Share

Bab 2

TOK! TOK! TOK!

“Siapa?” tanya Ansel dari dalam kamar.

Dia sedang merapikan penampilannya di depan cermin. Hari ini dia ada janji akan bertemu dengan kolega bisnisnya untuk membicarakan proyek kerja sama mereka.

“Ini aku, Xander.”

“Masuk!”

Xander masuk ke kamar Ansel segera setelah mendapat izin. Sejenak dia mematung tiga langkah dari Ansel.

“Ada apa?” tanya Ansel, melirik Xander dari pantulan cermin. “Kau terlihat gugup."

“I–itu ….” Xander menyahut ragu. Membuat alis Ansel bertaut.

Namun, tangannya tetap saja bekerja memasang dasi pada leher kemeja putihnya.

“Kau menemukan catatan hitam tentang kolega yang akan kita temui?”

Xander melambaikan kedua tangannya. “Tidak. Bukan itu.”

“Lalu, kenapa kau terlihat gelisah?”

Ansel telah menyelesaikan dandanannya dan berjalan menghampiri Xander. Matanya menyipit ketika dia melihat map di tangan Xander.

“Aku mau menyerahkan ini,” ujar Xander, menyodorkan map itu kepada Ansel.

“Apa ini?”

“Gugatan cerai dari Nona Qeiza.”

Mulut Ansel mencebik sinis ketika mendengar Xander menyebut nama Qeiza. Tangannya bergerak, mendorong kembali kertas yang sudah setengah ditariknya keluar dari map itu. Dia pikir ia tidak perlu membacanya lagi. Semua sudah jelas.

“Dia sangat pintar mengintai waktu yang tepat!” sindir Ansel. “Atau dia memang sengaja memata-mataiku?”

Xander tak menanggapi pertanyaan Ansel. Dia hanya merasa prihatin dengan rumah tangga sahabat sekaligus bosnya itu. Lebih tepatnya, dia merasa kasihan pada Qeiza. Gadis lugu yang menjadi objek kebencian seorang Ansel tanpa sebab yang jelas.

“Apa tidak sebaiknya kau temui dia?”

“Untuk apa? Ikuti saja permainannya,” sahut Ansel tak acuh. “Hubungi pengacara dan minta dia untuk membereskan semuanya.”

“Baiklah.” Xander menyahut lesu.

Hati kecilnya sangat menyayangkan Ansel mengambil keputusan segegabah itu.

“Kenapa mukamu tertekuk masam begitu?” tanya seorang gadis cantik pada Xander.

“Apa sepupuku ini melemparkan bubur panas ke kepalamu?”

“Kau tanya saja langsung pada sepupumu yang berkepala batu itu, Edrea!”

Edrea mengerutkan kening, melirik sekilas pada wajah kaku Ansel. Disambarnya lengan Xander dan ditariknya menjauh dari Ansel.

“Apa semua ini ada hubungannya dengan panggilan telepon kemarin malam?” bisiknya di telinga Xander.

Bola mata Xander membesar. Ia yakin Qeiza yang menghubungi Ansel dan lelaki itu telah menggunakan jasa Edrea untuk menyakiti hati Qeiza. Sadis sekali!

***

Qeiza memandangi cincin kawin yang baru saja dilepasnya. Berulang kali ia membuang napas kencang.

“Terima kasih telah menemaniku dalam kehampaan selama empat tahun terakhir ini,” gumamnya, berbicara pada cincin berlian itu seakan-akan cincin itu dapat berbicara layaknya manusia.

Sekali lagi ia menyeka bulir bening yang meluruh dari kedua sudut matanya sebelum akhirnya memasukkan cincin pernikahannya ke dalam sebuah kotak kecil dan menyimpannya ke dalam laci nakas di samping tempat tidur.

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika Qeiza melirik jam dinding. Berarti sekarang pukul delapan pagi waktu Indonesia bagian Barat.

Qeiza meraih ponselnya dan membuka kontak Adnan. Tidak lama terdengar nada sambung disertai sapaan dari seberang sana.

“Tolong kirim berkasnya segera setelah kau menyelesaikannya ya,” pinta Qeiza setelah sedikit berbasa-basi.

“Ya ampun, kau sungguh tidak sabar,” seloroh Adnan. “Semua butuh proses.”

Faster is better, Adnan!” balas Qeiza. “Aku percaya kau tidak akan membuatku menunggu lama.”

“Apa itu sebuah paksaan?”

“Terserah bagaimana kau menyimpulkannya. Kau tahu ke mana harus menghubungiku nanti, kan?”

“Baiklah. Take care of yourself!” pesan Adnan. “Aku pasti akan sangat merindukanmu.”

“Kau bisa mengunjungiku kapan-kapan.”

Qeiza menyudahi percakapannya dengan Adnan. Dia tersenyum kecut, memandangi sebuah koper yang sudah tersandar di dekat pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status