Share

Bab 12

Qeiza baru saja melipat sajadahnya. Dia salat zuhur di dalam ruang kerjanya dengan menyekat bagian sudut ruangan itu, sekadar cukup untuk ia menunaikan kewajibannya tanpa harus bersusah payah keluar dari kantor Ansel.

Wajah segar Qeiza tersenyum semringah setelah menyambar arloji yang diletakkannya di atas meja. Masih lumayan banyak waktu tersisa untuk menikmati santap siang. Namun, belum sampai tangannya meraih handle pintu, pintu itu sudah terbuka dari luar.

Ansel sudah berdiri dua langkah di depannya dengan tangan menenteng kotak berisi makanan dan minuman.

“Kau hampir saja melewatkan makan siang,” kata Ansel.

Dia mengangkat kotak makanan di tangannya sedikit lebih tinggi, bahkan nyaris menyamai ketinggian wajah Qeiza.

Tanpa memedulikan ekspresi tidak senang Qeiza ataupun persetujuan gadis itu, Ansel langsung merangsek masuk dengan penuh percaya diri.

Dia langsung duduk di atas sofa dan membuka kotak makanan yang dibawanya.

“Ayo duduk sini!” ajaknya. “Aku sengaja meminta Xander membeli makanan ini untukmu.”

Mata Qeiza menyipit. Dia tak percaya Ansel bisa bersikap semanis itu. Perasaannya seperti melayang menerima perlakuan itu. Kenapa tidak sedari dulu Ansel sebaik itu kepadanya? Kenapa lelaki itu justru memberi perhatian layaknya seorang kekasih setelah menjatuhkan talak?

Kalau saja Ansel pernah sekali saja bersikap sebagaimana seorang suami memperlakukan istrinya, mungkin Qeiza tidak akan pernah melayangkan gugatan cerai kepada lelaki itu.

Qeiza menghela napas panjang sembari menutup rapat kelopak matanya. Mencegah bulir bening yang sudah bertengger di sudut matanya meluncur turun dan membuatnya terlihat lemah.

“Terima kasih, tapi aku sudah ada janji,” tolak Qeiza sehalus mungkin.

“Kau tidak akan ke mana-mana atau bertemu siapa pun selagi aku masih di sini dan kau belum menghabiskan makanan ini.”

Kedua tangan Ansel sudah mencengkeram pundak Qeiza dengan kuat saat kalimatnya berakhir. Entah kapan lelaki itu tiba di dekatnya, Qeiza bahkan tak menyadarinya.

Qeiza berusaha melepaskan diri dari cekalan Ansel, tetapi lelaki itu sangat gesit membaca gerakannya.

HOP!

Tanpa diduga, lengan kekar Ansel telah membopong tubuhnya menuju sofa.

“Anda gila!” maki Qeiza begitu Ansel mendudukkannya di atas sofa.

Ansel hanya tersenyum tipis. “Aku tidak menyukai penolakan,” tegasnya, “Jadi, bersikap patuhlah dan semua akan menjadi lebih mudah.”

“Satu lagi,” tukas Ansel. “Singkirkan sapaan ‘Anda’ jauh-jauh. Aku benci sikap formalmu itu.”

Qeiza mengeritkan gigi. Merasa sangat dongkol dengan sifat sok kuasa yang ditunjukkan Ansel.

“Apa yang salah dengan sapaan itu?” protes Qeiza. “Bukankah kita rekan bisnis dan memang sudah selayaknya bersikap for—”

Sanggahan Qeiza terputus ketika tangan Ansel secepat kilat menyumpal mulutnya dengan sesendok makanan.

Netra hazel Qeiza melotot. Hatinya jengkel setengah mati oleh ulah Ansel yang tak disangka-sangka itu. Terlebih saat dilihatnya Ansel menyunggingkan senyuman puas lantaran berhasil membungkam mulutnya dengan makanan itu.

Sungguh tidak sopan jika dia harus memuntahkannya, terpaksa Qeiza mengunyah dan menelannya.

Walaupun sorot mata Qeiza menunjukkan sinyal perang, Ansel tak peduli. Tangannya terus saja bergerak menyuapi Qeiza. Bahkan, ia sengaja menjauhkan sendok yang dipegangnya ketika Qeiza berusaha merebutnya agar bisa makan sendiri.

“Aku tidak akan membiarkan orang lain mengakhiri apa yang sudah kumulai,” kata Ansel.

Qeiza merasa gerah dengan perlakuan Ansel. Ia mencari celah untuk menjauh dari lelaki itu.

GREP!

Secepat kilat tangan kiri Ansel menarik Qeiza untuk kembali duduk saat gadis itu bangkit hendak melarikan diri.

“Jangan coba-coba kabur dariku, Ae Ri!”

Ansel menatap lekat wajah Qeiza. Sorot matanya begitu tajam dan dalam. Membuat hati Qeiza bergetar sekaligus bergidik ngeri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status