan lamunannya. Menilik ke arah luar mencari siapa orang yang berani masuk ke kawasan rumahnya. 

Sosok lelaki berjaket hitam, topi hitam tengah mematung di depan rumahnya. Setangkai bunga yang dipetiknya di kebun orang dia genggam dengan kedua tangannya. 

Dia Raja. 

"Ngapain lo di sini?" tanya Ratu tanpa menemuinya. Gadis itu terdiam di dalam kamar, hanya saja jendelanya dia buka lebar. 

"Gue ngikutin lo tadi. Barusan gue mau anterin lo pulang, tapi lo udah pulang duluan." Raja berterus terang dengan niatnya. 

"Lo udah sehat?" tanya Raja akhirnya. 

"Gue enggak sakit," jawab Ratu ketus. 

"Tapi tadi lo keliatan pucet banget." Raja menunjuk wajahnya sembari menunjuk Ratu. 

"Itu tadi, sekarang enggak." 

Raja tersenyum. "Gue seneng kalau liat lo senyum."

Ratu terdiam beberapa saat. "Gue gak pernah senyum ke sembarang orang."

Kembali hening. Raja masih mengingat betul senyuman Ratu sewaktu pertemuannya pertama kali. 

"Gue udah pernah liat lo tersenyum. Lo pasti lupa."

"Mending lo pulang!" Ratu menutup jendelanya dengan kasar. Tak mau lagi memperpanjang komunikasinya dengan Raja. 

Raja menghela napasnya berat, kedatangannya seolah sia-sia. Tapi, bukanlah Raja namanya jika langsung menyerah begitu saja. Dia pikir, masih ada hari lain untuk mendekati Ratu dengan waktu yang lebih lama. 

Suara dering ponselnya membuyarkan pikirannya. Nama Anggita tertera di layar ponselnya. Gadis manis yang baru saja menjadi kekasihnya pasti mencarinya karena menghilang tak memberikan kabar. 

Raja tersenyum miris karena dia sangat hebat menaklukkan banyak gadis cantik mana pun, tapi hanya Ratu yang sangat sulit ditaklukkan. Mungkin, waktunya belum tepat. 

Cepat, Raja menerima telpon itu meski rasanya malas. Saat menjawabnya dia hanya mengiyakan permintaan dari kekasihnya baru saja satu hari hubungan masa harus dibuatnya terluka. 

Ratu yang penasaran dengan keberadaan Raja, dia kembali meniliknya lewat jendela. Lelaki itu tampak keluar dari kawasan rumahnya. Setelah kepergian Raja kian menjauh, gadis berambut panjang itu kembali merebahkan tubuhnya. 

"Semua lelaki sama saja."

***

Asya tak mau pulang. Dia masih terus terdiam di sebuah toko yang menjual berbagai macam genre buku. Beberapa hari ini gadis itu memang menjadi banyak menghabiskan waktunya membaca buku di tempat tersebut hanya untuk bertemu lagi dengan sosok lelaki berkacamata yang membuatnya tak bisa tertidur nyenyak. 

Namun, lelaki yang ditunggunya tak lagi datang untuk membeli buku di sana. Asya meyakini dirinya bahwa dia menyukai lelaki pendiam itu. 

Buku bersampul merah muda yang menjadi pilihannya hari ini. Dia membacanya dengan saksama kisah awal mula percintaan dari sebuah pertemuan. Gadis itu berandai jika kisah cintanya dengan lelaki berkacamata itu akan kembali berlanjut dengan pertemuan yang lebih mengesankan. 

"Hai!" sapa seseorang. Asya menoleh ke samping kirinya, sosok lelaki yang tengah dipikirkannya muncul tepat di depan matanya. 

Kedua mata gadis itu terbelalak sempurna. Rasa bahagia tercampur dengan kaget. 

"Hai." Asya kembali menyapa. "Sini duduk." 

Hito pun mendudukkan pantatnya di di sebelah Asya. Dengan sikapnya yang kikuk karena gadis itu terus saja memandangnya tanpa berkedip. 

"Mata kamu enggak perih?" tanya Hito polos seraya menunjuk ke arah mata sang gadis. 

"Hah? Perih?" Asya bingung dengan pertanyaan bodoh itu. Lalu dia menyadari jika kedua matanya memang kelelahan karena terlalu banyak membaca buku, pandangannya beralih pada buku yang berada di kedua tangannya. 

"Oh ini? Lumayan." Gadis itu mengacungkan buku tersebut seraya mengucek matanya. 

Hito memegang pergelangan tangan Asya mencegahnya untuk mengucek matanya. "Nanti malah merah."

Asya tersenyum. Dia menyukai cara Hito yang begitu perhatian padanya. Gadis itu menjadi semakin menaruh harap pada Hito, dia memang benar telah jatuh cinta padanya. 

"Katanya, lo suka baca genre fantasi juga?" tanya Hito. 

"Iya. Suka banget," jawabnya, pandangannya terus saja menatap Hito. 

"Terus kenapa masih baca genre teenlit lagi?" tanya Hito membuat Asya gugup. 

"Beberapa hari ini aku emang lagi suka baca genre ini," jawabnya sembari tersenyum semanis mungkin. 

Hito hendak bangkit dari duduknya, tapi lengannya dicekal oleh Asya membuatnya kaku. Lelaki itu tak bisa berkutik karena bersamaan jantungnya kembali kambuh oleh serangan yang seringkali dirasakannya tiba-tiba jika saat berada di dekat Asya. 

"Mau kemana?" tanya Asya. 

"Ke sana." Hito menunjuk rak di ujung ruangan, khusus genre fantasi semua. 

"Ikut."

Hito tak mempermasalahkan hal itu. Dia mengangguk dan mulai memilah-milah buku mana yang akan dibelinya. 

Bersamaan tangan mereka saling bersentuhan kala keduanya hendak mengambil buku bersampul hitam merah yang menjadi pusat perhatiannya. 

Beberapa menit keduanya saling pandang, tapi Hito yang pertama memutuskan pandangannya dan juga menjauhkan tangannya. 

"Kayaknya gue bakal beli ini deh." Hito langsung mengambil buku lain bersampul hijau tua. 

Dalam hatinya, Asya berteriak karena senang. Dia yakin, kisahnya akan berlanjut malalui pertemuan selanjutnya. 

***

Anggita menunggu Raja di rumahnya. Dia mengajak lelaki itu untuk makan malam bersama keluarganya. Motif ajakannya selain dinner bersama, dia juga ingin memperkenalkan kepada keluarganya. 

Raja sendiri tidak tahu niat kekasihnya. Dia terkejut saat mendapati banyak orang kala kedua kakinya melangkah masuk ke dalam rumah Anggita. 

"Lo ngapain ajak gue makan malam bareng keluarga lo pula," tanya Raja sedikit jengkel. 

"Aku mau, kamu kenal sama keluarga aku, begitu juga sebaliknya."

"Kalau gini urusannya. Gue enggak bakalan pernah mau jadi pacar lo, Git!" ucap Raja. 

"Kenapa?" tanya Anggita, kedua matanya mulai panas. 

"Karena gue enggak pernah ada niat sedikit pun buat serius sama lo!" serah Raja. Setelah mengucapkan hal itu dia pergi begitu saja keluar dari rumah Anggita. 

Bagaikan serangan petir yang menyambar hatinya, dia terduduk lemas di lantai. Air matanya keluar deras begitu saja. 

"Git ... kamu kenapa, Nak?" tanya Mamanya yang melihat anaknya terduduk di ambang pintu. 

Anggita tak bisa menjelaskan apa pun pada sang mamanya. Dia hanya bisa menangis dan mendekap tubuh Gracia untuk menenangkan rasa sakitnya. 

"Dia bukan lelaki yang terbaik buat Gita, Mah."

***

Putri terduduk menangis di ujung kamarnya. Kedua tangannya memeluk kakinya yang gemetar hebat. 

Sepulang dari rumah Anggita, Raja langsung pulang ke rumah. Tidak seperti biasanya yang pergi nongkrong bareng Hito dan Reza. 

Suara tangisan sang adik terdengar jelas saat dia melewati kamarnya. Rasa cemas kian menjadi sebagai seorang kakak. 

"Putri nangis?" ucapnya lirih. 

Cepat, lelaki itu membuka pintu kamar Putri yang kebetulan tidak terkunci. 

Benar saja, gadis berkulit putih itu tengah menangis tersedu. Kepalanya menunduk, menenggelamkan paras cantiknya dengan kedua lengannya. 

"Lo kenapa, dek?" tanya Raja menghampiri sang adik. 

Putri melirik wajah sang kakak dengan nanar. "Mau berapa gadis lagi yang bakalan lo sakitin?"

Pertanyaan itu mendadak membuat lidah Raja kelu. 

"Maksud lo apa?" tanya Raja bingung. 

"Kenapa lo sakitin semua cewek, kalau lo gak mau gue disakitin?" tanya Putri lagi. Kedua matanya tampak sembab, terlihat sekali jika dirinya menangis beberapa jam lalu. 

"Siapa yang udah sakitin lo, Put?" tanya Raja. 

"Jawaban lo. Lo yang udah bikin gue kayak gini. Gue disakitin Rafa karena lo! Karena lo gue benci punya abang yang nyatanya fuckboy! Gue kira lo cowok yang setia kayak papa. Nyatanya apa? Gue benci!"

"Lo sebenarnya kenapa sih, Put? Gue beneran gak ngerti!" Raja menggoyangkan tubuh sang adik dengan kedua tangannya.

"Repi. Cewek yang jadi korban dari seorang Raja Aleandra itu adiknya Rafa gue! Asal lo tau itu, gue suka sama Rafa."

"Terus?" 

"Dia benci sama gue."

"Udahlah. Masih banyak cowok lain yang lebih cinta sama lo, Put!"

"Kayaknya ini semua karma dari lo. Inget! Lo punya adek cewek. Jangan lagi lo coba sakitin gadis mana pun. Kalau lo gak mau adek lo juga disakitin sama orang."

Raja diam. Hening. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status