Share

Bab 5

Terlalu sering menoleh ke belakang hanya akan membuatmu jatuh.

***

“Biarkan dia bekerja untukku!”

Seorang lelaki menerobos masuk dan menyela wawancara kerja Qeiza. Dia berjalan menghampiri si pewawancara dan membaca sekilas data diri Qeiza, lalu mengangguk mantap.

“Tapi ini menyalahi prosedur penerimaan karyawan baru, Monsieur!”

“Salahnya di mana?” protes lelaki itu. “Dia sudah mengajukan lamaran dan perusahaan telah memanggilnya untuk ikut wawancara.”

“Kita butuh desainer yang sudah berpengalaman, Monsieur!”

“Dia akan punya pengalaman kalau kita memberinya kesempatan.”

Lelaki itu menatap serius pada Qeiza. “Apa Anda mau menjadi asisten pribadiku dan mengikuti masa training selama tiga bulan?” tanyanya. “Tentunya dengan gaji yang sedikit lebih kecil dari karyawan lainnya.”

Semangat Qeiza yang tadi sempat mengendur kembali bangkit dan bergelora. Dia memasang senyum terindah yang dimilikinya.

“Tentu saja, Monsieur,” sahut Qeiza. “Tidak masalah.”

Lelaki itu menepuk pelan pundak kiri si pewawancara dan mengedipkan sebelah mata, membuat pewawancara itu hanya bisa menarik napas panjang dan pasrah. Lagi pula, siapa yang berani menolak keinginan pemimpin tertinggi bagian desain itu?

Selama ini lelaki itu selalu menolak bila ditawarkan seorang asisten. Sekarang dia sendiri yang memilih, itu artinya dia punya penilaian tersendiri mengenai kemampuan calon karyawan baru tersebut.

“Anda sangat beruntung, Nona Kim Ae Ri!” ujar si pewawancara.

“Terima kasih, Monsieur!”

Qeiza tersenyum tipis menanggapi perkataan si pewawancara yang terkesan masih memandang rendah kemampuannya.

“Ayo ke ruanganku, Nona!” ajak lelaki yang menjadi malaikat penolong Qeiza.

Qeiza bangkit dari duduknya, mengangguk sekilas pada si pewawancara yang menatap bengong, lalu bergegas menyusul lelaki yang akan menjadi bosnya itu.

Qeiza menyapu ruang kerja lelaki itu dengan tatapan kekaguman. Matanya sedikit membeliak saat membaca nama yang bertengger di atas meja pemilik ruangan itu. Dia merasa pernah mengenal nama itu.

“Silakan duduk, Kim Ae Ri!” kata lelaki itu “Atau … boleh aku memanggilmu Anin?”

“Hah!” Qeiza terperangah tanpa suara dengan mulut ternganga.

Lelaki itu tersenyum sembari berjalan ke tempat duduknya di belakang meja. Ia menumpukan kedua sikunya di atas meja dengan jemari yang saling bertaut.

Kedua telunjuknya bahkan bergerak, menepuk pelan punggung tangannya. Tatapannya terpaku pada Qeiza yang masih terlihat bingung. Bertanya-tanya bagaimana bisa lelaki itu mengetahui nama aslinya.

Qeiza mencoba mengingat-ingat teman-teman kuliahnya saat di Seoul dulu karena sejak ia kuliah di Seoul-lah nama panggilan itu didapatkannya.

“Anindira Qeiza Pratista … itu nama aslimu, kan?”

Lelaki itu bertanya dengan nada sedikit menginterogasi.

“Be–betul,” jawab Qeiza. “Anda mengenalku?”

Tiba-tiba saja Qeiza diserang rasa gugup. Dia memilih untuk memakai nama barunya lantaran ingin mengubur kenangan masa lalunya sehubungan dengan nama itu. Tak disangka ia malah diingatkan dengan sempurna oleh seseorang yang baru saja ditemuinya.

“Ah, syukurlah!” seru lelaki itu riang sembari bertepuk tangan. “Kupikir aku salah mengenali orang.”

Lelaki itu tersenyum lebar. Ia bangkit lagi dari tempat duduk dan menarikkan kursi untuk Qeiza. Tadi ia sudah mempersilakan wanita itu untuk duduk, tetapi sepertinya gadis itu masih sungkan. Bisa jadi juga dia terlalu syok saat mengetahui dia menyebutkan nama asli gadis itu.

“Duduklah!” perintahnya. “Santai saja! Kita bukan orang asing.”

Lelaki itu kembali ke tempat duduknya. Dia tersenyum puas ketika Qeiza sudah mengenyakkan pantatnya dan duduk berhadapan dengannya.

“Aku Song Chin Hwa,” ujarnya, memperkenalkan diri. “Kita satu kampus saat di Seoul. Ya, walaupun aku dua tahun di atasmu. Kita pernah memenangkan kontes desain pakaian untuk musim semi. Apa kau tak lagi mengenaliku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status