Share

Bab 10

“Silakan duduk, Nona Kim!”

Setelah mampu menguasai diri dan menetralisir kegugupannya, Ansel mempersilakan Qeiza duduk di sisi Utara ruang kerjanya.

“Aku sudah meminta Xander untuk menyiapkan ruangan khusus untukmu,” beritahu Ansel.

“Terima kasih,” kata Qeiza.

Ia langsung bergerak bangkit dari sofa yang baru saja didudukinya. Tadi dia sempat berbincang dengan resepsionis yang mengantarnya dan dia sudah menanyakan itu. Tanpa diberitahu Ansel pun, dia tidak akan tersesat mencari ruang kerjanya sendiri.

“Mau ke mana?”

Ansel bertanya sambil menahan geram. Belum pernah ia ditinggal pergi begitu saja oleh seorang wanita, kecuali Qeiza.

“Tentu saja ke ruanganku,” jawab Qeiza santai. “Bukankah Anda ingin aku menyelesaikan desain itu secepatnya, Tuan Ansel?”

Qeiza sengaja memberi penekanan pada kalimat terakhir dan juga sapaannya kepada Ansel.

“Tidak secepat itu, Nona!” cegah Ansel. “Masih ada peraturan yang perlu kau ketahui dan ingat dengan baik.”

“Katakan saja! Anda adalah rajanya.”

Qeiza berkata dengan suara dingin dan datar. Bahkan, ia terkesan tidak sabar menunggu penjelasan Ansel karena ingin bisa selekasnya enyah dari hadapan lelaki yang telah melekatkan status janda perawan pada dirinya itu.

Ansel bangkit dari duduknya dan perlahan mengayun langkah mendekati Qeiza. Gadis itu benar-benar melukai harga dirinya dan semakin membuatnya tertantang untuk menaklukkannya.

Melihat Ansel semakin memangkas jarak dengan dirinya, Qeiza bergerak mundur. Tergabas ia memutar gagang pintu. Sayang, gerakannya kalah cepat dengan Ansel. Lelaki itu telah menahan daun pintu itu dengan sebelah tangannya.

Sekujur tubuh Qeiza mendadak jadi merinding. Kuduknya terasa dingin seperti diembus makhluk astral. Namun, ia berusaha untuk menguasai dirinya. Tetap bersikap tenang seolah-olah ia tidak terpengaruh sama sekali oleh perlakuan Ansel.

Dia balik badan secara perlahan. Memberanikan diri untuk menantang netra gelap mantan suaminya itu.

“Kenapa? Kau takut?” tanya Ansel, berjuang keras mengontrol hasrat aneh yang bangkit dari dalam dirinya.

Qeiza menghela napas panjang untuk merilekskan ketegangannya.

“Takut? Untuk apa?” tanyanya. “Sebagian besar ruangan ini berdinding kaca. Siapa pun bisa melihat segala hal yang terjadi di sini.”

Ansel menatap lekat wajah Qeiza. Sekali lagi ia mendapat kejutan dari gadis yang baru dikenalnya itu. Gadis pemberani yang tidak terintimidasi oleh sikapnya. Sebaliknya, gadis itu malah melancarkan serangan balik kepadanya.

'Shit!' umpat Ansel dalam hati. 'Bagaimana bisa aku melupakan dinding kaca itu?'

Seharusnya tadi ia menurunkan semua tirainya sebelum Qeiza tiba. Dengan begitu, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengintip ke dalam ruang kerjanya itu.

“Kalau tidak ada lagi yang ingin Anda sampaikan, biarkan aku melaksanakan tugasku, Tuan!”

Qeiza berkata dengan nada tegas. Lebih menjurus kepada perintah daripada sebuah permintaan. Mata hazel-nya pun menatap tajam pada Ansel.

Anehnya, Ansel mematuhi perintah itu tanpa membantah. Dia menarik tangannya dari pintu.

“Baiklah. Kali ini aku mengalah,” ujar Ansel. “Anggap saja kebaikan hatiku ini adalah hadiah perkenalan dariku!”

Qeiza tegak bergeming. Namun, Ansel dapat menangkap kilat cemooh berkelebatan dalam tatapan wanita itu lewat perubahan warna bola matanya yang semula cokelat menjadi kebiruan.

“Harap diingat … kau hanya boleh pulang kalau aku mengizinkanmu.”

Qeiza memutar gagang pintu dan membukanya. Ia masih menyempatkan diri melongokkan kepala setelah berhasil keluar dari ruangan Ansel.

“Aku bukan karyawan tetap perusahaan Anda, Tuan Ansel!” bantah Qeiza. “Aku akan pulang kapan pun aku mau.”

Terdengar bunyi ‘Brak’ yang cukup keras ketika Qeiza membanting pintu, tepat di depan hidung Ansel.

“Kau—”

Ansel mengepalkan tangan dengan sangat erat. Menyebabkan urat-uratnya mencuat keluar. Ia mengikuti langkah Qeiza dengan tatapan penuh kemarahan melalui dinding kaca transparan ruang kerjanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status